Setidaknya ada delapan tantangan budaya bermedia digital. Yakni, mengaburnya wawasan kebangsaan; menipisnya kesopanan dan kesantunan; menghilangnya budaya Indonesia, media digital menjadi panggung budaya asing; kebebasan berekspresi yang kebablasan; dominasi nilai dan produk budaya asing; berkurangnya toleransi dan penghargaan pada perbedaan; menghilangnya batas-batas privasi; dan pelanggaran hak cipta dan karya intelektual.
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA) Santi Indra Astuti sengaja menyebutkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan budaya bermedia digital (digital culture) pada acara webinar literasi digital bertema ”Konten Media Sosial Generasi Muda yang Pancasilais”. Sebuah diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk warga masyarakat Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Senin (12/7/2021).
Santi Indra Astuti menyatakan, untuk mewujudkan Pancasila dalam ruang digital setidaknya ada dua cara. Pertama, dengan cara mencintai produk Indonesia; Kedua, dengan cara mewujudkan kesetaraan.
Mendukung produk Indonesia dengan cara mencintai, lanjut Santi, berarti menjadi konsumen bijak dan nasionalis. Kemudian ia juga memberikan contoh perilaku seorang artis Indonesia Cinta Laura yang lebih suka membeli barang buatan lokal Indonesia ketimbang belanja barang branded made in luar negeri yang harganya puluhan bahkan ratusan juta.
Manfaat mendukung produk asli Indonesia, menurut Santi, berarti: menunjukkan rasa cinta Tanah Air, menjaga nama baik bangsa, menunjukkan rasa cinta terhadap produk Indonesia, meningkatkan pendapatan negara, dan memperluas lapangan pekerjaan.
Sedangkan mewujudkan kesetaraan di ruang digital, ucap Santi, caranya dengan mengutamakan kelompok rentan: anak-anak, orangtua, perempuan, penyandang disabilitas, kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar). ”Untuk melindungi hak digital kaum rentan, kita bisa lakukan: menutup kesenjangan, mendorong partisipasi, menjaga privasi, dan meningkatkan kompetensi digitalnya,” urai Santi.
Konten yang ”Pancasilais” bagi Santi ialah yang menyebarkan optimisme. Selanjutnya juga mengangkat hal-hal positif, mewujudkan cinta Tanah Air, mempromosikan gaya hidup yang berkualitas, menghargai orang lain, santun dan bermartabat, menguatkan harmoni dan kebersamaan, dan menciptakan ruang diskusi yang sehat.
”Melandasi setiap aktivitas di ruang digital berdasarkan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika berarti mendukung toleransi keberagaman, memprioritaskan cara demokrasi, mengutamakan Indonesia, cinta produk Indonesia, dan menginisiasi cara kerja gotong-royong,” pungkasnya.
Berikutnya, narasumber Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Rembang Suhardi bicara terkait etika bermedia sosial. Menurutnya, etika adalah suatu norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman dalam berperilaku di masyarakat bagi seseorang terkait dengan sifat baik dan buruk.
Suhardi mengibaratkan etika berinternet dengan sebilah pisau bermata dua, di satu sisi membawa manfaat, sisi lainnya mengandung mudharat. Manfaat medsos di antaranya: mencerdaskan, jual beli online, memudahkan layanan, akses terbuka, berkreasi, silaturahmi keluarga, informasi, pertemanan, keterampilan, dan promosi bisnis.
”Sedangkan aspek mudharatnya: asusila, judi, penipuan, pemerasan, penghinaan, perundungan (bullying), pencemaran nama baik, pelanggaran hak cipta/ kekayaan intelektual, akses ilegal, penyalahgunaan perangkat, intersepsi ilegal, gangguan data dan sistem,” sebut Suhardi.
Acara webinar yang dipandu moderator entertainer Rara Tanjung itu, juga menghadirkan pembicara A. Firmannamal (Praktisi Kehumasan, Kementerian Sekretariat Negara RI), Al Farid SM (Pegiat Literasi Komunitas), dan Virginia Obed selaku key opinion leader