#SeninCoaching:
#Lead for Good: Live and die gracefully in the submarine
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“… the days faded into a blur until it was time to go off station and return to port…” – Andrew Karam, Ph.D., mengenang hari-harinya ketika bertugas di fast attack submarine US Navy.
Saat di SMP, saya bercita-cita menjadi anggota Angkatan Laut. Barangkali terinspirasi salah seorang paman yang saat itu perwira menengah di Angkatan Laut. Ditambah pengalaman saat liburan naik ke kelas 2 SMP, saya sempat melaut ikut kapal nelayan sepanjang 25 meter dengan awak 18 orang. Selama lima malam di perairan dekat Karimun Jawa itu kami hidup dalam keluasan cakrawala, malam hari bernafas dan tidur di bawah bintang-bintang. Saat bergerak ke titik penangkapan berbeda, sempat menempuh hujan badai dan ombak tinggi. It was a defining moment.
Dalam benak saya ketika remaja itu, bertugas menjaga perairan Indonesia bisa membanggakan. Karena ketika di SMA saya harus berkacamata minus, cita-cita menjadi anggota TNI AL pupus.
Tapi penghormatan saya tetap tinggi kepada orang-orang yang gigih berlatih secara berkesinambungan, terukur, meningkatkan skills dan kompetensi mereka sampai batas puncak kemampuan manusia, disertai nilai-nilai etika dan moral mulia – apakah itu sebagai pasukan khusus di laut, darat, atau pun lintas udara, serta di lingkungan kantor dagang dan jawatan pemerintah.
Untuk 53 orang personel KRI Nanggala 402, kita menyebut mereka gugur, bukan meninggal. Kata gugur mengandung penghormatan bagi siapa pun yang wafat di tengah tugas, pengabdian – mudah-mudahan di antara kita tetap banyak yang selalu ingat lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki, mengenang dengan indah para pejuang yang wafat selama perang kemerdekaan RI.
Banyak kalangan menyebutkan, termasuk twit seorang anggota US Marine, bahwa 53 personel Nanggala II yang gugur adalah orang-orang terbaik. Kita tentu meyakini, proses seleksi untuk menjadi personel kapal selam pasti ketat. Mana mungkin orang-orang mediocre diterima.
KRI Nanggala 402 atau disebut juga Nanggala II, adalah salah satu dari dua kapal selam Tipe 209/1300 diesel-electric kelas Cakra (penyerang) milik TNI AL. Daya tahan (endurance) di dalam laut bisa 50 hari, test depth 240 meter (790 feet).
Jejak pengabdian Nanggala II mengesankan, antara lain dalam operasi intelijen di seputar Indonesia, termasuk di Samudera Hindia dan pada 1999 di perairan Timor Timur untuk melacak gerakan pasukan internasional yang memasuki Timor.
Pada Mei 2005 bertugas melakukan scouting, infiltrasi, dan memburu target strategis di perairan Ambalat, setelah KRI Tedong Naga (RI) dan KD Rencong (Malaysia) terlibat “gesekan” di daerah tersebut.
Sebagai kapal selam kelas penyerang, Nanggala II memiliki kemampuan menembakkan torpedo. Setelah full refit selama dua tahun di Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME), selesai 2012, Nanggala II punya kapabilitas menembakkan empat torpedo secara simultan ke empat sasaran berbeda, serta mampu meluncurkan Exocet atau Harpoon. Kemampuannya menyelam jadi 257 meter, kecepatan semula 21.5 knots (39,8 km/jam) meningkat 25 knots (46 km/jam).
Dengan ringkasan profil seperti itu, memang hanya orang-orang terbaik yang lulus seleksi layak memimpin dan menjadi awak Nanggala II. Karena kondisinya juga lebih tough dibanding kapal selam bertenaga nuklir, menjalani hidup dan bekerja di Nanggala II perlu daya tahan fisik dan mental lebih.
Sama-sama hidup di dalam tabung baja, mengarungi kedalaman laut dengan kapal selam nuklir terasa “lebih mewah” dibanding kapal bertenaga disel-elektrik. Dengan daya sangat mencukupi, di kapal selam nuklir ada fasilitas pemurnian air — bahkan cukup untuk mandi, cuci baju, semua awak dan sebagian air tersebut diolah lewat proses electrolysis menghasilkan hydrogen dan O2.
Melihat pelbagai faktor dan kondisi yang melingkupi tugas-tugas di kapal selam, tidak bisa disangkal bahwa para personel Nanggala II yang gugur adalah orang-orang terbaik di lingkungannya.
Di pelbagai latihan pengembangan kepemimpinan, kehidupan dan tugas di kapal selam sering dijadikan referensi dan contoh.
Dalam rutinitas yang bisa membosankan bagi umumnya manusia, kedisiplinan dan etika yang tinggi, kebutuhan akurasi dalam setiap langkah mengingat dampaknya bisa mempengaruhi integritas wilayah negara, ditambah dengan gerak terbatas dalam tabung baja di kedalaman laut yang bisa berlangsung beberapa minggu, bahkan sekian bulan, tanpa sempat melihat langit, para perwira dan team leaders kapal selam tetap diwajibkan melakukan eksekusi cerdas. Maka mereka terlatih untuk menjadi para satriya linuwih (“manusia yang punya kelebihan”).
Membuat keputusan dan eksekusi di kapal selam dikerjakan dalam kungkungan tabung baja yang bergerak di bawah permukaan laut; bukan di ruang meeting sambil menikmati city view atau mountain view seperti di kantor-kantor kita.
Ada fakta menarik terkait sikap rendah hati sambil terus berprestasi di kalangan mereka. Sebagaimana tradisi satriya linuwih yang selalu terus belajar, mengembangkan diri, bahkan para perwira dan team leaders di organisasi sekaliber US Navy pun ternyata merasa perlu mengundang coach dari luar institusi untuk membantu meningkatkan efektivitas kerja mereka, memperkaya perspektif.
Ini sebenarnya makes sense, mengingat informasi tentang sistem dan teknologi persenjataan suatu negara zaman sekarang ini praktis sudah diketahui oleh negara lain — hampir tidak ada rahasia seperti di masa lalu. Hal yang sulit diantisipasi dan diprediksi adalah faktor manusianya. Sejauh mana kualitas kepemimpinan para pengendali sistem dan teknologi persenjataan tersebut, bagaimana efektivitas kerja mereka, dan faktor-faktor lain yang dipengaruhi human relationship dalam suatu institusi.
Salah satu guru saya, Marshall Goldsmith, #1 Executive Coach di dunia, bercerita sempat memberikan pelatihan selama sembilan tahun di US Navy.
Di sektor usaha apa pun Anda, di jawatan pemerintahan level mana pun, bahkan bagi kalangan penggerak organisasi nonprofit, tidak harus lebih dulu jadi perwira atau team leader di kapal selam untuk meraih harkat sebagai satriya linuwih.
Kita bisa belajar secara terstruktur bagaimana mereka membangun comradery, saling percaya dan care, memaksimalkan potensi masing-masing sesuai tugas, rendah hati, disiplin, dan berintegritas dalam kondisi yang sangat challenging di dalam tabung baja yang bergerak di kedalaman laut.
Menjalani hidup dalam kondisi yang belum memberikan kepastian, ambigu, demikian kompleks, dan penuh gejolak — antara lain akibat pandemi — seperti sekarang ini sebenarnya bisa saja kita anggap tengah berlatih di sebuah kapal selam.
Bon voyage…
Mohamad Cholid is a Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach at Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
- Certified Global Coach Group Leadership Assessment & Coach
Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman