Jumat, Maret 29, 2024

Sepenggal kisah Kang Jalal bersama Gus Dur

Must read

Presiden kebal hukum?

Oleh Dr. H. Sa’dullah Afandi (Katib PBNU)

Sekitar 1997 saya bersama rekan Helmy Faishal (sekjen PBNU), saat itu kami lagi aktif di kepengurusan PP IPNU, mendapat tugas dari tabloid Warta NU untuk mewawancarai seorang tokoh cendekiawan muslim yang saat itu sedang moncer. Sebagai aktivis pasti senang mendapat tugas tersebut, apalagi keluar kota, Bandung lagi.

Singkat cerita kami dari Jakarta tiba di stasiun Bandung pindah naik angkot, terus naik becak menyusuri rel kereta api di bilangan Kircon, tak lama lalu ketemulah sebuah yayasan Muthahhari, sebuah pendidikan Islam terpadu yang sedang berkembang dan maju, yang peresmiannya dihadiri Gus Dur, itulah yayasan milik Dr. Jalaluddin Rakhmat.

Kami lalu masuk ke rumah yang sangat sederhana, kami diterima ramah oleh sang empunya rumah, beliau menanyakan “Oh, ini yang dari tabloid PBNU ya?”

“Betul Kang Jalal, kami dari warta NU.” Beliau tahu karena kebetulan kami sudah appoinment via telepon sebelumnya.

Setelah wawancara panjang lebar tentang isu keislaman, pemikiran modern dan lain-lain yang sangat mencerahkan, saya bertanya begini, sangat berani dan nekat sebenarnya: “Gini Kang Jalal, kenapa Anda seorang Muhammadiyah kok jadi ‘hijrah’ ke Syiah?”

Beliau kemudian ketawa renyah, baru kemudian menjawab dengan diawali sebuah cerita.

“Saya pernah mengisi pengajian bulanan rutin di pengajian ibu-ibu RS Yarsi Jakarta.” Beliau mengawali ceritanya.

“Setelah puluhan tahun saya isi kajian kemuhammadiyahkan, tiba-tiba pendiri RS Yarsi itu meninggal. Saya tentu diundang oleh pengajian ibu-ibu tersebut tapi ternyata diajak untuk mengisi pengajian dan tahlil untuk almarhum. Saya kaget, sambil bingung, saya gagal selama belasan tahun memuhammadiyahkan pengajian ini,” cerita beliau.

Menurut Kang Jalal ternyata ibu-ibu itu mayoritas pendatang dari Jawa yang terbiasa membudayakan tahlil di daerahnya, jadi tidak berfikir itu sebagai perbuatan bidah, tapi bagian dari tradisi yang sudah menjadi kearifan lokal dan turun menurun untuk mendoakan orang yang sudah meninggal.

Suatu ketika beliau ketemu Gus Dur dalam sebuah diskusi, Kang Jalal melanjutkan ceritanya. Beliau kemudian menceritakan pengalaman pahit menjadi pengajar setia Muhammadiyah tersebut, Gus Dur tentu ketawa mendengar curhatan Kang Jalal, dalam pertemuan tersebut.

Kang Jalal kemudian meminta rekomendasi kepada GD agar dicarikan beasiswa buat anaknya ke luar negeri, GD kemudian menyarankan agar anaknya belajar ke Iran saja mendalami agama. “Nanti saya antar, saya titipkan ke ulama sana,” ujar GD.

Tibalah saatnya mereka akhirnya bertiga beneran terbang ke Iran, para ulama di Iran tentu menyambut hangat kedatangan KH. Abdurrahman wahid, pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia yang juga alumni perguruan tinggi di Baghdad. Mereka diajak keliling ziarah makam-makam awliya dan tempat-tempat kajian keislaman di sana.

Nah, saat perjalanan pulang ke Jakarta di dalam pesawat Kang Jalal masih menyimpan penasaran, mumpung berdua beliau nanya ke Gus Dur, “Gus, kenapa anakku harus belajar ke Iran?”

Gus Dur senyum sambil menjawab, “Gini Kang, sampeyan ini kan kecewa menjadi muballigh Muhammadiyah yang gak direken sama jamaah yang puluhan tahun sampeyan bina, mending sampeyan belajar tentang Islam Syiah.”

Kenapa nggak diajak ke NU saja Gus? “Di NU sudah banyak kyai-kyai yang alim dan pintar-pintar kitab kuning, sampeyan paling nanti jadi santri atau jamaah mereka. Tapi kalau di Syiah, sampeyan pasti jadi tokoh.”

Kang Jalal kaget, tapi kemudian mereka ketawa terkekeh-kekeh.

Betul setelah anaknya belajar di Iran, kang Jalal atas jasa GD tersebut sering diundang untuk sebuah kegiatan dan pertemuan international di negeri Persia tersebut dan menjadi tokoh Syiah Indonesia dengan mendirikan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia).

Kemudian kang Jalal mengakhiri obrolannya dengan kami dengan kalimat penutup yang menarik, “Jadi kenapa saya Syiah, GD yang harus tanggung jawab, karena saya ini disyiahkan oleh Gus Dur.”

Kami akhirnya ketawa bareng, sambil menyeruput teh panas dan cemilan rebusan yang disiapkan tuan rumah, tentu menambah kehangatan kota Bandung yang dingin.

Sebelum pamit beliau berpesan, “Mas jangan lupa ya hasil wawancaranya dimuat dan saya bayar ini untuk langganan tabloid Warta NU setahun.” Alhamdulillah.

Hari ini Kang Jalal telah pergi untuk selamanya, saya menyaksikan almarhum Kang Jalal orang baik dan saleh, cerdas dan bersahaja, kami sangat kehilangan tokoh seperti beliau.

Apalagi beliau sempat menulis epilog dalam buku saya “Menyoal Status Agama-agama Pra-Islam” yang diterbitkan Mizan (2015) bersama KH. Makruf Amin dan Kiai Husein Muhammad, beliau senang sekali ketika diminta mengomentari buku dari disertasi saya tersebut.

Beliau bangga dengan bangkitnya pemikiran kaum muda NU, bahkan beliau juga hormat kepada Kyai Said Aqil, syiir-syiirnya tentang pluralisme Ibn Arabi sering beliau kutip. Menurutnya bangkitnya pemikiran dan intelektualitas di NU berkat kegigihan Gus Dur memperjuangkan Islam moderat yang rahmatan lil ‘alamin dengan segala rintangan dan pengorbanan yang luar biasa.

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article