Senin, November 25, 2024

Adaptability is our currency

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Adaptability is our currency

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Peter Drucker said, “Culture eats strategy for breakfast, and now pandemic eats culture for lunch?” — kata Martin Lindstrom, berkelakar.

Apakah Anda sudah memastikan diri selamat dari ancaman stress? Menurut WHO (World Health Organization), epidemi stress global dalam satu tahun rata-rata telah menelan ongkos sekurangnya US$ 1 trilyun (satu trilyun dollar AS). Hasil survei ini bahkan merupakan potret sebelum pandemi covid.

Beban US$ 1 trilyun itu diambil dari area yang dapat diukur, seperti absenteeism (mangkir), inovasi, dan kreativitas – urusan-urusan penting dalam upaya menjemput masa depan dan dianggap berkorelasi langsung ke dampak finansial.  

Bagi sebagian orang, penyebab signifikan stress adalah perubahan yang konstan di dunia, tuntutan melakukan transformasi diri dan organisasi, perubahan pola kerja, kebutuhan mempelajari keterampilan-keterampilan baru. Sebagian dari kita mungkin menyadari, sesungguhnya semua tantangan itu merupakan hal yang alamiah ketika memasuki dunia nyata yang dinamis, dalam keadaan jiwa terjaga.

Persoalannya, seperti sering terlihat di sekitar kita, orang-orang bekerja dalam keadaan “jiwa yang tertidur”, melakukan segala urusan kerena kebiasaan saja. Hasil studi Duke University, North Carolina, mengungkapkan, paling tidak 45% perilaku kita saat terjaga (tidak sedang tidur) merupakan habitual. Bukan dikerjakan dengan kesadaran penuh.

Ada saja orang-orang yang membiarkan diri berlama-lama terbuai dalam lamunan, ilusi tentang hidup dan mungkin juga bisnis. Atau senang menempelkan diri (attached) dengan sukses masa lalu. Sehingga kenyataan hari ini — yang pada galibnya tidak bisa selalu sesuai dengan impian — menjadi beban bagi mereka. Hidup mereka seperti selalu tergopoh-gopoh menyesuaikan diri dengan realitas. 

Bagi yang bisa konsisten selalu terjaga akan menyadari, perubahan tidak hanya bersifat konstan, bahkan sekaligus sering tidak dapat kita prediksi dan kenyataannya perubahan tersebut sangat diperlukan dan menantang. Bagi yang “baru bangun dari tidur”, welcome to the real world, guys.

Sepuluh tahun lebih berinteraksi intensif dengan sejumlah organisasi dari pelbagai sektor usaha, saya mendapati kenyataan, organisasi tumbuh tapi para key persons mereka ketinggalan, mengalami kesulitan. Sebagian dari mereka masih terjerat dalam budaya kerja dan mindset lama. Pertumbuhan organisasi (apalagi yang pesat) tanpa diimbangi perubahan budaya bisa menyebabkan goncangan serius pada hubungan antar personel, kolaborasi antar tim, stress para eksekutif, dan berimbas pada hasil finansial.

Perubahan budaya, tuntutan bertransformasi seiring pertumbuhan organisasi yang menimbulkan stress senilai US$ 1 trilyun setahun sebagaimana kata WHO, sekarang ini diasumsikan bisa menelan ongkos lebih tinggi. Wabah covid di banyak negara masih belum benar-benar mereda dan di semua wilayah tersebut sejumlah organisasi belum bangkit kembali.

Kebijakan dari work from home menjadi hybrid (campuran kerja di rumah dan di kantor) belakangan ini, menurut pelbagai survei, menuntut perubahan perilaku dan budaya. Ini juga bisa menimbulkan stress baru. Survei McKinsey & Company menyebutkan, “The pandemic disrupted business models, revealing an acute need for improving speed and responsiveness, people leadership, and talent development.”

Hari-hari ini kita juga bisa menyaksikan, dimana-mana terjadi ketidakpuasan pelanggan, karyawan mengalami kelelahan, sebagian moralitasnya tergerus, akibat perubahan terus-menerus. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya di posisi tinggi dalam list bursa saham, juga pada merosot. Dalam situasi ketika pandemi menuntut semua organisasi menata ulang budaya mereka, hanya sedikit perusahaan yang mampu beradaptasi dan berhasil mengatasi semua itu, di antaranya Apple Inc. dan Microsoft.

Secara garis besar, mereka yang tetap unggul di tengah ketidakpastian (kali ini akibat pandemi) biasanya memiliki culture map dan para eksekutif mereka pun terlatih memilah-milah teritori mana merupakan bagian yang perlu terus eksploitasi, managing the present, dan perilaku kepemimpinan macam apa yang diperlukan untuk explore the future. Mereka mampu memberikan gambaran dan strategi gamblang setiap proyek inovasi, tim pun dibiasakan kreatif. Untuk kemudian dievaluasi bersama.

Supaya tidak menambah beban yang ditanggung dunia at least US$ 1 trilyun setahun akibat stress, sekarang saat yang tepat untuk menafsirkan ulang apa itu budaya di organisasi Anda.

Apakah budaya itu nilai-nilai yang mengakar dalam benak semua tim dan pemimpin mereka, terwujud pada tindakan sehari-hari di lingkungan kerja, dalam berinteraksi dengan pelanggan dan pemasok? Ataukah culture merupakan identitas yang selama ini terekam dalam ingatan para pelanggan dan pemasok, ibarat dedaunan dari pohon yang menyejukkan? Atau kombinasi keduanya?

Selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan tingkat adaptability pribadi dan organisasi. Dalam hal ini, bias terhadap status quo bisa merupakan kemewahan yang tidak patut bagi setiap eksekutif dan team leader suatu organisasi – lebih tidak pantas lagi bagi yang mengaku wiraswasta.

Diperlukan keberanian melihat realitas dari perspektif baru, kesediaan mempelajari dimensi-dimensi yang belum diketahui dalam setiap proses kegiatan, internal dan eksternal. Ini bagian dari life plan review. Apakah Anda juga tabah untuk cek ulang, bagaimana tingkat kepercayaan antar tim yang berbeda fungsi, antar personel, dan antara yang di posisi pimpinan dengan anak buah mereka? Survei memperlihatkan, di lingkungan high trust organization tingkat stress berkurang 74%. 

Kita semua memerlukan tiga kebajikan ini: berani melihat realitas apa adanya; rendah hati melakukan koreksi diri dan terbuka menerima masukan; follow up, berdisiplin dalam perbaikan perilaku kepemimpinan. Ini kelihatannya selalu perlu disampaikan, karena sampai hari ini masih saja ada yang hidupnya sudah jungkir-balik, teruk, tapi masih songong, merasa diri tidak perlu bertransformasi.

Bahkan mengaku beragama, tapi mengingkari Kitab Suci-nya, yang menyebutkan bahwa Tuhan memberikan penilaian tinggi dan menolong manusia yang melakukan transformasi — kalangan Muslim menyebutnya berani hijrah.

Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach at Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
  • Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.

Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.

Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article