Sabtu, November 16, 2024

Negara

Must read

(1)

Di dunia yang melawan Covid-19, di kehidupan yang kalang-kabut menghadapi epidemi, ada sebuah tempat yang dengan cepat — dan gugup — jadi harapan: Negara.

Negara tiba-tiba tampak sebagai pemegang peran super besar, sebuah struktur yang pepak, sebundel aturan yang cerewet, sesosok juru selamat yang baik. Dunia berubah. Negara — umumnya berarti pemerintah dan birokrasi yang menyertainya — kini tak menimbulkan waswas.

Bahkan di Amerika yang takut diatur Big Government. Hari-hari ini di sana Negara dianggap wajar ketika mengintervensi soal besar dan kecil: di Alabama orang dicegah bersalaman; di Washington DC, Presiden Trump — yang anti sosialisme —memerintahkan perusahaan mobil General Motors memproduksi ventilator untuk rumah sakit.

Di Paris, orang dilarang lari pagi di jalanan yang kosong karena lockdown, dan Menteri Keuangannya menyatakan siap mengubah bisnis besar jadi BUMN jika mereka bangkrut. Di Spanyol, rumah-rumah sakit swasta dinasionalisai, dan di Inggris, ada kecenderungan Negara mengambil-alih beberapa sarana transportasi.

Di negeri-negeri di mana peran Negara selalu besar — karena sejarah politik dan ekonomi membuatnya demikian — Covid-19 membuka pintu lebih luas bagi jangkauan birokrasi.

(2)

Di Indonesia bahkan para rohaniawan mendukung larangan Pemerintah agar tak ada ibadah berkelompok, seakan-akan — paling tidak selama beberapa bulan — agama-agama tak terkait lagi dengan “the celebration of the community” seperti digambarkan Ernest Gellner. Kini persaingan antara Tuhan dan para penguasa dunia dalam mengurus wabah tak seperti dulu.

Di Prusia di tahun 1830-an, ketika wabah kolera mematikan ribuan orang, pemerintah membuat selebaran agar penduduk patuh kepada otoritas Negara dan tak hanya percaya kepada Tuhan. Sekarang seruan itu tak perlu. Di Wuhan yang berhasil menjinakkan Covid-19, Tuhan disingkirkan. Negara adalah Panglima.

Di Indonesia, ada sikap yang ambivalen, mungkin tak stabil. Berbeda dengan yang diajarkan mahaguru ilmu politik, “Negara” tak bisa dijadikan konsep yang berlaku di mana saja. Negara punya wajah yang berbeda-beda dalam kenangan bersama.

Ada yang terbentuk karena trauma penindasan. Ada yang berlanjut karena hikayat, syair, dan cerita ketoprak tentang kekuasaan yang baik. Lebih sering, Negara dibayangkan dengan hasrat ketertiban.

(3)

Atau Negara dialami secara lain lagi, jika kita ikuti gambaran Geertz tentang kerajaan-kerajaan Bali lama. Di masa itu, tak ada konsentrasi kekuasaan yang sistematis, tak ada pengelolaan yang “obyektif”. Kecenderungan yang menonjol adalah menghadirkan pertunjukan, “spectacle”. Pelbagai upacara, sebuah teater, ditampilkan.

Di sana “para raja dan pangeran bertindak sebagai impressario, pendeta jadi sutradara, dan para petani peran pembantu, awak panggung, dan penonton.” Kekuasaan berperan untuk mendukung kemewah-meriahan, bukan kemewah-meriahan untuk mendukung kekuasaan. “Power serves pomp, not pomp power.”

Saya kira Geertz agak berlebihan. Betapapun pentingnya “spectacle” di kerajaan lama Bali, selalu ada yang harus takluk dengan kekerasan, sedikit atau banyak. Saya tak tahu demikian pulakah Sriwijaya dan Majapahit. Kesultanan Aceh, Demak,, Makassar, Ternate, Tidore, dan lain-lain mungkin berbeda: Negara adalah baginda, ulama, tentara. Mungkin juga Negara dikenang dengan bayangan Mataram abad ke-18: raja dan represi, atau — dalam gaya yang lebih elegan — simbol-simbol tahta dan ajaran mengabdi dan diabdi.

