Catatan dari Buku “Di Bawah Bendera Revolusi”: Sebuah Pelajaran untuk Ilmu Kebijakan Luar Negeri
Oleh Velix Wanggai
“Hajo kita bangun Irian Barat bersama-sama, hajo kita bertjantjut-taliwanda bersama-sama membuat Irian Barat itu satu zamrud jang indah dalam Sabuk Indonesia jang melingkari Chatulistiwa ini!” (Presiden Soekarno, 17 Agustus 1963)
Hari ini, 1 Mei, adalah hari yang bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, hari kembalinya Irian Barat ke Indonesia. Tanggal 1 Mei, merupakan hasil dari sebuah perjuangan panjang sejak tahun 1945. Perjuangan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para pendiri bangsa, para pemimpin Indonesia di tahun 1950-an dan 1960-an yang telah menjalankan pelbagai strategi, baik di dalam negeri dan di luar negeri dalam agenda Irian Barat.
Sejak awal Indonesia merdeka, Indonesia berada dalam pertarungan politik luar negeri yang menuntut diplomasi Indonesia atas agenda Irian Barat di tengah-tengah pertarungan perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Presiden Soekarno memiliki peran penting di dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri, terutama dalam merebut Irian Barat. Latar belakang perjalanan hidup sosok Soekarno tak bisa dilepaskan dari masa muda Soekarno yang membentuk ide-ide dan pola pikir kebangsaan, kenegaraan, dan nasionalisme, serta penafsiran Soekarno atas sejarah panjang Nusantara dan gerakan nasionalis di belahan negara lain. Hal itu akan tercermin dari percikan pemikirannya yang tersebar di berbagai tulisan dan pidato Soekarno.
Filosofi Pemikiran Nasionalisme Soekarno
Soekarno secara intens menuangkan gagasan-gagasan nasionalisme dalam berbagai media. Ia menulis artikel “Mentjapai Indonesia Merdeka” pada Maret 1933. Bung Karno menulis, “Pergerakan kita haruslah: suatu masjarakat jang adil dan sempurna, jang tidak ada tindasan dan hisapan, jang tidak ada kapitalisme dan imperialisme… sjarat jang pertama ialah: kita harus merdeka. Kita harus merdeka agar supaja kita bisa leluasa bertjantjut-tali-wanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme. Kita harus merdeka, agar supaja kita bisa leluasa mendirikan suatu masjarakat baru jang tiada kapitalisme dan imperialisme.” (Soekarno, 1963; 285). Kata Bung Karno, Indonesia merdeka suatu jembatan.
Pandangan konsep Soekarno di awal Kemerdekaan sebenarnya menunjukkan sikap politik luar negeri yang moderat dan mengedepankan kerjasama dengan negara-negara lain.
Dalam pidato Kenegaraan Republik Indonesia pada 16 Agustus 1946 di Yogyakarta, Soekarno menegaskan: “Di dalam politik pemerintah terhadap luar negeri, kita mendjalankan haluan jang tetap. Tetap mengemudikan kapal Negara Republik Indonesia di antara negara-negara jang lain, sehingga mendapat pengakuan serta kedudukan jang sama sama deradjat. Pembitjaraan jang kita lakukan dengan fihak Belanda adalah satu bahagian sadja jang dari usaha jang kita lakukan untuk mendapat kedudukan jang kita maksudkan itu…terhadap negeri-negeri lain, terutama negeri-negeri tetangga kita, kita menjelenggarakan persahabatan, dan segala soal jang timbul, dapat kita selesaikan dengan baik dalam suasana persahabatan. Pemerintah kita lebih lama lebih banjak diperlukan oleh negeri-negeri itu sebagai pemerintah bangsa Indonesia jang ada di dalam lingkungan Republik.” (Soekarno, 1965; 13-14).
Soekarno melanjutkan pidatonya: “Dunia akan menjaksikan, bahwa kita bukan bangsa jang serakah. Dunia akan menjaksikan, bahwa kita suka “memberi”. Tiap-tiap bangsa mempunjai “tjorak” sendiri, mempunyai “warna djiwa” sendiri, mempunyai “central theme” sendiri, mempunyai “raison d”etre” sendiri. Ada bangsa jang “tjoraknya” ialah senang kepada kemegahan politik. Ada bangsa jang “tjoraknya” ialah kebudayaan. Tetapi bukalah kitab sedjarah kita, dan lihatlah betapa “tjorak” bangsa kita: Kita ta’ pernah – sekali lagi: ta’ pernah, di dalam sedjarah kita jang ribuan tahun itu – mendjajah bangsa lain, tetapi sebaliknja, kita selalu membagikan kekajaan-kekajaan kita kepada bangsa lain.”
“Tidakkah negeri ini dahulu sebagian dinamakan orang “Jawa-dwipa” oleh karena kita selalu memberikan gandum kepada kita kepada bangsa lain – sebagian lagi dinamakan “Suvarna-dwipa” oleh karena kita selalu memberikan emas kita kepada bangsa lain? Alhamdulillah, inipun sebenarnja telah diketahui oleh banjak orang. Umumnja di dunia adalah banjak sahabat-sahabat kita, banjak orang jang membenarkan perdjoangan kita, tidak sadja oleh karena dipandangnja adil, akan tetapi djuga oleh karena jakin, bahwa jang kita kehendaki itu sebenarnja adalah memang paling baik djuga untuk pergaulan bangsa-bangsa di dunia, dengan bukti-bukti jang njata tentang kesanggupan-kesanggupan kita sebagai bangsa, sebagai pemerintah, sebagai Negara.” (Soekarno, 1965; 15).
Pemikiran Soekarno atas Irian Barat
Agenda Irian Barat menjadi agenda prioritas dalam kepemimpinan Presiden Sukarno sejak tahun 1945 hingga tahun 1960-an. Setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB), Soekarno berpidato di hari Kemerdekaan Indonesia:
“Sekarang soal Irian! Ini bukan soal ketjil, ini adalah soal jang amat besar. Saja chawatir, bahwa fihak Belanda tidak mengerti atau belum mengerti, bahwa soal Irian buat kita adalah soal jang amat besar. Soal Irian bukan soal ethnologi; ia pun bukan soal kita ini sudah masak atau tidak. Alasan masak atau tidak itu memang selalu dikemukakan oleh kaum imperialis, dan selalu alasan itu tidak kena.”
“Soal Irian adalah soal pendjajahan atau tidak pendjajahan, soal pendjajahan atau kemerdekaan. Sebagian dari tanah air kita masih didjajah oleh Belanda, ini adalah kenjataan, dan ini kita tidak mau. Kita menghendaki seluruh tanah air kita merdeka, seluruh tanah tumpah darah kita “dari Sabang hingga Merauke”. Alasan ketjerdasan-atau-tidak-ketjerdasan sama sekali tidak mempan. Saja harap fihak Belanda suka ingat, bahwa alasan ketjerdasan-atau-tidak-ketjerdasan itupun telah mereka pakai terhadap kita, berpuluh-puluh tahun, beribu-ribu kali, zonder resultaat. Achirtja kita toh merdeka –tjerdas-atau-tidak, ialah karena djiwa-nasional kita telah berkobar-kobar, kemauan nasional kita telah bangkit, amal nasional kita telah menggema. Sekali lagi saja harap fihak Belanda suka ingat akan hal ini!” (Soekarno, 1965; 114).
Soekarno menegaskan, “Manakala saja pada saat sekarang ini berdiri dan berpidato disaksikan oleh semua mereka itu, berhaklah saja berkata bahwa saja berbitjara diatas namatja Bangsa. Bukan Sukarno sini jang berbitjara, tetapi Bangsa Indonesia-lah jang berbitjara. Karena itu saja harap, supaya perkataan-perkataan saja mengenai tuntutan pengembalian Irian Barat itu diperhatikan benar-benar, baik oleh Nederland, maupun oleh Negara-negara lain jang bergoodwill kepada kita.” (Soekarno, 1965; 116-117).
Hubungan Indonesia dan Belanda mengalami hubungan yang kurang harmonis pasca penyerahan kekuasaan tahun 1949. KMB tidak menghasilkan sebuah hasil yang memuaskan tentang Irian Barat.
Di tahun 1952, Presiden Soekarno kembali menyinggung isu Irian Barat dalam Pidato Kemerdekaan RI. Ia dengan tegas menyatakan: “Soal Irian Barat hingga sekarang masih tetap merupakan satu tantangan. Tantangan bagi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Masihkah djiwa proklamasi 17 Agustus itu satu hal keramat bagimu?Mendjunjdung tinggi keramatnja jidwa proklamasi itu, kita harus terus-menerus berdjoang dengan tjara jang lajak dan sesuai dengan harkatnja suatu Negara jang merdeka dan berdaulat, hingga kekuasaan de facto Belanda jang ta’sah dan masih menongkrong di daerah de jure Indonesia itu, diganti dengan pemerintahan nasional Indonesia.”
