Oleh Aminul Fikar Masruri
Sejatinya pendapat itu tidak pernah tunggal, selalu ada dua versi atau bahkan lebih. Karena itu perbedaan pendapat, banyak versi dalam setiap masalah adalah suatu keniscayaan dan karenanya klaim atas kebenaran itu tidak alami alias standar ganda atau politis.
Hal yang sama juga berlaku dalam menyikapi pemberitaan media luas terkait apa yang dialami oleh Etnis Uighur di Xinjiang, China. Pemberitaan yang akhir-akhir ini membuat pemerintah China tengah dihujani kritik dari dunia atas dugaan perlakuan mereka terhadap suku Uighur yang dianggap menindas. Perlakuan yang diberitakan adalah seperti menahan warga suku Uighur di kamp-kamp khusus.
Sebelumnya sebuah komite PBB mendapat laporan soal ditahannya satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya di wilayah Xinjiang Barat pada Agustus 2018 lalu. Selama ditahan, mereka menjalani apa yang disebut program pendidikan ulang atau Kamp Indoktrinasi Politik yang diduga di dalamnya terdapat upaya pelunturan keyakinan yang dianut warga Uighur.
Versi laporan tentang Muslim Uighur yang cukup viral akhir-akhir ini seolah menjadi kebenaran tunggal, yakni Etnis Uighur di Xinjiang, China mengalami pengasingan bahkan sampai penindasan, sehingga komunitas internasional, baik pers, tokoh politik, serta lembaga kemanusiaan pun mengecam keras. Sebenarnya, siapakah suku Uighur?
Suku Uighur merupakan etnis minoritas di China yang keberadaannya di Xinjiang sudah dicatat sejarah sejak berabad-abad silam. Mereka merupakan penduduk Muslim yang secara budaya merasa lebih dekat ke Asia Tengah, dibandingkan dengan suku Han China yang merupakan mayoritas. Pada awal abad 20, suku Uighur mendeklarasikan kemerdekaan mereka dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong membawa Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing dan menjadi daerah paling luar. Xinjiang sendiri merupakan provinsi terbesar di China yang memiliki banyak sumber daya alam.
Mengenai keberadaan suku Uighur itu sendiri selain di Republik Rakyat Tiongkok (RRT), populasi suku ini juga tersebar di Kazakhstan, Kyrgystan dan Uzbekistan. Suku Uighur bersama Suku Hui menjadi suku utama pemeluk Islam di Tiongkok, namun ada perbedaan budaya dan gaya hidup yang kentara, di antaranya Suku Uighur lebih bernafaskan sufi sedangkan suku Hui lebih pada mazhab Hanafi. Suku Uighur terutama berdomisili dan terpusat di Daerah Otonom Xinjiang. Dari total 24 juta penduduk Xinjiang, sekitar 11 juta adalah warga Muslim yang mayoritas berasal dari suku Uighur.
Sejatinya persoalan gejolak etnis Uighur di Xinjiang sudah terjadi sejak 1930 dengan versi realitasnya tersendiri. Bukan realitas kemarin sore. Rentetan sejarah RRT dengan Suku Uighur teramat panjang kalau hanya disimpulkan sebagai persoalan diskriminasi pemerintah atas suku minoritas di Negeri Tirai Bambu tersebut, apalagi sebatas diklaim sebagai persoalan agama.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi dan dihadapi oleh umat Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang sana? Apakah betul terjadi perlakuan intimidasi, diskriminatif oleh RRT kepada minoritas Muslim Uighur? Benarkah kamp-kamp pengasingan dibangun untuk redoktrinasi apa yang menjadi keyakinan suku Uighur?
Untuk menjawab pertanyaan maupun mengkonfirmasi kebenaran pemberitaan di atas, perlu kiranya menggunakan sebuah ungkapan Gubernur Xinjiang, believing is seeing yakin dan percaya dengan melihat. Artinya sekali melihat sendiri itu lebih baik daripada seratus kali mendengar dari orang lain. Pendapat demikian mengajarkan pentingnya melihat permasalahan yang sebenarnya terjadi dengan tahu langsung dari versi realitas daripada mendengar dari orang lain dengan versi pemberitaan dari pihak yang tidak datang langsung ke lokasi kejadian.
