Sabtu, April 27, 2024

Presiden kebal hukum?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Be human, please

Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach.

Dalam satu diskusi pekan lalu di Institut Peradaban Jakarta, seseorang mengatakan bahwa presiden kebal hukum. Siapa pun yang mengucapkannya, ini tentunya sangat penting.

Forum diskusi rutin di Institut Peradaban (IP) – lembaga nonprofit yang diprakarsai Prof. Dr. Jimly Asshiddiqy dan Prof. Dr. Salim Said — selalu dihadiri sosok-sosok matang di bidangnya, ada mantan duta besar, menteri, jenderal yang berperan penting dalam sejarah kekuasaan, politisi, pengusaha, wartawan senior, plus pejabat publik masih aktif. Maka setiap ucapan dan kalimat dari mereka layak diperhatikan sungguh.   

Pernyataan “presiden kebal hukum” memicu penggalian pemahaman lebih jauh tentang kepemimpinan siapa pun yang tengah dalam posisi memegang kekuasaan. Apakah presiden mahluk lebih tinggi dari manusia biasa, kok kebal hukum?

Tak jauh beda hari, Budiman Tanurejo menulis tentang realitas pemerintahan negara. Katanya, kepresidenan lembaga tanpa undang-undang (opini Kompas, 21 Maret 2024). Ini juga berkaitan dengan perilaku kepala negara yang cenderung tidak mau dibatasi kekuasaannya.

Tanpa undang-undang yang mengaturnya, seorang presiden memang bisa saja lantas menuhankan nafsu pribadi dan kepentingan keluarga plus kroni, dibanding mengatasi kesulitan rakyat dalam realitas kehidupan sehari-hari. Lantas mengabaikan hukum dan mematikan demokrasi.  

Apakah RI sesungguhnya berada di bawah kendali shadow government — kekuatan-kekuatan pribadi dan organisasi di balik layar, termasuk para oligarchs dan pedagang konsesi wilayah sensitif negara yang tidak tersentuh oleh lembaga demokrasi dan nalar publik?

Kita mungkin baru menyadari ternyata “wabah fir’aunisme”, menuhankan dirinya agar berhak di atas hukum, atau tabiat buruk para kaisar di China masa lalu, dapat menjangkiti siapa saja yang tengah mencandu kekuasaan. Tentu para kroni dengan gusto akan memanfaatkan tendensi itu.   

Kaisar-kaisar di China selalu mengklaim bahwa kekuasaan mereka “mandat (ming) dari Tuhan”, Tian ming.

Ketika pemerintahan dirasakan merugikan rakyat, para pemimpin rakyat dan kalangan terpelajar biasanya merasa wajib, terpanggil, memimpin gerakan mematahkan (ge) “mandat” tersebut atau geming – artinya revolusi.

Sejarah peralihan kekuasaan di China nyaris selalu ditempuh lewat geming, jalan revolusi. Contohnya, Sun Yat-sen, Ketua Partai Nasionalis (Guomindang), dikenal sebagai Bapak China Modern, menumbangkan Dinasti Qing dan menjadi Presiden Republik China (1911/1912).

Dalam perspektif agama Islam, kata kalangan ulama, Tuhan memberi manusia “kemampuan berkehendak” memilih jalan yang disediakan, jalan baik dan jalan keburukanan-najdain. Jalan baik itu Najd dalam substansinya. Jalan buruk juga Najd, tapi bukan substansinsinya, menurut anggapan yang menelusurinya (Tafsir Al Misbah). 

Membiarkan perilaku kepemimpinan kaisar berlama-lama merugikan rakyat bisa dianggap “memilih jalan keburukan.” Rakyat di pelbagai tempat di dunia ini galibnya selalu memilih jalan yang baik. Dalam pergantian kekaisaran di China lewat geming, mematahkan “mandat”, di Rusia dalam bentuk revolusi Bolshevik menggusur Tsar Nicholas Romanov dari kekuasaan. Itu pilihan rakyat mereka.