“Saja peringatkan kepada pernjataan kita, bahwa sedjak tutupnja tahun 1950 kekuasaan Belanda ialah tidak dengan persetudjuan kita. Daerah Irian Barat adalah ‘daerah pendudukan’ Belanda. Kewadjiban kita semualah untuk memperdjoangkan berachirnya pendudukan itu. Tiap-tiap Pemerintah Nasional Indonesia, bagaimanapun tjoraknja, bagaimanapun programnja, tidak akan dapat melepaskan diri dari tugas nasional ini, tidak akan dapat melepaskan claim nasional ini. Claim ini, adalah claimnja seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke. Dunia ini tidak perlu sangsi lagi akan kebulatan-tekad bangsa Indonesia dalam hal ini.” (Soekarno, 1965; 159 – 160).
Setelah 11 tahun Indonesia merdeka, Presiden Soekarno senantiasa mengorbarkan semangat perjuangan Irian Barat ke seluruh pelosok Indonesia. Ia menganggap pasca KMB 1949 pihak Belanda telah melakukan pendudukan atas Irian Barat.
Tepat di hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1956, Soekarno berpidato:
“Sebelum pendjajahan di Irian Barat itu lenjap, kita belum merasa aman. Dan rakjat di Irian Barat sendiri pun menunggu-nunggu penggabungan kepada Republik. Karena itu, maka semua minta kita harus kita tundjukan kepada pembebasan Irian Barat itu. Dengan gembira saja umumkan, bahwa pada hari sjakti sekarang ini kita telah membentuk Propinsi Irian Barat. Sebagian daripada wilajah Propinsi Irian Barat itu telah berada dalam kekuasaan de facto kita, sebagian lagi belum. Di bagian jang belum dalam kekuasaan de facto kita itu masih bertjokolah kekuasaan Belanda,-masih bertjokollah kolonialisme dan imperialime Belanda.”
“Pembentukan Propinsi Irian Barat ini adalah hatja merupakan salah satu djalan sadja dalam angka perdjoangan melaksanaan kekuasaan de facto Republik Indonesia atas bagian jang diduduki oleh Belanda itu. Salah satu jalan sadja! Sebab kita tidak menjandarkan perdjoangan kita pada pembentukan Propinsi Irian Barat sadja, kita berdjoang di segala lapangan jang kita pandang baik. Kita menjandarkan perdjoangan kita pada kekuatan rakyat Indonesia, dan di samping itu pada kekuatan-kekuatan anti-kolonialisme di dunia internasional…Ingatkah saudara kepada utjapan saja di Surabaja tahun jang lalu?: “Perdjoangan Irian Barat, the Battle of Irian” tidak ditentukan di Den Haag, tidak di Washington, tidak pula di PBB, tetapi disini, di dalam pagar tanah air kita sendiri!” (Soekarno, 1965; 260 – 261).
Perubahan Strategi: Dari Diplomasi Moderat menuju Konfrontasi
Perubahan strategi perjuangan soal Irian Barat dari semula bergaya moderat melalui perundingan dan diplomasi internasional melalui PBB menjadi gaya yang konfrontasi, baik secara ekonomi maupun militer. Pada 17 Agustus 1958, Presiden Soekarno berpidato mengancam Belanda dengan dua pilihan, yakni terus berkeras kepala, atau memahami tuntutan sejarah.
Ia berpidato: “Fase politik dari pada Revolusi kita memang belum seluruhnja selesai. Benar “kekuasan politik” sudah dipegang oleh bangsa kita, benar “politieke macht” itu tidak ditangan bangsa Belanda lagi, tetapi penggunaan dari kekuasaan politik itu belum sesuai dengan tjita-tjita Rakyat dan penderitaan Rakyat. Disamping itu, kekuasaan politik masih belum pula melebar ke Irian Barat. Belanda masih tetap menongkrong disana memegang kekuasaan politik. Tudjuh tahun lamanja kita mentjoba memindahkan kekuasaan politik di Irian Barat itu ke tangan kita, dengan djalan mengadjak Belanda untuk berunding, sekali lagi berunding, dan sekali lagi berunding, tetapi sia-sia belaka. Tujuh tahun lamanja kita mentjoba merobah sikap Belanda dengan djalan “sweet reasoning and persuasion”, tetapi hasilnja sama sadja dengan mentjoba merobah luwak mendjadi ajam atau serigala mendjadi kambing. Maka terpaksalah kita mengambil “djalan lain” jang tegas, “djalan lain” jang terkenal dengan Aksi Irian Barat, “djalan lain” jang penuh dengan gegap-gempitanja semangat perdjoangan.”