Dalam rangka mengilhami ungkapan tersebut, pihak Polri bersama rombongan 32 Orang perwakilan dari tokoh agama, akademisi, dan aktivis kepemudaan melakukan kunjungan ke Xinjiang, 20-27 Maret 2019 lalu. Dari kajian langsung di lapangan tersebut dapat dilihat fakta dan realitas yang bertolak belakang dan berbeda jauh dengan berita yang marak beredar soal intimidasi suku Muslim Uighur oleh Pemerintah RRT. Bahkan Pemerintah China tampaknya memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan perhatian pada Muslim Uighur di Xinjiang, antara lain dengan membangun sarana ibadah dan pendidikan bagi umat Muslim serta meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi melalui program vokasi maupun pelatihan.
Di Xinjiang sendiri terdapat 24.000 unit masjid. Seluruhnya berada di dalam pengawasan pemerintah China. Sama halnya dengan masjid-masjid lainnya di China yang kebanyakan dibangun pada masa Dinasti Ming yang memerintah China selama 276 tahun, mulai 1368 hingga 1644 Masehi. Sebagian besar masjid di China yang sampai saat ini berdiri sudah mengalami beberapa kali pemugaran, baik berskala besar maupun kecil, dengan semua pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah setempat.
Perhatian terhadap perkembangan Islam juga diberikan oleh pemerintah China dengan menerbitkan Alquran dalam berbagai bahasa yang digunakan masyarakat setempat, seperti Mandarin, Uighur, Kazakh, dan Kirgiz. Belum lagi referensi keislaman lain berupa manuskrip keislaman yang telah mencapai 1,76 juta salinan, sebagaimana tercatat dalam data Dewan Pemerintahan China Urusan Keagamaan China Islamic Assotiation (CIA). Dalam catatan lembaga tersebut, jumlah masjid di China sebanyak 34.000 dengan jumlah imam 58.000 orang yang seluruhnya mendapatkan bantuan semacam mukafaah (jaminan hidup) dari pemerintah setempat.
Selain itu, di Kota Urumqi Provinsi Xinjiang berdiri megah bangunan mirip pesantren dengan fasilitas yang lengkap yang mampu menampung ribuan pelajar muslim suku Uighur yang bernama Al-Islam Al-Asr. Lembaga tersebut memiliki delapan cabang di Xinjiang dengan jumlah pelajar secara keseluruhan sebanyak 1.200 orang. Sebagai satu-satunya lembaga yang mencetak para imam dan pemuka agama Islam di Xinjiang, perguruan Al-Islam Al-Ashr mendapatkan akreditasi dari pemerintah. Kebanyakan para pelajarnya yang berasal dari berbagai daerah perbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan itu mendapatkan bantuan pembiayaan sekolah, akomodasi, dan bahkan uang saku dari pemerintah China.
Salah seorang pelajar Muslim dari suku Uighur menuturkan kepada delegasi kami bahwa mereka selama ini merasa nyaman serta bahagia di pusat pendidikan agama tersebut, mereka diberikan pemahaman keislaman yang benar, pemantapan wawasan kebudayaan, undang-undang pemerintah yang dapat menguatkan rasa cinta kebangsaan dan nasionalisme mereka.
Dari hasil pengamatan langsung selama seminggu di wilayah Xinjiang dan Beijing, dapat dilihat bahwa Republik Rakyat Tiongkok meski berpaham Komunis namun dalam hal kebebasan beragama, berkeyakinan, serta merawat toleransi di tengah beragamnya suku, agama masyarakatnya memiliki perhatian dan kebijakan yang baik dan akomodatif.
Dari pengalaman melihat RRT dalam media visit pada 20-27 Maret 2019 itu, agaknya ada tiga kata kunci dalam melihat Uighur (bukan hanya mendengar), yakni komunisme China, kebebasan beragama dalam Konstitusi RRT (UUD) dan peta lokasi Uighur.
Khusus komunis, agaknya ada perbedaan pandangan, karena sebagian masyarakat di Indonesia melihat komunis sebagai ideologi (pengalaman PKI 1965), sedangkan komunis bagi masyarakat China hanya paham politik yang mendorong kesejahteraan masyarakat (ekonomi kerakyatan).
