Sabtu, April 20, 2024

Bertualang ke Kepulauan Widi – Episode 2

Must read

Siksa Kubur

Kegagalan demi kegagalan dalam pemancingan sebelumnya, tak membuat patah arang. “Jurus-jurus” lain pun digeber. Hasilnya? Kita simak saja yuk episode 2 catatan petualangan wartawan senior yang hobi mancing Masduki Baidlowi untuk Sorogan.

Masduki Baidlowi

Usai beristirahat di hari kedua, kami memulai petualangan berikutnya. Beberapa hal mesti kami siapkan. Di antaranya, sengaja kami membawa metal jig ukuran 80 – 200 gram serta mata kail ukuran 5/0 s.d. 10/0. Ukuran mata kail yang terakhir itu khusus untuk mengejar Dogi alias Tuna Gigi Anjing, yang selama ini menjadi incaran para pemancing.

Ukuran tersebut ideal untuk memancing dengan teknik jiging di Kepulauan Widi, jika tak ada arus kencang. Jika terjadi arus kencang, kami menggunakan jig ukuran di atas 200 gram, bahkan 500 gram. Beruntung, saat itu arus laut bergerak sedang. Bahkan dalam waktu tertentu, kondisi arus mati total.

Untuk memancing dengan teknik poping, kami menggunakan poper berbagai ukuran. Mulai dari 100 gram, 150 gram bahkan sampai 200 gram, tergantung situasi. Sementara ukuran mata kail untuk mancing dasar, kami bersepakat membawa ukuran kail terbesar sampai dengan ukuran sedang. Sebab, jenis dan ukuran ikan yang akan kita pancing sangat berbeda dengan kondisi di Laut Jawa.

Kedalaman laut di perairan Kepulauan Widi sangat beragam. Paling dangkal berada di 70 s.d. 100 meter. Itu adalah dasar yang berupa puncak gunung karang (sea mount reef). Tempat seperti itulah yang menjadi incaran para pemancing. Sebab, jika kapal sedikit bergeser, semisal 20 meter menjauh dari gunung karang tadi, kedalaman dasar laut sudah berubah menjadi beratus-ratus meter. Bahkan bisa seribu meter lebih.

Ini karakter khas daerah laut dalam, tempat palung-palung besar menandai belahan bumi di bawah lautan. Laut di Kepulauan Widi merupakan bagian dari cekungan palung Lautan Pasifik yang sangat aktif. Di sana, terdapat 103 pulau jika lautan sedang surut. Tapi jika lautan sedang pasang, beberapa pulau kecil itu tenggelam, sehingga Kepulauan Widi tinggal 97 pulau. Pulau-pulau besarnya antara lain Pulau Gembira dan Pulau Sukar. Ada juga Pulau Daga, Pulau Hilang, Pulau Kokota, Pulau Laguna, Pulau Dadawe dan Pulau Dodora.

Di dekat Pulau Dodora, di awal petualangan kami pagi hari itu, umpan kona-head troling ukuran 30 cm milik Ceng Rizal disambar blue marlin besar. Seluruh awak kapal bergemuruh menyambut reel troling yang berbunyi nyaring sekitar 5 menit dibawa lari kencang sang ikan buruan. Tak berselang lama, tampak dari buritan kapal blue marlin meloncat-loncat dan terbang bak pendekar bersilat di kejauhan. Ia terus memberontak kesakitan, ingin lepas dari umpan kona-head yang menancap di mulutnya.

Prof. Purnawan, sebagai penanggungjawab pertama, sesuai kesepakatan, langsung mengambil kendali. Doktor senior Universitas Indonesia yang sudah banyak makan asam garam dunia mancing itu sibuk menarik dan menggulung reel. Menyesuaikan dengan kondisi dan arah lari blue marlin. Beberapa saat, ia pindah dari buritan kapal ke bagian haluan sebelah kanan. Ia terus mengikuti gerakan blue marlin yang meloncat dan terbang dengan indahnya.