“Perdjoangan pembebasan Irian Barat telah sangat menaikkan martabat kita sebagai bangsa jang tjinta kemerdekaan. Aksi-aksi kita, jang memuntjak pada pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda, dan pemulangan orang-orang Belanda jang ta’diperlukan, aksi-aksi kita itu seolah-olah petir dan halilintar telah menjedarkan sebagian dunia jang selama ini belum mau sedar, bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa katak atau bangsa “Hamlet jang ta’berkeputusan”. Dalam aksi jang mau-ta-mau menggugah keta’djuban siapapun djuga itu, tentara dan rakyat kita memainkan rol jang amat besar…Bagi Belanda tinggal kini dua pilihan: terus berkeras-kepala, atau memahami tuntutan sedjarah. Terus berkeras-kepala, akan berarti “djalan lain” akan kita daki terus dan Belanda akan kehilangan Irian Barat dengan tiada terhormat dan menderita kerugian-kerugian seterusnja jang ta’ternilai; memahami sedjarah, akan berarti mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia dengan terhormat, dan normalisasi hubungan antara Nederland dan Indonesia sebagai lazim dalam dunia internasional.” (Soekarno, 1965; 326 – 327).
Pilihan strategi yang dijalankan Presiden Soekarno juga berimbas di level PBB. Ia menganggap Indonesia tidak perlu bermain diplomasi soal Irian Barat dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1958. Soekarno menyatakan sikap itu pada saat pidato Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1958.
Ia menyatakan: “Chusus mengenai perdjoangan Irian Barat, saja mentjatakan di sini bahwa Pemerintah tidak akan memasukkan soal Irian Barat itu ke PBB tahun ini. Tetapi itu tidak berarti, Pemerintah kendor dalam perdjoangannya mengenai Irian Barat. Tidak! Samasekali tidak! Sebaliktja! Pemerintah memperhebat perdjoangan Irian Barat itu di lapangan lain daripada PBB. Pemerintah memperhebat perdjoanganntja itu di lapangan ekonomi. Pemerintah mengakui bahwa perdjoangan Irian Barat harus dilakukan di segala lapangan, ja di dalam negeri ja, di luar negeri, tetapi buat tahun ini Pemerintah mengkonsentrir perdjoangannya melawan Belanda itu di lapangan ekonomi.”
“Ingatlah kepada pemindahkan pasar ke Bremen, ingatlah kepada keputusan kita untuk tidak mengakui ada hak eigendom Belanda lagi di atas sesuatu bidang tanah Indonesia, ingatlah kepada utjapan saja tadi, bahwa djika Belanda tetap membandel dalam persoalan Irian Barat, maka akan habis-tammatlah sama sekali riwajat semua modal Belanda di Indonesia. Tjoba lihat nanti, fihak Belanda dan kontjo-kontjonja imperialis tentu akan geger-marah oleh keputusan-keputusan kita ini, dan kegegeran mereka itupun harus dan akan kita lajani di dunia internasional.” (Soekarno, 1965; 380).
Dalam perjuangan merebut Irian Barat, Indonesia, khususnya Presiden Soekarno menjalankan strategi dengan memanfaatkan situasi geo-politik dunia yang terjadi, khususnya pertentangan antara blok-Timur dan blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat, perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Hal ini sejalan dengan pasang surutnya perundingan antara Indonesia – Belanda yang belum mencapai kesepakatan atas status Irian Barat. Indonesia terus meyakinkan pemerintahan Amerika Serikat untuk berpihak terhadap posisi Indonesia atas isu Irian Barat ini. Dinamika hubungan yang semakin memburuk antara Indonesia – Belanda ini, mendasari Presiden Soekarno mengancam Belanda dengan aksi perebutan Irian Barat dengan cara “djalan lain”. (Soekarno, 1965).
