#SeninCoaching
#Leadership Growth: Disrupt Ourselves
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Pada saat saya berhenti main sulap, saya satu-satunya magician di Indonesia yang mendapatkan penghargaan World Best Mentalist 2010 – 2011,” kata Deddy Corbuzier dalam salah satu dialog di video Facebook (event Talks @ Telkomsel). Deddy Corbuzier, dengan nama lahir Deddy Cahyadi Sunjoyo, 25 tahun berprofesi sebagai entertainer dan berhasil sampai ke puncak, be the best in the world di bidang profesinya, pada waktu itu.
Di saat itulah Deddy memutuskan berhenti. Katanya, setelah di puncak tidak ada jalan lain kecuali turun. Ia menyadari, tidak selamanya seseorang atau bahkan perusahaan (termasuk Telkomsel, kata Deddy) akan selalu berada di puncak terus. Bakat-bakat baru – istilah Deddy “macan-macan dan singa-singa” di bawah menunggu naik ke puncak — bermunculan, yang bisa saja lebih hebat.
Dalam jargon belakangan ini, disruption bisa muncul setiap saat. Hal yang sama juga dialami organisasi. Deddy Corbuzier memilih bertransformasi saat sedang top.
Deddy Corbuzier mengakui itu sulit sekali. “Susahnya minta ampun,” katanya. “Gue kehilangan banyak job, kontrak, dan kehilangan duit banyak banget.”
Pilihan melakukan perubahan, bertransformasi, serta konsekuensinya yang mesti dihadapi semacam itu ternyata juga dialami oleh sejumlah pribadi yang kemudian hari lebih sukses, tampil dengan branding baru. Ada periode berat, umumnya financially challenging, yang kadang harus dijalani, untuk diatasi.
Deddy Corbuzier salah satu di antaranya. Di blantika YouTube, Deddy sudah mendapatkan subscriber 1,4 juta. Sebagai sosok top dan bertubuh binaragawan, Deddy juga berhasil jadi brand ambassador Ronnie Coleman, professional bodybuilder yang delapan kali berturut-turut memenangi Mr. Olympia dan dianggap one of the greatest bodybuilders of all time, serta brand ambassador Under Armour, Inc. perusahaan peralatan olah-raga Amerika dengan cabang di banyak negara.
Berhenti di situ? Tidak. Deddy Corbuzier siap melakukan perubahan lagi, berupaya membangun prestasi di bidang berbeda. Dalam jargon sekarang, Deddy Corbuzier bisa disebut selalu melakukan self-disruption, reinvention.
Sebagai pribadi dan tentunya juga di level organisasi, penggalian potensi diri terus menerus – termasuk pengembangan human capital atau tim — merupakan proses yang mesti kita pilih untuk dapat live life to the fullest, agar keberadaan kita selalu relevan dengan zaman.
Bahkan sebagian ulama mengatakan, salah satu bukti kita bertakwa kepada Tuhan adalah dengan menggali potensi-potensi positif diri kita seoptimal mungkin. Sampai kita meninggal.
Di level organisasi, bisnis besar yang dapat dijadikan contoh menjalani pola tindak seperti itu, melakukan continuous improvement, self-disruption, untuk tetap sukses, antara lain General Electric (GE). Konglomerasi multinasional yang memproduksi bola lampu sampai mesin pesawat terbang, alat-alat kesehatan canggih, serta pembangkit listrik berbasis renewable energy ini usianya sudah 130 tahun lebih.
Selain invention produk dan jasa, GE juga terus melakukan reinventing dalam pengelolaan organisasi dan pengembangan human capital.
Di bidang teknologi keperluan sehari-hari, GE menghasilkan antara lain lampu LED (light emitting diode) yang dapat Anda hidupkan atau matikan dari jarak jauh menggunakan smart phone.
Di bidang pengelolaan usaha, Chairman GE Jeff Immelt telah menggulirkan inisiatif yang disebut simplification, membangun mindset perusahaan kecil di tubuh organisasi besar. Berbasis empat elemen simplifikasi – lean management, commercial and customer intensity, a service focus, dan technology – GE selain berhasil mengembangkan produk dan jasa lebih canggih, juga berhasil merangkul customers secara lebih terpuji.
Mereka meyakini, ukuran utama untuk menentukan eksistensi dan relevansi sebuah korporasi ditentukan oleh para pelanggan.
Bagaimana transformasi GE tercapai dan bagaimana organisasi-organisasi besar lain – seperti Xiaomi, Google, Haier, dan The Coca Cola Company — juga bisa melakukan self-disruption dan mampu terus beradaptasi, sehingga tetap relevan dengan para pelanggan mereka sampai hari ini?
Mereka tentu memiliki pendekatan berbeda, yang fit untuk realitas dan tantangan masing-masing. Persamaan di antara mereka utamanya adalah, para leader dan eksekutif terbuka untuk melakukan transformasi, reskilling staf (terus mengembangkan karyawan) di bidang hard skills dan soft skills mereka, mematahkan mitos birokrasi, merangkul komunitas, compelling vision, dan membangun budaya kerja lebih efektif.
Menurut survei McKinsey Mei 2019 terhadap para eksekutif, mereka sependapat, pengembangan kompetensi karyawan merupakan prioritas utama. Semua itu tentu memerlukan mindset baru, perilaku kepemimpinan yang lebih memuliakan manusia, investasi waktu dan uang.
Cerita tersebut sepantasnya jadi cermin bagi para eksekutif yang ikut mengambil keputusan di organisasi, di level mana pun keberhasilan saat ini. Apalagi yang masih berkutat menghadapi realitas akibat pandemi dan tim belum engaged, tahu dirilah, jangan memperbesar ego merasa sudah di jalur yang benar.
Pertanyaannya, mampukah Anda menolak betah di satu puncak keberhasilan – organisasi maupun pribadi?
Hari-hari ini, semua pihak — perorangan atau pun organisasi bisnis, nonprofit, serta institusi pemerintah — dihadapkan dengan tantangan diluar prediksi manusia mana pun di dunia, kita dituntut menata ulang, melakukan evaluasi kembali, sejumlah hal fundamental dalam hidup.
Pola pikir seperti Deddy Corbuzier atau seperti lazimnya para pendaki gunung professional – yang setelah mencapai puncak Kilimanjaro butuh ke Mount Everest, ke Aconcagua, ke Denali, Elbrus, Mount Vinson, dan Carstensz Pyramid – perlu kita jadikan inspirasi. Apalagi kalau Anda memimpin tim, mengelola organisasi yang memberikan impact kepada banyak orang.
Bukankah menurut Kitab Suci, manusia yang menyadari eksistensinya dititahkan untuk siap dan berupaya sungguh-sungguh melakukan pendakian terus-menerus? Meningkatkan kompetensi diri secara berkelanjutan. Meraih puncak demi puncak keberhasilan setelah bersusah payah menghadapi pelbagai tantangan.
Hanya saja perlu diingat: cara dan perilaku untuk ke puncak sukses yang kemarin, tidak dijamin bisa diandalkan mengatasi tantangan hari ini. Maka perlu rendah hati untuk bersedia terus berlatih, mengasah ketrampilan, pikiran dan hati.
Mohamad Cholid adalah
- Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- (linkedin.com/in/mohamad-cholid)
- (sccoaching.com/coach/mcholid1)