Jumat, November 29, 2024

Salah posting, sulit kembali normal seperti sebelumnya

Must read

Masuk ruang digital tidak hanya butuh bekal keterampilan tetapi juga kehati-hatian. Walaupun terlihat sepele, salah posting, bisa berakibat fatal. Sekali informasi yang salah tersebar dan telanjur dikonsumsi orang lain, maka sulit mengembalikannya ke kondisi yang benar-benar normal seperti sebelumnya.

”Jika salah, kita tidak akan dapat mengembalikan. Daya rusaknya kadung terjadi. Semua yang kita posting harus dianggap tidak akan dapat dihapus,” ungkap Afan Gunawan, Praktisi Komunikasi/Senior Consultant Opa Communication, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (27/10/2021).

Itu sebabnya, kata dia, semua orang perlu mempertimbangkan kemungkinan munculnya dampak postingan di media sosial. “Yang perlu kita ingat, perhatikan kemungkinan dampak yang akan muncul baik bagi penerima atau masyarakat secara umum. Penerima atau pembaca apa yang kita posting tidak semua kita kenal, baik secara pribadi, kultur dan nilai yang dianut,” ucapnya.

Afan sepakat dunia maya tidak sama sekali terpisah dengan dunia nyata. Dunia maya dapat membawa dampak terhadap kehidupan di dunia nyata. “Apa yang kita posting akan dilihat atau dibaca oleh orang lain. Jejak digital memang kejam,” tandasnya.

Diakui, perubahan teknologi komunikasi seiring berjalannya zaman turut mengubah medium pengantar informasi dan interaksi antarsesama.

Sebagai gambaran, dari total 270,2 juta penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2020 diketahui pengguna media sosial sejumlah 170 juta atau 61,8 persen dari total populasi. Pengguna media sosial yang mengakses melalui ponsel sejumlah 168,5 juta atau 99,1 persen. Rata-rata penggunaan media sosial 3 jam 14 menit.

Sesuai tema webinar ”Menata Bersama Ruang Digital dan Sosial Media”, Afan menyatakan sepakat perlu ada penataan supaya sesuai dengan kondisi Indonesia yang multikultur.

“Kita hidup bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia adalah rumah bagi keragaman budaya, suku, agama dan ras. Kita memiliki modal besar yang menjadi keunggulan untuk terciptanya kondisi dinamis dan harmonis,” ucapnya.

Seperti diketahui, Indonesia memiliki 131 suku, enam agama, 245 kepercayaan, 716 bahasa dan 20 parpol. Semua warga negara memiliki kesempatan untuk berkontribusi membangun ruang digital berlandaskan Pancasila.

”Kita jangan menyebarkan berita atau info tanpa mengecek kebenarannya. Jangan terpengaruh dan hati-hati dengan judul provokatif. Periksa fakta dan asal sumber berita dan informasi,” kata dia.

Narasumber lainnya, Ali Formen selaku Dosen Pendidikan Anak Universitas Negeri Semarang (Unnes) menyatakan pentingnya tetap etis dan manusiawi di ruang digital.

”Teknologi digital memungkinkan kita terjalin dengan siapa saja tanpa batas. Sangat mungkin kita terjalin dengan para pihak yang berbeda pandangan, budaya, keyakinan. Sebagian besar komunikasi berlangsung anonim maka kepekaan dalam hal ini menjadi penting,” ungkapnya.

Tak hanya etika digital, Ali menegaskan, keadaban juga sangat diperlukan. “Masyarakat kita adalah netizen aktif, sayang keadabannya masih rendah. Indeks Keadaban Digital Indonesia menempati peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Ada trend membaik pasca-Covid. Ini perlu terus kita bangun,” ajaknya.

Ali juga berpesan agar berhati-hati mengunggah dan berbagi konten digital. Selain itu, juga harus mampu mengendalikan emosi, menerapkan kesantunan serta menghargai privasi orang lain.

Dipandu moderator Nabila Nadjib, webinar juga dihadiri narasumber Edy Budiyarso (Managing Director Indoplus Communication), Isharsono (Founder Istar Digital Marketing Center), Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speech dan Dimas Sakti Nugraha (Entrepreneur) sebagai Key Opinion Leader.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article