(4)

Baru di abad ke-19, ada perubahan yang radikal. Ingatan tentang itu lebih melembaga: Hindia Belanda ditegakkan, menggantikan VOC yang swasta. Negara, dalam endapan ingatan kolektif orang Indonesia, terbayang mirip kekuasaan itu.

Struktur dan tindakannya membawa ciri-ciri modern: Negara adalah kekuasaan dengan ambisi lebih, yang mencoba mengontrol dan mengubah perilaku penduduk dengan sistem administrasi dan birokrasi yang terpusat.

Dalam batas tertentu, Hindia Belanda, sebagai Negara, mendapatkan legitimasinya karena membangun ketertiban yang kemudian disebut “zaman normal”. Tapi kekuasaan kolonial mengandung suasana curiga mencurigai, juga ketika bermaksud menyelamatkan penduduk. Di sini pas kita kembali ke cerita tentang wabah dan kekuasaan.

Syahdan, di antara dasawarsa pertama dan kedua, wabah pes berkecamuk di Jawa. “Gubernemen” mencoba mengatasinya, dengan mengirim lulusan sekolah kedokteran STOVIA — antara lain dr. Tjipto Mangunkusumo. Juga para mahasiswa dikerahkan, karena konon para dokter kulitputih tak hendak dikorbankan ke arena wabah. Kolonialisme punya kalkulasinya sendiri. Di saat itu Negara seperti yang digambarkan Nietzche: “monster yang paling dingin hati”.

(5)

Buku “Pest di Tanah Djawa dan Daja Oepaja Akan Menolak Dia”, yang ditulis Kd. Ardiwinata (terbit di tahun 1915), menceritakan bagaimana untuk mencegah penyebaran tikus-tikus pembawa baksil rumah-rumah rakyat harus dirombak dan penduduk diisolasi dalam barak-barak bambu. Kaum “inlander” kesal. Perasaan serasa dipenjara, menanggungkan kerugian harta, memendam kecurigaan kepada pendatang (juga kepada penguasa Belanda), akhirnya menimbulkan protes yang meluas.

Di masa itulah Haji Misbach, seorang komunis yang juga tokoh gerakan Insulinde Surakarta, muncul di rapat umum mengutarakan apa yang dirasakan mengimpit orang banyak. Sejarawan Takashi Sirahishi mencatat datangnya “zaman bergerak”.

Negara pun ditolak — seperti dalam kerusuhan di beberapa tempat di Eropa di abad ke-19 ketika kolera menyerang dan ribuan orang mati. Apa yang kemudian disebut “medicalization of society” tak selamanya disambut; penguasa memaksakan karantina dan kebijakan yang perlu bagi kesehatan publik.

Tapi publik tak dengan sendirinya berbahagia. Bahkan langkah Negara itu dianggap merugikan masyarakat.

Di St. Petersburg, Rusia, misalnya, pada Juni 1831. Rakyat berhimpun di Lapangan Sennaya. Mereka memprotes tindakan Kerajaan mencegah epidemi kolera yang memaksa mereka tinggal di karantina dan digembok.

Protes pun meledak jadi kerusuhan; kalangan bawah percaya bahwa para terpelajar sedang mencekik mereka — bahkan para dokter dituduh meracuni sumur penduduk.

(6)

Di tengah ketimpangan sosial, di tengah hilangnya kepercayaan, Negara sulit dianggap juru selamat. Epidemi akan lebih mengerikan ketika tak ada lagi harapan. Dan kita tahu, harapan tak akan ada hanya karena Negara. Harapan tak akan ada tanpa “compassion,” dari mana keadilan-dan-kebebasan tumbuh, diikhtiarkan.

Goenawan Mohamad

21/4/2020

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article