Sabtu, April 27, 2024

Pemulihan Papua, pemulihan Indonesia

Must read

Oleh Frans Maniagasi

Pada Senin (30/9), Metro TV dalam program Editorial Media Indonesia yang berjudul Bersama Pulihkan Harmoni Papua, saya diwawancarai lewat telepon sebagai narasumber tentang bagaimana pendapat saya tentang topik editorial tersebut.

Seperti kita ketahui, peristiwa Wamena pada 23 September 2019 merupakan rentetan kejadian yang terjadi sebelumnya di beberapa kota di Papua, mulai Manokwari, Sorong, Fakfak, Jayapura (19-21 September 2019) sebagai reaksi terhadap ujaran kebencian bernada rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jumat (16/8).

Kejadian ujaran kebencian rasialisme itu tanpa disadari telah menimbulkan reaksi meluas sehingga eskalasinya tak terbendung. Di luar dugaan, ujaran rasial itu kemudian berkolaborasi dengan masalah Papua seperti ‘bara’ yang memperoleh momentumnya.

Bara permasalahan Papua yang diakibatkan soal kesejarahan penyatuan Papua dengan negara RI, yang masih saja dipersoalkan sebagian masyarakat Papua, hingga soal ketidakadilan, masalah HAM, ketimpangan, dan jurang kesenjangan sosial. Lalu, soal ekonomi dan budaya antara orang asli Papua dan masyarakat pendatang seakan-akan memperoleh momentumnya.

Ledakan emosi dan kemarahan masyarakat Papua di Wamena itu telah menimbulkan kerusakan fisik dan psikis. Bahkan, disertai eksodus besar-besaran masyarakat Wamena keluar Papua selain di dalam Papua, terutama di Jayapura, Timika, dan Merauke.

Photo by Anton Nazaretian on Unsplash

Ekses dari kejadian ini bukan saja menimbulkan trauma kepada masyarakat pendatang, melainkan juga terhadap orang asli Papua yang sudah mengalami trauma berkepanjangan sejak wilayah ini menyatu dengan negara RI.

Oleh karena itu, pemulihan Papua bukan saja mencakup soal keamanan dan kenyamanan maupun ketertiban, melainkan juga mencakup dialog yang konstruktif untuk penyelesaian bara permasalahan Papua yang menghambat proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemulihan keamanan dan ketertiban pascakasus Wamena menjadi prioritas jangka pendek. Namun, tuntutan dialog yang konstruktif guna penyelesaian soal Papua untuk jangka panjang sangat mendesak menjadi agenda yang tak bisa dikesampingkan.

Dengan kata lain, pemulihan keamanan dan ketertiban Papua akibat ujaran kebencian yang bernada rasialisme telah menimbulkan ekskalasi konflik yang luas merupakan premis minor. Sebaliknya, pemulihan menuju penyelesaian bara persoalan Papua selama 56 tahun Papua menyatu dengan RI sebagai premis mayor mesti dituntaskan penyelesaiannya. Itu karena hal ini menyangkut eksistensi dan keberlanjutan NKRI.

“… dialog yang konstruktif dengan masyarakat Papua perlu diintensifkan untuk menyelesaikan bara permasalahan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah tuntas.”

Upaya terpadu untuk menyelesaikan masalah Papua harus melibatkan semua pihak. Menata ulang lanskap masalah Papua merupakan keharusan. Itu karena kasus ujaran kebencian bernada rasialisme telah menjadi amunisi yang menyatukan mereka sehingga menunjukkan solidaritas dan soliditas orang Papua.

Dari perspektif antropologi, meskipun orang asli Papua terdiri atas 250 lebih suku bangsa dengan bahasa daerah dan budaya yang berbeda-beda, tapi ada nilai-nilai kesamaan yang menyatukan mereka. Kesamaan itu yang kita temui tatkala mereka menghadapi ujaran kebencian rasialisme.

Namun, di sinilah kegagalan kita memahami orang Papua. Narasi yang kita kembangkan berdasarkan pengalaman kita terhadap mereka bukan berdasarkan pengalaman orang Papua, melainkan justru imajinasi dan pengalaman kita.

Karena kita gagal paham, dengan serta-merta secara sumir kita berpendapat bahwa eksodus besar-besaran dari Wamena hendak digiring pada logika mempertentangkan adanya perbedaan antara orang Papua versus pendatang.

Sama halnya isu rasialisme dibelokkan pada soal referendum. Dengan  pembelokan isu menjadi justifikasi terhadap pengalaman dan imajinasi kita, sedangkan kita mengabaikan imajinasi dan pengalaman orang Papua.   

Dominasi imajinasi dan pengalaman itu mengakibatkan kita luput dalam melihat permasalahan yang timbul di Wamena. Tidak saja karena rasialisme, tapi juga bahwa ada pihak lain yang menunggani insiden Wamena sebagai sasaran antara untuk menutupi bahwa di belakang isu rasial terjadi perang proxy. Maka itu, konflik dan kekerasan pun tetap langgeng dipertahankan di Papua.

Dengan latar ini, pertanyaannya ialah bagaimana pemulihan di Papua mesti dilakukan. Pemulihan yang dilakukan ialah meletakkan imajinasi dan pengalaman orang Papua tentang dirinya sehingga bagaimana peranan dan fungsi Papua dalam keindonesiaan. Artinya, selama ini kita menuntut bahwa Papua mengikuti kita, tapi kita tidak pernah mau mengikuti Papua. Akibatnya, kekerasan dan diskriminasi terus dilestarikan.

Maka dari itu, dialog yang konstruktif dengan masyarakat Papua perlu diintensifkan untuk menyelesaikan bara permasalahan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah tuntas.

Dialog yang konstruktif ialah mengubah diri kita menjadi Papua sehingga kita dapat memahami keinginan dan aspirasi mereka. Dengan dialog itu, menjadikan Papua dalam keindonesiaan dan sebaliknya sehingga terjadi saling pengertian dan pemahaman dengan mengemban narasi-narasi positif untuk Papua.

Terkait dengan hal itu, pemerintah perlu mengintensifkan pendekatan berbasis kemanusiaan. Pendekatan berbasis kemanusiaan dimulai dengan komunikasi yang konstruktif untuk membangun sikap saling percaya dan memahami antara pemerintah dan stakeholders terkait dan strategis.

Dialog kemanusiaan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. Tiga pendekatan itu ialah reflektif mengevaluasi apa saja yang telah kita lakukan terhadap Papua. Kemudian korektif, memeriksa apa saja kesalahan dan kekeliruan yang selama ini telah kita lakukan di Papua. Yang terakhir ada rekonstruksi apa yang kita hendak lakukan terhadap Papua menuju pemulihan Papua sekaligus pemulihan Indonesia.

Frans Maniagasi, Pengamat Papua 

Sumber: Media Indonesia

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article