Jumat, Mei 10, 2024

Apa itu fenomena VUCA dalam media sosial?

Must read

Era industri 4.0 atau disebut era cyber phisical systems diwarnai otomatisasi dan mesin menggantikan peran manusia. Pada era itu peran media sosial sangat dominan membentuk pola relasi dan komunikasi kehidupan manusia.

”Ada fenomena VUCA dalam media sosial, baik sebagai tantangan maupun jawaban. VUCA sebagai tantangan meliputi: Volatility, Uncertainly, Complexity, Ambiguity. Adapun VUCA sebagai jawaban di antaranya: Vision, Understanding, Clarity, dan Agility,” ujar dosen Vokasi Institut STIAMI Jakarta Haswan Boris Muda Harahap, saat berbicara pada webinar literasi digital yang dihelat Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (9/7/2021).

Dalam webinar yang mengusung tema ”Bermedia Sosial yang Bijak dan Bersahabat” dan dimoderatori Bobby Aulia, tampil narasumber lain yakni Yoshe Angela (Social Media Communication PT Cipta Manusia Indonesia), Rosid Efendi (Pengajar SMK Darul Quran), Rusman Nurjaman (peneliti LAN Jakarta), dan Ajun Perwira selaku key opinion leader.

Haswan mengatakan, sebagai tantangan karena media sosial itu bersifat tidak pasti, kompleks, dan mendua. Sedangkan media sosial hadir sebagai jawaban disebabkan oleh adanya visi, pemahaman, kejelasan, dan lincah. Sebagai media baru, lanjut Haswan, media sosial memiliki karakteristik hadir menggunakan platform digital (non-analog), maya (virtual), manipulatif, disimulasikan, bersifat interaktif, dan berjaringan.

Media sosial, lanjut Haswan, juga memicu apa yang disebut dengan ”disinhibition online effect” atau kondisi kognitif diabaikannya aturan-aturan sosial dan hambatan yang hadir dalam interaksi face-to-face selama interaksi dengan orang lain dalam internet.

”Teknologi informasi yang pesat mengubah perilaku komunikasi, sehingga muncul perilaku khusus ketika ‘on-line’ yang berbeda dengan kondisi ‘off-line’. Ketidakmampuan untuk mengontrol perilaku ‘on-line’ ini pada akhirnya memfasilitasi Anonimity, Invisiblity, Delay Response, Equality,” papar Haswan.

Di akhir paparannya, Haswan menawarkan konsep budaya digital yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, agar bersama-sama terlibat dalam menyiapkan SDM sebagai agen transformasi digital. ”Literasi digital atau digitalisasi adalah alat bukan tujuan,” tegasnya.

Pembicara lain, Yoshe Angela perwakilan dari Kaizen Room menyatakan, ada tiga nilai utama dunia digital, yakni: kreativitas, kolaborasi, dan kritis. ”Kreativitas untuk menjelajahi berbagai sudut pandang dan potensi media digital. Kolaborasi di media digital untuk mengasah kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi. Kritis dalam bermedia dan memanfaatkan media digital untuk kegiatan positif,” tutur Yoshe.

Yoshe juga tak lupa memberikan tips membedakan sumber informasi yang sah dan meragukan. Caranya dengan bertanya kepada diri sendiri empat pertanyaan dasar: Di mana konten dipublikasikan? Siapa yang menulis? Apa sudut pandangnya? Kapan tanggal publikasinya? ”Sedangkan tips bermedia sosial yang bijak dan bersahabat, yaitu dengan THINK yang merupakan singkatan dari True, Helpful, Illegal, Necessary, Kind,” tandas Yoshe. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article