Di saat sorak gembira kru kapal, tiba-tiba dalam hitungan detik main line yang ada di tangan Prof. Purnawan ditarik lagi dengan kencang oleh si raja laut itu. Akhirnya, Purnawan kehilangan kendali. Main line pun terputus… ces!!! Suasana kapal yang gaduh gembira, hening seketika. Kegagalan kembali terulang. ”Marlin memang ikan paling cerdas,” kata Antoni.

Main line pun terputus… ces!!! Suasana kapal yang gaduh gembira, hening seketika. Kegagalan kembali terulang. ”Marlin memang ikan paling cerdas,” kata Antoni.

PESTA DI KARANG BATUTANI

Malam ketiga kami mencari tempat yang bisa melepas jangkar di tengah laut. Kedalamannya dipilih yang kira-kira bisa membuat kami berpesta memancing. Banyak pilihan sebenarnya, tetapi akhirnya pilihan jatuh ke sebuah pegunungan karang. Kru kapal melepas jangkar ke dasar laut dengan kedalaman 80 meter. Kami berada di puncak Pegunungan Karang Batutani – demikian para nelayan menyebut tempat itu.

Selepas makan malam dan penat seharian yang belum hilang setelah mengelilingi Kepulauan Widi, kami mendapatkan tenaga kembali berkat lauk ikan segar yang kami santap. Semangat kami tumbuh kembali untuk melanjutkan perburuan. Kali ini, lagi-lagi kami memancing dengan teknik jiging, seperti malam sebelumnya.

 

Tak butuh waktu lama, reel pancing Ceng Rizal menderit disambar ikan. Disusul kemudian oleh deritan reel milik Daeng Anto. Double-strick ini menghasilkan ikan kue dan tongkol, masing-masing berukuran 6 dan 5 kg. Mengobati rasa penasaran yang sudah sekian lama belum strick, Najib Salim tancap gas bertarung dengan dog-tooth (tuna gigi anjing) seberat 15 kg.

Untuk bertarung dengan tuna gigi anjing sampai ikan tersebut benar-benar takluk menggelepar di gladak kapal, Najib mesti bahu-membahu dengan seniornya, Om Yerry, selama hamper 30 menit. Begitulah, malam itu pesta mancing terus berlangsung hingga pukul 03.00 WIT. Akhirnya, tubuh kamilah yang takluk karena kecapekan. Sementara, berbagai jenis ikan di dasar laut masih menantang untuk dipancing.

Di sela-sela angin sepoi, Sang Kapten Kapal sempat berkelakar, ”Kalau di Jawa orangnya lebih banyak daripada ikan, karena over fishing. Di sini sebaliknya, ikannya banyak orangnya yang sedikit.” Kami pun tertawa berderai sebelum masing-masing dari kami terserang rasa kantuk di pagi itu.

Hari terakhir saat menuju pulang, dewi fortuna tampak semakin memihak pada kami. Kapten memperlambat laju kapal, sehingga kami bisa memancing dengan teknik poping di sejumlah karang laut di pinggir-pinggir pantai. Daeng Anto dan Bung Antoni melepas poper, lalu ditarik dengan kelihaiannya masing-masing. Sejumlah ikan kue besar berhasil kami tarik, sampai akhirnya Daeng Anto berhasil menggaet mulut ikan kue gerong berukuran 12 kg, yang kemudian dilepas kembali ke laut (take and release).

Memancing di Kepulauan Widi, menurut pengakuan Om Yerry, terasa ngeri-ngeri sedap. Ngeri, karena posisinya jauh dari mana-mana. Apalagi di malam hari, saat berada dalam alunan ombak dan suara guntur mendentum di kejauhan. ”Sedapnya, tentu saja saat berhasil mendapatkan ikan. Rasa was-was dan khawatir jadi hilang semua,” tuturnya.

Sebelum pulang, kami menginap di Pulau Joronga. Melepas lelah dan penat, sebelum akhirnya kami terbang dan tiba kembali di ibu kota Jakarta. Terpikir dalam benak kami masing-masing: mungkinkah suatu saat melakukan perjalanan kembali ke Kepulauan Widi?

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article