Bukti bahwa komunis di China bukan ideologi adalah Konstitusi RRT yang menjamin kebebasan beragama bagi masyarakat, baik beragama atau tidak beragama. Realitasnya, Islam dan agama lain juga berkembang pesat di China.
Terkait peta lokasi Uighur yang perlu diketahui adalah kedekatan jaraknya dengan Afghanistan dan Pakistan yang selama ini juga santer diberitakan bahwa ada warga Indonesia berlatih perang atau ‘berjihad’ di Afghanistan. Apalagi, warga Uighur yang sangat dekat jarak tempuhnya, karena itu sangat mungkin kelompok radikal ada dalam Etnis Uighur, bahkan disebut sudah ada sejak 1930. Dalam kontek paham kelompok radikal, ekstrimis inilah pemerintah RRT tidak tinggal diam dan bersikap preventif guna menjaga kondusifitas dan keamanan negerinya.
Tercatat lebih dari seribu kasus terorisme berupa pengeboman, pembunuhan masal, perampokan, maupun penembakan sadis yang dilakukan oleh kelompok radikal, ekstremis, maupun separatis selama periode 1998-2015 yang terjadi di wilayah Xinjiang. Cipta kondisi melalui aksi terorisme tersbut disinyalir dilakukan guna mengganggu kondusifitas pemerintah serta menekan agar mau melepaskan wilayah Xinjiang dari kekuasaannya. Dokumentasi kejadian tersebut dapat dilihat di museum yang pada Desember 2018 lalu baru diresmikan di kota Urumqi Xinjiang.
Akhirnya, dapat kita pahami bahwa persoalan pemerintah RRT dengan suku Uighur yang terjadi selama ini bukanlah persoalan tentang Agama namun lebih tepat dikategorikan persoalan politik. Adanya pemberitaan mengenai penindasan, pengasingan terhadap mereka juga tidak bisa dibenarkan, yang ada justru sikap tegas dan preventif pemerintah RRT terhadap sebagian Muslim Uighur maupun agama lain yang terindikasi terpapar doktrin radikal, ekstremis yang tergabung dalam kelompok separatis di wilayah Xinjiang.
Mungkin pro-kontra mengenai suku Uighur ini juga tak luput dari muatan peta kepentingan dunia internasional, dalam hal ini negara pesaing China dalam berlomba menjadi negara terhebat di muka bumi ini. Maklum, RRT selangkah demi langkah berada dalam impian menulis ulang (rewrite) jalur sutra (silk road) perdagangan dunia yang mestinya membuka potensi kerugian besar bagi negara tertentu lainnya.
Harapannya, Indonesia sebagai negara dengan umat Islam terbesar di Dunia, mampu memberikan peran positif bagi keberadaan suku Muslim Uighur. Jalinan diplomasi yang baik juga terus perlu diupayakan pemerintah Indonesia bersama pemerintah RRT guna menjamin keberlangsungan toleransi kehidupan umat beragama yang selama ini terpupuk dengan baik. Sehingga Indonesia mampu menjadi mitra bangsa lain dalam rangka ikut mengampanyekan perdamaian dunia dengan menghindari konflik dan ketegangan atas nama Agama yang selama ini kerap dijadikan alat oleh kepentingan tertentu guna menjajah bangsa lain.
Selain itu, peran aktif pemerintah mengajak tokoh agama dan stikholder lainnya di Indonesia melalui kajian, forum diskusi, kampanye, maupun pelatihan secara masif tentang wawasan kebangsaan, sikap moderat dalam beragama juga terus dilakukan, guna menghindari sekaligus menolak kecendrungan gerakan “impor” konflik bangsa lain ke dalam Negeri yang kerap dijadikan komoditas politisasi kepentingan yang dapat membahayakan keutuhan NKRI.
Penulis adalah Pengasuh Lembaga Madrasatul Qur’an Al-Muntaha Al-Karim Moga, Pemalang; Alumnus Fakultas Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo; Peserta Media Visit ke Xinjiang.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/104658/melihat-kasus-muslim-uighur-dari-dekat