Meiyou renmin meiyou lingdao, (terjemahan) kata Sri Sultan HB X dalam suatu wawancara dengan seorang wartawan senior Xinhua News yang datang dari China ke Yogya, lebih dari 10 tahun silam, di Kepatihan, kantor pemerintahan DIY. Saat itu saya bersama mereka. Maksud kata-kata tersebut: “Tanpa rakyat, tidak ada pemimpin.”  

Dapat ditafsirkan: Kalau rakyat tidak bahagia, tidak diurus dengan bijak sebagai manusia utuh, hanya dianggap sebagai sederet perut kosong yang perlu diberi bantuan sosial saat kampanye politik, maka pemimpin negara itu tak lebih dari seonggok mahluk hidup yang dapat dipertanyakan kemanusiaannya. Bangsa menjalani hidup tanpa visi, mudah terpolarisasi. Pemegang kekuasaan pemerintahan bisa kehilangan legitimasi.

Tantangan terbesar hari-hari ini dalam politik, di sektor usaha, institusi pemerintahan, bahkan tampaknya di wilayah nonprofit juga, adalah, para eksekutifnya baru di level pimpinan, masih belum jadi pemimpin.

Mereka belum sanggup jadi manusia yang  mengotimalkan potensi-potensi baik anugerah Tuhan. Mereka, termasuk presiden atau perdana menteri, seperti mesin, bagian dari sistem yang dikontrol para pengendali utama shadow government.

Pola kepemimpinan di organisasi bisnis dan politik, kelihatannya juga di sebagian kalangan aktivis sosial, yang diragukan bobot kemanusiaannya tersebut indikasinya akibat pelatihan-pelatihan mereka masih didominasi semangat feodalistis dan pengaruh teori sosiolog Jerman Max Weber abad silam – sangat hirarkis, rules, kontrol segala lini, impersonality, accountability, dan ownership terpilah.

Dalam kondisi sosial, politik, dan ekonomi stabil, pendekatan tersebut di organisasi memberikan results sesuai perkiraan. Sampai tahun 1960-an buku-buku manajemen dan praktik di organisasi taklid pada teori Max Weber.

Abad 21, utamanya belasan tahun belakangan ini, ketika kondisi lingkungan demikian dinamis, disruption selalu terjadi di pelbagai sektor, dari pendekatan kepemimpinan lama tersebut yang masih relevan hanya accountability.

Pelbagai survei lembaga-lembaga kredibel, sepertti Accenture dan Mc Kinsey, menyimpulkan, kepemimpinan yang berhasil mengatasi pelbagai goncangan dan ketidakpastian didominasi perilaku yang lebih manusiawi. Para eksekutif kompeten di bidang human skills (lebih dari sekadar technical skills), sangat inklusif, memuliakan kebersamaan dengan tetap menjaga akuntabilitas masing-masing, tim merasa aman berpendapat beda dengan atasan mereka.

Kenyataannya sampai hari ini masih sering dapat kita temui organisasi bisnis, apalagi di wilayah politik pemerintahan, yang masih ngotot mempertahankan pendekatan Max Weber. Eksesnya, antara lain, orang mengejar jabatan jadi sekadar pimpinan (ditakuti karena posisinya); belum mampu jadi pemimpin (dihormati dan disegani karena kompetensinya).   

Ciri-ciri pimpinan umumnya sibuk mengartikan jabatannya untuk manfaat pribadi/keluarga – wilayah publik mereka anggap sebagai playground unjuk ego kekuasaan dan jabatan, serta pencitraan. Di puncak kekuasaan politik, maunya kebal hukum pula.

Sedangkan pemimpin lazimnya mau mencurahkan resources, termasuk intelektual dan mental, membangun visi dan bergerak bersama yang mereka pimpin mewujudkan visi tersebut – sebagiannya bahkan tidak mau menonjolkan diri dalam setiap keberhasilan. “A leader is best when people barely know he exists, when his work is done, his aim fulfilled, they will say: we did it ourselves,” kata Lao Tzu.

Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com)     

Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.

Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528

Please contact Ibu Nella + 62 85280538449 for meeting schedule.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article