Rabu, Desember 4, 2024

Siapa masih sering menggugat Tuhan?

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Effectiveness is Our Currency

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Persepsi umum di kalangan manajer dan eksekutif ketika banyak organisasi memberlakukan giliran works from home (WFH) diseling hadir di kantor adalah peluang pemanfaatan waktu lebih efektif. Sejumlah meeting dilakukan online, waktu dan energi tidak terkikis oleh kemacetan lalu lintas.

Namun kenyataannya tidak demikian. Hari-hari ini masih dapat kita temukan kalangan manajer dan eksekutif yang mengaku jadualnya sangat ketat, sulit sekali mengalokasikan waktu untuk melakukan refleksi, merenung, mengatur strategi lebih jitu menghadapi realitas tantangan sekarang. Kami harus mengejar target, kata umumnya mereka. Tanpa ada kejernihan, secara spesifik yang ingin dicapai tersebut seperti apa. Lalu mereka stuck, mengeluhkan sejumlah hal.

Di banyak negara masih ada anggapan, kerja montang-manting memburu sederet urusan tanpa fokus, menghabiskan banyak waktu dan energi pikiran, merupakan ciri eksekutif di kota besar.

Sebaliknya, sebagian orang – utamanya yang berhasil memanfaatkan peluang kerja remote dari rumah masing-masing dan juga golongan yang selama ini sudah bersikap rendah hati, membuka pikiran, mengikuti pelatihan peningkatan kompetensi — mengatakan, orang-orang yang masih hiruk-pikuk kerja itu sebenarnya belum dapat membedakan antara busy-ness dengan business. Lebih tajam lagi: mereka itu sibuk mengerjakan to do list, tanpa achievement.

Jika kita sepakat bahwa “nothing can change until the unsaid is spoken”, boleh bicara apa adanya demi mengajak kebaikan, jadi efektif, kesibukan tanpa kendali tersebut merupakan indikasi syndrome dari sejumlah masalah. Di antaranya, pemahaman yang keliru tentang passion dan kerja keras, sombong (merasa harus menjadi juru selamat, dibutuhkan di mana-mana), ilusi, bangga atas beban kerjanya. Bagi yang punya tim, itu perilaku kepemimpinan yang salah arah.

Beware the Busy Manager. Ini judul tulisan Heike Bruch (profesor Leadership di University of St. Gallen, Switzerland) dan Sumantra Ghoshal (profesor Strategy and International Management di London Business School). Tulisan di Harvard Business Review (Februari 2002) tersebut hasil kajian selama 10 tahun sebelumnya terhadap perilaku para busy managers di hampir selusin perusahaan besar, di antaranya Sony dan Lufthansa.

Temuan mereka mengejutkan: 90% manajer menghamburkan waktu mereka pada kegiatan yang tidak efektif. Dengan kata lain, hanya 10% manajer memanfaatkan waktu mereka untuk menjalankan kegiatan yang committed, purposeful, dan reflektif (perenungan). “They think they’re attending to pressing matters, but they’re really just spinning their wheels. They rush from meeting to meeting, check their e-mail constantly, extinguish fire after fire, and make countless phone calls,” kata Heike Bruch dan Sumantra Ghoshal.

Lufthansa berhasil keluar dari ancaman bangkrut dan Sony sukses memperbaiki kinerja karena para CEO dan para manajer/eksekutif kedua organisasi tersebut bersedia rendah hati dan berani mengubah perilaku kepemimpinan mereka. Melibatkan tim dalam proses pengambilan keputusan, memberikan tantangan kepada mereka, dan memberi contoh bisa fokus dan memusatkan energi untuk satu dua hal yang sangat esensial dan memberikan impact signifikan bagi organisasi.

Hari-hari ini, ketika seluruh dunia dicekam oleh ancaman pandemi gelombang kedua, saat pergulatan selama sekitar 10 bulan yang lewat telah menyedot resources (pikiran, waktu, dan uang), tugas utama para pemimpin dan eksekutif (sebagiannya mungkin juga sudah exhausted) adalah menentukan pilihan: bersikap rendah hati, melakukan evaluasi diri agar mampu terus mendaki; atau tetap menghamburkan resources, membiarkan organisasi mandek?

Cara kerja kalang-kabut, nyaris selalu dalam moda reaktif, menolak peluang perubahan perspektif baru, dan mengeluhkan kekurangan waktu untuk berpikir mendalam menata strategi baru, bagi orang-orang yang mengaku beragama, boleh dikatakan seperti menggugat Tuhan.

Saat ini seluruh dunia mengalami tantangan pandemi dan Tuhan memberikan waktu yang sama bagi semua manusia, 24 jam sehari. Kalau ada yang masih mengeluh kekurangan waktu untuk memperbaiki kinerja organisasi, mohon cek kembali diri sendiri. Periksa ulang batin masing-masing.

Bukankah setiap agama mengajarkan tentang time management? Karena waktu adalah asset pinjaman dari Tuhan yang tidak dapat kita tabung, kecuali dengan memanfaatkannya seefektif mungkin. “Effective executives know where their time goes,” kata Peter Drucker.

Di kalangan umat Muslim pijakannya antara lain larangan “mencela waktu”. Dari Abu Hurairah, disampaikan salah satu sabda Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tentang waktu: “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu. Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang”. (HR Muslim nomor 6000). 

Mengarungi tahun 2021 dalam ancaman gelombang pandemi lanjutan, dengan resources yang bisa saja sudah kurang optimal, memerlukan perilaku kepemimpinan lebih efektif, melebihi dari yang kemaren dijalankan. Ini berlaku bagi sektor swasta, nonprofit, dan apalagi institusi pemerintahan.

Bagi organisasi-organisasi yang selama ini konsisten melakukan pelatihan-pelatihan, utamanya pengembangan soft skills dan peningkatan kualitas human relationship, ada peluang lebih mampu mengatasi tantangan. Ke depan ini, untuk mengajak tim mampu membangun daya tahan lebih kuat, kita perlu menekankan lagi compassion dan contentment dalam mengelola organisasi.

Krisis (akibat pandemi) mendesak kita membangun cerita berbeda tentang diri kita, tujuan-tujuan hidup kita, kontribusi apa yang dapat kita berikan bagi kemanusiaan. Selalu ada cara lebih baik  untuk mengelola benak kita, perilaku kepemimpinan, eksekusi, serta dalam menyikapi waktu. Kita perlu memperkuat emotional resilience, mempercayai proses, dalam mengarungi ketidakpastian.

Tanpa perlu teori dan abstraksi, sebagaimana ajaran Dr. Marshall Goldsmith, untuk membantu menjalani proses tersebut dengan efektif, kita ajukan kepada diri sendiri sejumlah pertanyaan aktif, kalau bisa setiap hari, di antaranya: “Did I do my best to set clear goals? Did I do my best to make progress toward the goals? Did I do my best to find meaning? “Your best is all you can do,” katanya.

Dalam proses ini pertanyaan dapat ditambah, sesuai dengan tujuan-tujuan pribadi dan target organisasi. Hasilnya tergantung pada upaya terbaik kita, “Did I do my best”. Dalam urusan ini tidak ada pihak lain yang harus disalahkan.

Cara tersebut tampak sederhana, namun perlu kesungguhan untuk melaksanakannya. Saat kita kerjakan, kadang terasa pahit, ngilu, melihat diri kita ternyata belum melakukan upaya optimal untuk menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab, dalam meraih target yang kita buat sendiri.

Mohamad Cholid adalah

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article