Dari Yogyakarta, tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno berpidato di hadapan ribuan massa mengumumkan “TRIKORA” (Tri Komando Rakyat). Seruan Soekarno, yakni: (1) mengerahkan kekuatan guna membubarkan Dewan Daerah yang telah dibentuk oleh Belanda untuk rakyat Papua; (2) pengibaran Sang Saka Merah Putih di Irian Barat; (3) persiapan mobilisasi nasional untuk merebut kedaulatan atas wikayah tersebut dari tangan Belanda.
Akibat situasi yang meruncing ini, Presiden Kennedy mengirim adiknya, Jaksa Agung Robert Kennedy ke Jakarta untuk bertemu Presiden Soekarno. Presiden Kennedy berpesan Indonesia jangan melakukan aksi milter untuk merebut Irian Barat karena menimbulkan gejolak di dunia internasional, dan khususnya di Asia Pasifik. Selanjutnya, Amerika Serikat berperan penting dalam memfasilitasi perundingan soal Irian Barat melalui jalur PBB.
Tekanan Amerika Serikat membuat Belanda berpikir ulang soal Irian Barat. Pada 26 September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda, Mr. Luns mengumumkan di Sidang Umum PBB bahwa Belanda mengajukan transfer kontrol Irian Barat ke PBB (Poulgrain, 2015; 227). Ia mengusulkan PBB melakukan supervisi untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri sesuai prinsip PBB.
Ini yang dikenal sebagai “Luns Plan”. Setelah Presiden Soekaro mengumandangkan TRIKORA pada 19 Desember 1961, ditindaklanjuti dengan pembentukan Operasi Irian Barat pada 2 Januari 1962, atau yang dikenal Mandala yang dipimpin oleh Mayor Jendeal Soeharto (Poulgrain, 2015; 228). Amerika Serikat intens untuk memediasi Indonesia – Belanda dalam mencapai solusi atas Irian Barat. Akhirnya, pada 15 Agustus 1962 dicapai perjanjian antara Indonesia – Belanda yang dikenal sebagai Perjanjian New York. Perjanjian New York ini memberikan waktu selama 6 minggu untuk menyiapkan pengalihan administrasi Irian Barat ke PBB.
Pidato Tahun Kemenangan, A Year of Triumph
Dalam Pidato Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1962, Presiden Soekarno menamakan tahun 1962 sebagai TAHUN KEMENANGAN – A Year of Triumph.
Dalam soal Irian Barat, Presiden Soekarno menegaskan kembali mengapa Indonesia harus merebut Irian Barat. Bagi Soekarno, ini bukan persoalan fanatisme belaka, prestise belaka, atau memperluas daerah Republik Indonesia, karena Soekarno memandang Indonesa telah memiliki 100.000.000 jiwa, Indonesia telah luas secara geografi, dan Indonesia juga memiliki kekayaan alam, baik yang telah dieksploitasi maupun yang belum dieksplorasi. (Soekarno, 1965; 497 – 498).
Ia menjelaskan dengan tegas: “Nah apakah gerangan sebagainja kita begitu mati-matian membebaskan Irian Barat? Ta’lain ta’bukan, oleh karena kitra adalah satu bangsa jang mempunjai dasar-djiwa, satu Bangsa jang mempunjai prinsipe, satu Bangsa yang mempunjai karakter. Pembebasan Irian Barat, sebagian dari pada tanah-air kita, adalah bagi kita satu soal prinsipe, satu Kewadjiban-Sutji daripada Djiwa Indonesia, – luas atau tidakkah Irian Barat itu, kaja ataukah tidak Irian Barat itu, berpenduduk banjak ataukah sedikitkah Irian Barat itu. Perdjoangan membebaskan Irian Barat merupakan satu dasar fundamental dari Nationbuilding kita, bahkan djuga satu dasar fundamental dari pada characterbuilding Indonesia.” (Soekarno, 1965; 498)
Dalam pidatonya, Soekarno menyambut baik Rencana Bunker yang berisi empat hal penting. Pertama, pemerintahan atas Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia. Kedua, sesudah sekian tahun dibawah Pemerintahan Republik, maka rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menentukan sendiri secara bebas nasibnya selanjutnya – tetap terus di dalam Republik Indonesia atau memisahkan diri dari Republik Indonesia. Ketiga, pelaksanaan penyerahan Pemerintahan di Irian Barat akan selesai dalam dua tahun. Keempat, untuk menghindari bahwa kekuatan-kekuatan Indonesia langsung berhadap-hadapan dengan kekuatan-kekuatan Belanda, diadakan waktu peralihan di bawah kekuasaan PBB. Waktu peralihan PBB ini akan berlaku satu tahun lamanya, diperlukan untuk memulangkan seluruh Angkatan Perang Belanda dan seluruh pegawai Belanda di Irian Barat ke Nederland (Soekarno, 1965; 502).
