Oleh Andre Vincent Wenas
Prinsipnya, kalau tidak ada yang ditutup-tutupi kenapa mesti takut ketika ditanya secara resmi (interpelasi) oleh parlemen?
Tatkala Ahok “digerecoki” oleh DPRD DKI Jakarta (periode 2014-2019) lantaran usulan proyek-proyek mereka ditolak oleh Pemprov, maka mereka pun mengancam Ahok dengan akan menginterpelasi (meminta keterangan dari eksekutif).
Kejadiannya di tahun 2015, kekisruhan antara legislatif dengan pihak eksekutif terkait juga program e-budgeting yang diinisiasi Ahok.
Lalu apa jawaban Ahok waktu itu?
“Ayo dong anggota DPRD interpelasi, kenapa jadi takut interpelasi ya? Supaya kalau ada interpelasi kan hak Anda bertanya (terlaksana), kami eksekutif pun akan punya hak untuk menjawab. Sehingga, semua akan melihat yang sebenarnya, enggak usah ngomong ngalor ngidul gitu lho. Itu interpelasi sudah saya tunggu-tunggu lho.”
Ini menunjukkan bahwa dalam bekerja, administrasi pemerintahan di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini sangatlah transparan. Tak ada yang mesti ditutup-tutupi. Maka ia pun tak takut untuk buka-bukaan soal anggaran.
Versus gaya Anies saat inisiatif interpelasi ini diajukan oleh 2 fraksi (PDIP dan PSI) dengan total 33 anggota parlemen yang sudah menandatanganinya. Apa yang dilakukan Anies?
Anies malah mengundang 7 fraksi lainnya untuk bersantap di kediaman resminya di Jalan Taman Suropati Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis 26 Agustus 2021 malam. Tujuannya untuk menggalang koalisi agar ketujuh fraksi itu menolak interpelasi.
Ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan di benak kita.
Pertanyaan pertama, kenapa mesti menolak interpelasi? Apakah Anies tidak bisa (tidak mampu) untuk memberi keterangan resmi yang sebenar-benarnya dan seterang-terangnya kepada parlemen soal Formula-E? Ada apa?
Dan pertanyaan lanjutannya adalah, kenapa ketujuh fraksi itu kok mau datang ke kediaman resmi Gubernur? Bukankah dengan demikian para wakil rakyat itu malahan telah merendahkan harkat martabat lembaga legislatif?
Bukankah legislatif dan eksekutif itu punya kedudukan politik yang setara? Bukankah legislatif itu justru punya fungsi pengawasan (kontrol) terhadap kerja administrasi pemerintahan (eksekutif)? Tapi kenapa sekarang malah bertandang malam-malam ke kediaman resmi kepala daerah untuk diberi makan?
Sekarang kita jadi teringat kembali soal program e-budgeting Ahok yang waktu itu juga jadi biang keributan dengan DPRD-nya.
Bukankah e-budgeting ini program yang bagus dalam rangka transparansi, keterbukaan. Dan juga bisa mempermudah kerja administrasi pemerintahan dalam mengelola anggaran (APBD) dengan terukur dan bersih.
Tapi sewaktu Anies Baswedan menduduki Balai Kota, ia malah menolak program ini dan katanya mau mengganti dengan apa yang dinamakannya smart-budgeting. Lalu sekarang sampai dimana itu program smart-budgeting?
Apakah sedemikian smart-nya program anggaran Anies ini sehingga para wakil-rakyat dan masyarakat luas sampai tidak tahu apa-apa alias gelap gulita dengan pengelolaan anggaran daerahnya?
Ribut-ribut di tahun 2015 antara parlemen dengan pemprov yang sampai mencuatkan wacana interpelasi terhadap Ahok itu pun akhirnya pupus dengan sendirinya.
Justru DPRD-nya waktu itu yang keok, akhirnya mingkem. Rupanya takut sendiri untuk buka-bukaan dalam sesi interpelasi nantinya. Lho!
Lalu kabarnya setelah batal menginterpelasi, mereka malah mau mengajukan hak-angket, alias pemakzulan (impeachement). Tapi toh itu pun akhirnya pupus juga. Lho lagi!
Kembali ke soal Anies.
Rupanya sekarang ini Anies gemetaran dengan rencana interpelasi soal Formula-E ini. Mengapa ya? Apakah memang Anies ini beda kelas dengan Ahok? Beda kelas dalam soal transparansi dan kejujuran pengelolaan anggaran.
Sehingga kita pun bertanya pula kepada parpol Gerindra, Golkar, NasDem, Demokrat, PKS, PAN, PKB dan PPP, apakah ada hal yang kalian takutkan dengan keterangan yang mesti (bakal) dipaparkan oleh Gubernur saat sesi interpelasi?
Jadi yang gemeteran dengan interpelasi ini sebetulnya siapa? Apakah Anies? Apakah ketujuh fraksi itu? Atau keduanya?
Andre Vincent Wenas, pemerhati ekonomi-politik.