Bermedia digital yang baik sangat jelas urgensinya untuk ditingkatkan oleh warga digital Indonesia. Pasalnya, sering kita dengar, hasil survei Microsoft pada tahun 2020 mencatat bahwa netizen Indonesia diketahui paling tidak sopan dan banyak melakukan perundungan siber.
Tema ”Bermedia Digital sing Apik” (bermedia digital yang baik) itulah yang dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara serentak untuk masyarakat Jawa Tengah, Sabtu (28/8/2021).
Diskusi virtual ini diikuti lebih dari 20 ribu peserta aktif yang tergabung di zoom meeting, ditambah 60 ribuan unique participants – termasuk yang mengikuti lewat nobar di banyak sekolah dan madrasah – dari total pendaftar yang mencapai 83 ribu orang.
Kegiatan yang merupakan bagian dari Program Nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital ini, diawali dengan sambutan dari Presiden Joko Widodo dan Menteri Kominfo Johny Gerard Plate. Dalam kata sambutan keduanya, disampaikan bahwa literasi digital hadir untuk menyiapkan masyarakat agar dapat menjadi talenta digital yang mumpuni, unggul, dan berdaya saing. Juga, menjadikan pandemi Covid-19 sebagai katalis untuk bangkit dan membuat Indonesia lebih maju melalui kerja sama aktif seluruh komponen bangsa.
Hadir secara virtual untuk memandu diskusi hari ini adalah Shafinaz Nachiar (news anchor) serta empat narasumber: Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wicaksono alias Ndoro Kakung (konsultan komunikasi), Lintang Ratri Rahmiaji (Japelidi), dan Endah Laras (seniman) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dengan berpatokan pada empat pilar literasi digital: digital ethics, digital culture, digital skill, dan digital safety.
Sebagai narasumber pertama, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyinggung perkara hoaks yang masih menjadi isu utama di berbagai media digital. Tingginya angka penyebaran hoaks, baik berupa misinformasi, disinformasi, dan mal-informasi dipengaruhi karena sifat media digital yang memberikan kebebasan dan keterbukaan dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi.
Ganjar menyebutkan, 92,40 persen media sosial berisi hoaks dengan berbagai macam jenisnya. Angka paling tinggi adalah hoaks mengenai sosial politik yang mencapai angka 91,80 persen dan tentang SARA 88,60 persen. Karena itu, Ganjar mengingatkan pentingnya literasi digital dan mesti paham cara melawannya.
“Perbanyak literasi. Kalau mendapati informasi hoaks, teliti dulu isi dan sumbernya, lalu evaluasi. Dan jika menerima hoaks, pastikan cukup berhenti pada kita. Jangan disebar. Kita bisa mengisinya dengan memproduksi konten-konten positif. Intinya, manfaatkan media sosial untuk hal-hal baik,” ujar gubernur yang aktif bermedsos ini.
Dari pihak Pemprov Jawa Tengah, Ganjar menyebutkan, sudah ada giat siber yang menangani kabar-kabar hoaks. Misalnya, gerakan siber hoaks melalui web corona.jatengprov.go.id yang mengutamakan kasus-kasus hoaks terkait pandemi. Pemprov juga bekerjasama dengan masyarakat, mengajak untuk mau melapor jika menemukan informasi hoaks melalui web LaporGub, Mafindo, Aduan Konten Kominfo, Misslambehoaks dan Patroli Siber.
“Kita mesti cerdas bermedia sosial agar tidak termakan hoaks. Gunakan media sosial sebagai sarana untuk komunikasi dan edukasi. Cerdas dalam menyebarkan informasi dengan pilah pilih informasi, memastikan keakuratan data dan sumbernya serta menyikapi informasi secara positif. Menyebarkan informasi positif yang estetis dan efisien, juga bermanfaat bagi semua pihak. Gunakan media sosial untuk menjadi ajang promosi usaha, budaya, dan hal positif lainnya,” imbuh Ganjar.
Menyambung diskusi, Lintang Ratri Rahmiaji mengatakan, budaya digital Indonesia itu lekat dengan budaya kolektivis dan budaya lisan. Dua budaya tersebut bisa menjadi hal yang baik jika digunakan secara positif, namun jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan keburukan.
Sayangnya, karakter netizen Indonesia masih banyak ditemui suka berkomentar negatif bahkan ketika postingan di media sosial merupakan hal yang positif. Karakter “terlalu mencampuri” hak digital orang lain inilah yang menurut Lintang Ratri pantas diprihatinkan.
“Sebenarnya kita boleh berkomentar dan memberikan kritik, tapi sampaikanlah substansinya, bukan menunjuk pada individu atau kelompok. Perlu ditekankan agar di ruang digital untuk etis dan berbudaya digital dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Menjaga prinsip komunikasi baik sebagai warga digital atau saat di dunia nyata. Mengkritik boleh, tapi pastikan berbasis data dan bukti serta fokus pada substansi dengan menyertakan solusinya. Jangan terjebak arus mainstream dan berkomentar yang bukan wilayah kita,” terang pengajar Ilmu Komunikasi Fisip Undip Semarang itu.
Sementara itu, Wicaksono atau akrab disapa Ndoro Kakung menambahkan, agar aman beraktivitas di ruang digital, setiap warga digital perlu berpedoman pada lima prinsip. Yakni, memastikan informasi yang akan diunggah atau diteruskan itu pasti kebenarannya, memiliki manfaat, tidak mencederai hak digital orang lain, termasuk tidak melanggar hak kekayaan intelektual. Kemudian, apakah informasi itu penting untuk disampaikan ke publik dan tidak menimbulkan kemudharatan. Serta, sebaiknya mengunggah hal-hal baik, hormati martabat dan nama baik orang lain.
“Selain itu, media sosial lebih baik digunakan untuk melakukan hal produktif, menggunakan medsos sesuai minat dan kebutuhan. Kelola manajemen waktu. Dan ingat, kegiatan yang kita share itu mencerminkan diri kita. Posting yang penting bukan yang penting posting,” tutup veteran jurnalis, alumni Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM itu.