Setahun kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1963, setelah Irian Barat diserahkan ke Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, Presiden Soekarno terlihat kaget melihat perkembangan yang terjadi di Irian Barat.
Ia menyatakan: “Irian Barat! Astadga, saudara-saudara, astadga, keadaan di sana! Apa jang kita warisi dari Belanda di Irian Barat itu, sama sekali tidak bisa di pakai sebagai modal untuk membangun Irian Barat …Akan tetapi apa boleh buat! Bagi kita, semua itu malah menjadji satu challenge, satu tantangan! Seperti sudah saja serukan tempo hari, dengan pemasukan Irian Barat dalam wilajah kekuasaan Republik, maka Trikora belum selesai! Teruskan Trikora itu! Djangan berhenti Trikora itu! Saja tegaskan disini, bahwa pembangunan pun termasuk dalam Trikora itu, langsung dibawah saja, sedangkan pimpinan sehari-hari saja serahkan kepada Wampa Urusan Irian Barat Saudara Dr. Subandrio.” (1965; 546).
Selanjutnya, Soekarno menegaskan: “Tjamkan! Pembangunan Irian Barat bukan masuk dalam persoalan lokal Irian Barat sadja, bukan sekedar persoalan orang Irian Barat sadja, melainkan adalah persoalan seluruh Bangsa Indonesia, melainkan adalah satu tantangan, satu challenge terhadap kepada Revolusi kita seluruhnja! Pembangunan Irian Barat adalah djuga persoalanmu, persoalanku, persoalanmu, persoalanku, persoalan kita semuanja, persoalan seluruh Revolusi Indonesia, – persoalan seluruh bangsa Indonesia! Hajo kita bangun Irian Barat bersama-sama, hajo kita bertjantjut-taliwanda bersama-sama membuat Irian Barat itu satu zamrud jang indah dalam Sabuk Indonesia jang melingkari Chatulistiwa ini! Indonesia, die zich daar slinger tom den evenaar al seen gordel van smaragd!” (1965; 547).
Hikmah
Perjalanan panjang agenda Irian Barat dalam lintasan sejarah bangsa memberikan sebuah hikmah atas pelajaran kebijakan luar negeri Indonesia dan politik Indonesia. Peran Presiden Soekarno sangat penting dalam perjalanan agenda Irian Barat.
Pertama, agenda Irian Barat menjadi agenda prioritas dari pemerintah ke pemerintah apapun warnanya. Para policy makers meletakkan agenda Irian Barat sebagai agenda kolektif bangsa dengan strategi yang dapat berbeda sesuai konteks yang berkembang, baik di dalam negeri dan luar negeri. Kedua, agenda Irian Barat menjadi agenda strategis dalam diplomasi dan kebijakan luar negeri Indonesia. Dinamika agenda kebijakan Irian Barat mencerminkan pelajaran bagi diplomat muda Indonesia untuk menyimak dan memahami detik demi detik, dinamika demi dinamika, konteks yang berubah dinamis, dan pilihan kebijakan (policy choice) yang ditempuh di fora dalam negeri dan di fora internasional.
Selanjutnya, Ketiga, pelajaran penting dinamika agenda Irian Barat dalam ilmu kebijakan luar negeri (foreign policy science) bahwa betapa penting peran personal pemimpin dalam proses perumusan kebijakan luar negeri. Margaret G.Hermann, dalam tulisannya, “Effect of Personal Characteristics of Political Leaders of Foreign Policy” (1978), mengurai karakteristik idiosinkretik dari pemimpin politik mempengaruhi perilaku kebijakan luar negeri pemerintahan. Dan, Keempat, seiiring dengan kebijakan luar negeri, diikuti dengan kebijakan dalam negeri yang holistik, baik politik, konsolidasi sosial, kebudayaan dan pembangunan. Kebijakan luar negeri dan dalam negeri saling melengkapi satu sama lain.
Dititik ini, kini, Tanah Papua rindu sentuhan yang tepat, humanis, holistik dan kontekstual Papua.
Matraman, 1 Mei 2020