Kamis, Maret 28, 2024

Kenapa publik salahkan Anies Baswedan atas banjir di Jakarta?

Must read

Kenapa publik ramai-ramai menyalahkan Anies Baswedan atas banjir yang terjadi beruntun tahun 2020 ini?

Oleh Petrus Hariyanto

Kenapa publik ramai-ramai menyalahkan Anies Baswedan atas banjir di Jakarta yang terjadi beruntun tahun 2020 ini? Pertanyaan ini sebenarnya bisa dijawab dengan menelusuri jejak digital, mulai dari masa kampanye Pilgub DKI 2017.

Dalam kampanye saat itu di media massa, calon gubernur Anies Baswedan mengeluarkan konsep zero run-off atau nol limpahan untuk menangani masalah banjir.

“Mengenai air, konsepnya adalah vertical drainase. Air hujan ini rahmah dari Allah, dari Tuhan. Rahmah yang diturunkan untuk dimasukkan ke bumi bukan sesegera mungkin dikirim ke laut. Yang dilakukan sekarang masuk kirimkan ke laut,” ujarnya ketika itu.

Anies mengkritik Ahok, calon gubernur yang juga petahana, dengan program normalisasi sungai di DKI. Cara tersebut menurutnya air langsung dibuang ke laut, membuat tanah di Jakarta kekurangan air.

“Bumi kita tidak diresapi oleh air, karena itu yang kita lakukan adalah memperbanyak sumur-sumur resapan di tiap kampung, di tiap rumah, di tiap jalan,” ungkapnya.

Lantas, Ahok membalas kritik Anis. Katanya, Pemprov DKI Jakarta pernah mencoba cara vertical drainase sebagai salah satu antisipasi banjir. Namun ternyata, tidak semua wilayah ibu kota bisa dijadikan titik untuk menjadi jalur rembesan limpasan air.

“Tekstur lapisan tanah di Jakarta tidak semua bisa menyerap air dengan debit yang besar. Untuk dapat menyerap air, tanah yang paling cocok adalah tanah reservoir atau ground water reservoir (waduk air tanah),” ujar Ahok mengkritik konsep Anis.

Ahok menjelaskan banjir yang terjadi di sejumlah lokasi akibat rendahnya muka tanah ketimbang tinggi muka air. Karenanya, cara paling efektif agar tidak ada luapan kembali adalah dengan menormalisasi sungai-sungai di ibu kota.

Yang dilakukan Ahok melanjutkan kebijakan Gubernur Jokowi sebelumnya, dengan program normalisasi kali Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, Sunter, dan beberapa waduk penting di DKI. Era Gubernur Jokowi telah menjalankan normalisasi Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio.

Kemudian, era Gubernur Ahok berhasil menjalankan program pemindahan warga Kampung Pulo ke rumah susun, dan berhasil melebarkan Sungai Ciliwung di daerah tersebut dengan betonisasi dan membuat jalan inspeksi di pinggiran sungai.

Program tersebut dinilai signifikan mengurangi banjir di Kampung Pulo, dan akan dilanjutkan di daerah lain dan sungai besar lainnya.

Cara tersebut dikritik Anis, karena dianggap melanggar HAM karena menggusur masyarakat di sepanjang bantaran sungai yang terkena normalisasi sungai.

Dan Ahok kalah dalam Pilkada DKI, programnya tidak bisa dijalankan lagi.

Normalisasi versus Naturalisasi

Jokowi berjanji jika ia jadi presiden permasalahan banjir akan lebih mudah teratasi. Banyak warganet mengolok-olok atas janji tersebut karena sudah dua kali jadi presiden, Jakarta masih banjir.

Apakah benar tuduhan publik atas ingkar janji Jokowi? Sebenarnya, tuduhan itu tidak terlalu tepat.

Ketika menjadi presiden periode pertama, Jokowi dan Pemprov DKI bergandengan tangan menjalankan program pengendalian banjir di DKI.

Sodetan Ciliwung dan normalisasi sungai besar adalah tugas pusat, sementara DKI mempunyai tugas membebaskan tanah. Sebenarnya, program Sodetan Ciliwung sudah dikerjakan, terkendala pembebasan tanah, di mana masyarakat yang terkena proyek tersebut menang gugatan di pengadilan. Rencana semula selesai tahun 2015 dijadwal kembali selesai di tahun 2016.

Bila Sodetan Ciliwung selesai, akan mengurangi secara signifikan debit air Sungai Ciliwung,yang sebagian airnya akan dialirkan ke Banjir Kanal Timur lewat sodetan tersebut.

Tapi ceritanya jadi lain, Ahok kalah dalam Pilgub DKI. Jokowi kehilangan partner sejati dalam mengatasi banjir Jakarta. Kalau boleh dibilang kesalahan, kesalahan Jokowi gagal memenangkan Ahok.

Sodetan Ciliwung mandek, baru dikerjakan 600 meter. Tanggungjawab pembebasan lahan ada di pundak Gubernur DKI Anies Baswedan.

