Kepala MAN 1 Surakarta Slamet Budiyono mengungkapkan, moderasi beragama menjadi jalan tengah yang dibutuhkan untuk menyikapi sebuah perbedaan dalam keberagaman latar belakang masyarakat seperti Indonesia.
Melalui moderasi beragama warga dari berbagai latar belakang diharapkan bersikap moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing.
“Namun musti diakui ada berbagai tantangan moderasi beragama di Indonesia ini, termasuk yang terjadi di ruang digital,” kata Slamet saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Moderasi Beragama Dan Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin (16/8/2021).
Tantangan moderasi beragama itu, kata Slamet, antara lain sikap fanatisme yakni sebuah faham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan dan tidak menerima opini atau ide dari luar lingkarannya. Slamet membeberkan fanatisme ini hanya bisa dikikis apabila didukung pengetahuan yang luas khususnya tentang ilmu agama sehingga berkembang sikap toleran dalam menyikapi setiap berbedaan yang ada.
“Moderasi beragama juga menghadapi tantangan berupa sikap intoleran, sikap yang tidak menghargai pendapat orang lain dan tidak mengakui keberagaman dalam masyarakat serta mengabaikan nilai-nilai dalam toleransi,” kata Slamet.
Tak berhenti di situ, moderasi beragama menurut Slamet juga menghadapi tantangan berupa radikalisme, yakni paham atau aliran yang menunjukkan sikap ekstrem, fanatik, fundamental dan berlebihan dalam berbagai hal,” tegas Slamet.
Sedangkan di satu sisi, berkembangnya semangat eksklusifisme yang berusaha selalu tertutup, dan berusaha berbeda dengan pemahaman orang lain juga akan menghambat moderasi beragama yang hendak dicapai.
“Moderasi beragama juga bisa terhambat dengan adanya sikap-sikap revolusioner, yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan yang terjadi,” kata Slamet.
Slamet mengatakan moderasi beragama menjadi sebuah gerakan budaya yang berjalan seiring dan tidak saling menegasikan satu sama lain dan menjunjung kearifan lokal serta tidak saling mempertentangkan ketika muncul perbedaan. Moderasi beragama mengutamakan langkah penyelesaian secara toleran.
“Moderasi beragama di era digital ini perlu terus ditumbuhkembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan antar latar belakang masyarakat tanpa memanandang suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya,” urainya.
Slamet mengatakan bahwa Indonesia terlahir dengan keanekaragaman yang menunjukkan dirinya sebagai bangsa dengan multikulturalisme tinggi. “Keanekaragaman menjadi anugerah tersendiri jika dikelola dengan bijaksana karena bisa hadir sebagai kekayaan, keunikan dan kekuatan di masa datang,” tegas Slamet.
Narasumber lain webinar itu, Prof. Rajab Ritonga selaku guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta mengatakan sikap moderasi beragama minimal meliputi pengakuan atas keberadaan pihak lain dan kentalnya semangat toleran.
“Penghargaan atas perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dirinya kepada orang lain menjadi prasyarat menjalankan moderasi beragama,” tegas Rajab.
Rajab menambahkan dalam masyarakat multikultural, moderasi beragama akan menguatkan interaksi yang cukup tinggi intensitasnya. Dari moderasi beragama itu, urai Rajab, ekspresi agama yang dilakukan masyarakatnya teralisasi secara santun dan bijaksana. Webinar ini juga menghadirkan narasumber lain seperti Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Klaten Anif Solikhin, Imam Alba (Direktur Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana- LPAW, serta dimoderatori Nadia Intan juga Obin Robin selaku key opinion leader.