Kamis, Desember 19, 2024

Revolusi jilbab dan kontroversinya

Must read

Oleh Farid Gaban

Kontroversi jilbab adalah salah satu tema liputan saya ketika masih jadi wartawan baru di Majalah Tempo, pada awal 1980-an.

“Revolusi” jilbab bermula dari Masjid Salman ITB, Bandung. Saya sebut “revolusi” karena menyangkut perubahan “lanskap” secara dramatis dalam cara berpakaian di kalangan muslimah selama 4 dasawarsa kemudian.

Dulu, muslimah berjilbab adalah minoritas, dan sebagaian mereka diintimidasi, didiskriminasi, dan dipecat dari sekolah atau tempat kerja. Kini, menjadi mainstream.

Di ITB pada awal 1980-an, baru sedikit mahasiswi yang berjilbab. Saya mengenal secara pribadi dua mahasiswi yang pertama kali berjilbab. Merekalah pionir “revolusi jilbab”. Mereka aktivis masjid Salman: satu seorang bekas penerjun payung dan satu lagi penyiar radio yang pandai main piano.

Itu pada awalnya bikin kegemparan dan memandang aneh. Tapi, keduanya kukuh dengan keyakinan, bahwa berjilbab itu wajib bagi muslimah, namun berpikiran terbuka dan toleran. Mereka tidak mengejek mahasiwi lain yang tidak berjilbab. Mereka tetap bisa berjalan bersama mahasiswa yang mengenakan jin ketat.

Satu per satu mahasiswi lain mengikuti jejak nereka. Bahkan merembet ke siswi-siswi SMA berkat aktivitas mereka di Masjid Salman. Perubahan awal ini memicu reaksi negatif dan saya sempat meliput siswi-siswi yang dipecat dari sekolah karena berjilbab.

Itulah yang menimbulkan simpati dan justru membuat makin banyak mahasiswi dan siswi berjilbab sebagai simbol perlawanan. Gelombang jilbab makin besar setelah seorang bekas putri remaja Majalah Gadis berjilbab.

Revolusi jilbab makin luas dan makin luas dari tahun ke tahun, dan kita tahu kondisi sekarang.

Ini mengubah cara berpikir banyak muslimah di luar kampus. Saya mau mengambil contoh personal istri saya.

Selama kuliah orangtuanya melarang dia memakai jilbab karena takut kesulitan mendapat kerja setelah lulus. Itu tipikal pandangan umum banyak orangtua waktu itu. Jilbab adalah sumber diskriminasi.

Istriku memakai jilbab setelah melahirkan anak kedua kami. Saya tidak pernah memintanya berjilbab. Menyarankan pun tidak. Dia memakai atas kemauannya dan keyakinannya sendiri.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article