“Jika pembebasan lahan selesai, Sodetan Ciliwung bisa rampung dalam 6 bulan. Alatnya masih ada semua. Tinggal itu pembebasan lahan selesai, 6 bulan insyaallah tembus,” kata Basuki di Gedung BPK RI, Jakarta, Senin, 6 Januari 2020 lalu, seperti dikutip dari beberapa media.

Kementerian PUPR

Menteri Basuki: Penanganan Banjir Harus Terintegrasi. (Foto: dok. Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Normalisasi 13 sungai di Jakarta sudah dikerjakan pemerintah pusat lewat Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun prosesnya berhenti sejak 2017 karena Pemprov DKI tak lagi membebaskan lahan.

Ketika ditanya apa langkah selanjutnya? Gubernur Anies Baswedan mengatakan dengan program naturalisasi sungai dan menolak melanjutkan program normalisasi sungai ala Ahok.

Beberapa kali Kementerian PUPR memanggil Gubernur DKI itu untuk menjelaskan konsep naturalisasi sungai. Anies tidak pernah datang dan hanya mewakilkan bawahannya.

“Beberapa kali saya sudah bilang sama beliau (Anies), beberapa kali Pak Dirjen (SDA) ngundang pemda, enggak ada yang datang. Kita mau tanya, yang dimaksud naturalisasi sama DKI itu opo? Kita undang dua kali, yang dateng stafnya, staf yang enggak ngerti,” ucap Basuki Hadimuljono, Jumat, 29 Maret 2019.

Bahkan, kata Basuki, dalam sejumlah pertemuan, dirinya selalu mengingatkan Anies untuk membahas konsep naturalisasi yang dimaksud.

Rupanya kesabaran sang menteri habis, sampai dia melontarkan pernyataan, ”entah apa namanya, yang penting itu dikerjakan.”

Menurut Menteri PUPR, program normalisasi dengan pembuatan tanggul sungai baru terealisir 16,19 km dari yang direncanakan 33,69 km.

Selain program normalisasi sungai yang menunggu DKI, pemerintah pusat melakukan proses pembangunan Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang berlokasi di Hulu Sungai Ciliwung, sejak tahun 2016.

Program ini berjalan lancar karena pemerintah daerah setempat responsif membantu pemerintah pusat, khususnya pembebasan tanah. Sedangkan normalisasi sungai di DKI terbengkalai karena pemprov-nya ogah-ogahan menjalin kerjasama dengan pusat, bahkan cenderung menentang.

Pembangunan bendungan merupakan bagian dari rencana induk atau masterplan pengendalian banjir Ibu Kota Jakarta sebagai bentuk komitmen pemerintah pusat untuk mengendalikan banjir mulai dari hulu hingga di hilir.

Bendungan itu ditargetkan rampung lebih cepat, yang semula ditargetkan selesai pada tahun 2021.

“Saat ini progres pembangunan Bendungan Ciawi sudah 45% dan akan diselesaikan akhir tahun ini atau Desember 2020,” kata Basuki Hadimuljono, Sabtu, 4 Januari 2020, kepada berbagai media.

Sedangkan Tim Anggaran Pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan malahan memangkas anggaran pembebasan lahan waduk dan sungai untuk pengendalian banjir tahun 2019 sebesar Rp 500 miliar. Pemangkasan dilakukan karena defisit anggaran Pemerintah DKI Jakarta.

Saat itu, Kepala Dinas Sumber Daya Air, Juaini Yusuf menyatakan berdampak pada rencana pembebasan 118 bidang lahan di Kali Ciliwung.

Pengamat politik, Ujang Komaruddin menilai Anies tak punya niat untuk mengatasi banjir di ibu kota karena memangkas anggaran tersebut. Tak sekali itu saja anggaran penanggulangan banjir dikurangi.

Rencana Anies mengurangi anggaran penanggulangan banjir pada Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2018, kala itu ditentang Ketua DPRD I DKI Prasetio.

Prasetio meminta Anies untuk berpikir ulang. “Jangan sampai mengganti hal yang sudah baik di pemerintahan sebelumnya,” ujarnya ke Anies lewat berbagai media.

Selain setiap tahun mengurangi anggaran untuk penanggulangan banjir, serapan anggaran untuk pos tersebut sangat rendah.

Banjir Jakarta

Banjir di Jalan HBR Motik, sekitar jembatan layang Benyamin Sueb, Jakarta, Selasa, (25/2/2020). (Foto: Antara/Boyke Ledy Watra)

“Dari total Rp 3,87 triliun anggaran pada tahun 2019, realisasi keuangan hanya 60,7 persen dan realisasi kinerja hanya mencapai 64 persen, selisih jauh dari target capaian 83 persen yang tercantum dalam RPJMD DKI untuk tahun anggaran 2018-2019,” jelas Misbah, Sekjen Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) melalui keterangan tertulis yang dimuat di berbagai media, Sabtu, 4 Januari 2020.

