#SeninCoaching:
#Lead for Good: True Leaders Build Trust and Empower Others
Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach.
“Menulis buat saya seperti upaya menunda kematian,” kata Prof. Salim Haji Said beberapa tahun lalu di kantornya. Ia political scientist lulusan Ohio State University yang menghasilkan sederet buku penting untuk peradaban di Indonesia.
Pena sudah terangkat dan tinta sudah mengering. Ajal ditetapkan Allah. Sabtu petang 18 Mei, wartawan senior yang di kalangan dekatnya dipanggil Bung Salim ini wafat, setelah beberapa pekan kurang sehat dan berhenti menulis. Bung Salim meninggalkan sejumlah legacy – dan sesungguhnya juga “homework” – bagi kita yang menyadari betapa penting kepemimpinan nasional sepatutnya dilaksanakan secara beradab.
Kenangan selalu memiliki perspektif khas, tergantung pada individu yang mengekspresikannya. Arena mengenang dan do’a untuk Prof. Salim Said di Auditorium Universitas Paramadina Kampus Cipayung, Jakarta, Selasa 21 Mei, memicu percikan permenungan. Sesuai sentuhan batin hadirin dengan Bung Salim Rahimahullah.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kala, misalnya, mengingatkan pentingnya orang-orang kritis terhadap pemerintah, dengan penyampaian yang terus terang dan tetap beradab, seperti Bung Salim, agar kepemimpinan nasional terlaksana secara baik.
Gamblang kita lihat, kepemimpinan nasional belakangan ini memang tidak baik-baik saja. Dapat dikatakan muram, barangkali juga mesum. Banyak urusan ekonomi, sosial, dan pelaksanaan demokrasi jauh dari adab, indikasinya semua itu akibat orang-orang yang sedang berada di posisi pimpinan pada limbung. Tidak punya kemampuan melihat dengan mata hati, kalau tidak boleh dikatakan kehilangan rasa kemanusiaan.
Prof. Dr. Meutia Hatta, antropolog, Menteri Pemberdayaan Perempuan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, kurang lebih mengatakan, sekarang ini memang sulit menemukan kepemimpinan berkualitas tinggi. Di podium sama yang dipakai JK di Paramadina itu, Meutia mengungkapkan keprihatinannya melihat orang-orang yang dapat peluang menduduki posisi pimpinan ibarat sosok-sosok tanpa jiwa.
Kalangan terdidik di masyarakat umumnya dapat melihat betapa orang-orang yang officially dapat kesempatan berada di pusat kekuasaan dan posisi pimpinan lainnya seperti telah menggadaikan jiwa mereka pada kepentingan sesaat, utamanya syahwat politik dan kerakusan.
Mana mungkin mereka yang telah memanfaatkan waktu tugas, anggaran dan fasilitas negara untuk kekuasaan keluarga dan kroni diharapkan bisa jadi inspiring leaders?
Leadership masih sering disalahartikan dan dikaitkan dengan jabatan, otoritas, kursi pimpinan di ruangan khusus, dan fasilitas lainnya. Ini terjadi di banyak tempat di dunia, di antara pelaku bisnis, nonprofit, apalagi di lingkungan pemerintahan yang feodalistis.
Banyak orang mengejar kursi pimpinan, mengerahkan segala upaya termasuk melanggar etika dan hukum, melakukan blackmailing pada orang-orang yang tidak mau mendukung, serta berselingkuh dengan nuraninya. Hasilnya? Posisi mereka raih, tapi mereka pada gagal jadi pemimpin. Mereka sekadar pimpinan, dengan jiwa kosong.