Serapan anggaran rendah juga terjadi pada tahun 2018. Menurut penelusuran sebuah media online via situs resmi Pemprov DKI, anggaran besar ini tidak mampu dimaksimalkan Dinas SDA (Sumber Daya Air) DKI Jakarta.

Tercatat hingga September 2018, serapan anggaran SDA baru terealisasi sebesar 28% dari total dana Rp 4,3 triliun.

Kritik Publik

Ketika DKI Jakarta didera banjir berkali-kali selama awal tahun 2020 ini, sontak membuat masyarakat mempertanyakan kinerja sang gubernurnya dalam menjalankan program penanggulangan banjir.

Gubernur Anies dipandang tidak becus mengatasi banjir di Jakarta. Tak ada kerja yang signifikan dalam menjalankan program tersebut.

Banyak kalangan juga menuduh Anies tidak mempunyai kejelasan tentang pelaksanaan program naturalisasi sungai yang ia canangkan.

Dasar hukum dari program itu baru jadi bulan Maret tahun lalu, dengan ditandatanganinya Pergub No 31 Tahun 2019. Pergub itu tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana SDA secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.

Gagasan utama program ini bukan membeton sungai seperti normalisasi, tapi menghidupkan ekosistem di sekitarnya. Regulasi itu secara khusus memandatkan Dinas SDA DKI Jakarta agar membangun ruang terbuka hijau (RTH) dan menentukan batas garis sempadan–tak boleh ada bangunan di dalam garis tersebut.

Peneliti tata kota dari Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga, menjelaskan bahwa baik normalisasi, naturalisasi, ataupun perpaduan keduanya dipastikan Pemerintah DKI harus melebarkan badan sungai agar kapasitas air meningkat dan memiliki sempadan sungai yang optimal.

Artinya, Pemprov DKI harus memindahkan warga di sekitar bantaran sungai, seperti yang Ahok lakukan dengan program normalisasi sungai.

Banjir Jakarta

Banjir Jakarta ikut merendam sejumlah kantor dinas di bawah jajaran Kementerian Keuangan. (Foto: Facebook/Sri Mulyani)

Tetapi, jejak Pemprov DKI membangun rumah susun untuk tempat tinggal warga yang tergusur lahannya belum dilakukan. Apakah lahan dibebaskan dengan cara ganti rugi? Atau dengan cara lainnya? Belum jelas.

Lantas, apa yang sudah dia kerjakan sejak dilantik 16 Oktober 2017? Selama dua tahun lebih kepemimpinannya, apa yang sudah ia upayakan untuk menjalankan konsep naturalisasi sungai? Sebuah konsep yang ia gembor-gemborkan sejak massa kampanye Pilkada DKI?

Kemarahan publik semakin meningkat karena dalam soal urusan program Balapan Formula E sang Gubernur lebih bersemangat. Untuk mewujudkan ambisinya, sang gubernur berani menabrak ketentuan yang ada, dengan menyelenggarakan balapan tersebut di Monas, yang merupakan cagar budaya.

Lihat saja dalam APBD DKI, anggaran untuk penanggulangan banjir lebih kecil dari pos untuk Balapan Formula E (total Rp 1,6 triliun).

Alasan program itu ngotot dijalankan, karena akan meningkatkan pendapatan di sektor pariwisata.

Harusnya sang gubernur yang pandai menata kata itu melihat data bahwa banjir-banjir yang terjadi telah menelan kerugian besar. Semisal banjir tahun 2002 menelan kerugian Rp 9,8 triliun. Bukan hanya materiil, bencana itu juga membawa korban jiwa dan penderitaan lahir batin bagi yang terkena.

Apalah artinya pendapat pariwisata dari hasil Lomba Balapan Formula E dibandingkan kerugian banjir yang dimulai dari tanggal 1 Januari hingga menjelang akhir Februari di tahun ini?

Berapa kali masyarakat yang terlanda banjir harus kehilangan harta bendanya? Berapa kali harus membersihkan tempat tinggal karena diterjang banjir berkali-kali dalam jarak yang berdekatan? Berapa kali mereka harus mengungsi? Sungguh sebuah kehidupan di ibukota yang menyedihkan.

Banjir di Jakarta Timur

Warga melintas didepan rumah yang terendam banjir di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa, 25 Februari 2020. (Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya)

Maka, wajar bila masyarakat dan banyak kalangan menyatakan Gubernur DKI tidak mampu membuat skala prioritas program kerja di DKI. Lebih penting mana? Tidak kebanjiran atau Lomba Balapan Formula E?

Banyaknya persoalan yang terjadi terus menerus di DKI sebenarnya sudah cukup bukti untuk mengatakan Anies Baswedan tidak mampu menjadi gubernur, apalagi presiden. []

*Petrus Hariyanto, Mantan Sekjen PRD (Partai Rakyat Demokratik)

Sumber: TAGAR.id

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article