Rabu, April 24, 2024

Bacaan anak-anak Indonesia, si Kuncung sampai Laskar Pelangi (2)

Must read

Oleh: Surasono I. Soebari

Surasono I Soebari

Si Kuncung terbit perdana 1 April 1956. Soedjati SA (almarhum) mendedikasikannya sebagai, ”Bacaan mingguan yang segar. Bersifat membina mental putra putri SD, mendorong bersikap makarya, memperluas cakrawala, pengetahuan, minat. Tetapi pasti digemari oleh ayah, ibu, kakek/nenek dan guru.” Beliau benar. Ayah saya membeli Si Kuncung dan membacanya di kantor, sebelum memberikan kepada saya di rumah.

Peran Si Kuncung dalam menebarkan virus n-ACH, sepertinya membuat banyak pihak kesengsem. Sebagai Presiden RI, Pak Harto mengucapkan “selamat” ketika majalah ini merayakan hari jadinya ke-14, April 1970. Pak Harto menulis, ”Si Kuncung dapat kiranya mengarahkan anak-anak menjadi warga negara yang baik, yang berjiwa Pancasila, yang mencintai tanah air dan bangsanya, yang bebas jiwanya dan terbuka pikirannya, percaya kepada diri sendiri dan mencintai sesama, mencintai pekerjaan dan menghargai prestasi.” Ketua MPRS AH Nasution, Kapolri Hoegeng, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan lain-lain ikut mengucapkan “selamat” ulang tahun kepada Si Kuncung.

Melihat peran penting yang dapat dimainkan oleh majalah anak-anak  –  dan pertimbangan dari sisi bisnis, tentu saja – tahun 1970-1980 beberapa majalah anak-anak bermunculan. Ada “Kawanku” yang diasuh Toha Mochtar, Trim Sutedja dan Julius Siyaranamual. Yang sering menulis di sini antara lain CM Mas, Leila Chudori (waktu itu masih SMP). Cerpenis Si Kuncung kadang juga menulis di Kawanku. Kemudian majalah Bobo (Kompas Gramedia Group), Tom Tom, Cemerlang, Ananda, Kucica dan lain-lain. Bobo masih bertahan. Kawanku diambil alih Kompas Gramedia Group dan berubah menjadi majalah remaja/ABG.

Usai menerima honorarium, kami biasanya saling melempar senyum, berjalan dengan kepala tegak dan penuh rasa percaya diri. Kadang kami makan siang bersama, seringnya di warteg, dan kalau ada yang bersemangat untuk mentraktir perlu hati-hati. Ya, kami kadang datang terlambat ke acara “kemisan” dan berpesan agar honorarium dititipkan kepada seseorang. Honor titipan itulah yang kadang dimanfaatkan untuk makan siang rame-rame.

Si Kuncung, sayangnya, sekarang sudah tidak terbit lagi.

Majalah Bobo

Akhir “kutukan 3.000″

Seperti karya sastra dan buku-buku lain yang terbit di Indonesia, buku cerita anak-anak tak luput dari “kutukan 3.000”; buku dicetak 3.000 eksemplar dan setelah sekian lama baru habis terjual. Sekitar pertengahan tahun 1970-an, buku cerita anak-anak mendadak naik daun. Puluhan mungkin ratusan judul buku cerita anak-anak yang sudah beredar di pasaran, dibeli pemerintah (Depdikbud) lewat Proyek Inpres. Pemerintah berniat meningkatkan minat baca di kalangan anak-anak, dan memberi mereka bacaan bermutu yang dapat menyebarkan virus n-ACH. Buku dicetak bukan 3.000 eksemplar, tetapi 160.000 atau sebanyak jumlah SD Negeri dan SD Inpres di seluruh Indonesia.

Setelah semua buku di pasaran yang dinilai cocok dibeli, Depdikbud mencari naskah baru, menyeleksi dan menentukan buku-buku dari para penerbit yang dinilai layak sebagai bacaan anak-anak, membuat penerbit dan pengarang bergairah. Harganya di bawah harga pasar memang, tetapi oplah yang besar membuat banyak penulis cerita anak-anak seperti mendapat durian runtuh. Secara umum, kondisi sosial ekonomi penulis cerita anak-anak yang bukunya dibeli pemerintah lewat Proyek Inpres membaik. Terlihat dari rumah yang direnovasi atau pindah ke rumah yang lebih bagus, membeli tanah, sawah, mobil atau membuka usaha untuk memperkuat ekonomi keluarga.

Banyak yang kemudian ikut mengadu untung, dengan menulis atau menerbitkan buku anak-anak. Ada gula ada semut. Bila penerbitan buku-buku itu tetap mengacu dan mengutamakan kepentingan anak-anak di atas kepentingan yang lain, ini yang kita harapkan. Apalagi bila buku yang dikirim ke sekolah-sekolah dapat dibaca dan dinikmati anak-anak dengan leluasa.

Majalah Kawanku

Beruntung bila kepala sekolah atau guru ada yang memahami pentingnya membaca untuk anak. Tapi, banyak yang takut buku-buku itu hilang atau rusak, sehingga anak-anak hanya memiliki sedikit kesempatan untuk membaca atau meminjam buku. Buku-buku menjadi rusak, bukan karena sering dibaca melainkan karena tersimpan rapat di lemari, lembab dan dimakan ngengat.

Televisi dan internet yang kini sudah menjadi keseharian di masyarakat, membuat minat membaca buku kian tergerus. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun 2006 – 2009, masyarakat yang menyukai sebagai penonton angkanya naik hampir 5%, sementara yang menyukai membaca menurun sekitar 5%. Tahun 2009, sebagian besar anggota masyarakat termasuk anak-anak lebih menyukai aktivitas menonton, dan hanya 18,94% yang menyenangi aktivitas membaca.

Televisi dan internet yang kini sudah menjadi keseharian di masyarakat, membuat minat membaca buku kian tergerus.

Laskar Pelangi

Minat baca menurun mungkin benar. Juga benar bahwa kondisi tertentu bisa diubah. Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terjual di atas satu juta eksemplar, dan menjadi buku cerita anak-anak Indonesia pertama yang terbanyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing (Inggris, Belanda, Korea, Jepang, Amerika dan lain-lain). Filmnya juga memecahkan rekor tersendiri dari banyaknya jumlah penonton.

Novel Laskar Pelangi

Laskar Pelangi berkisah tentang 10 sahabat, murid sekolah Muhammadiyah, sekolah paling miskin di Gantong, Belitong. Andrea pintar bertutur dan memilih kata, piawai mengeksplorasi sesuatu dan mengembangkan ide tertentu sampai ke ujungnya yang paling jauh. Sukses Laskar Pelangi tampaknya karena memuat virus n-ACH dosis tinggi, yang mampu membangkitkan motivasi dan memperkaya batin, bukan saja anak-anak tetapi juga remaja dan orang dewasa.

Di Amerika Serikat, Laskar Pelangi masuk kategori “novel umum”, sementara buku klasik seperti Tom Sawyer atau Oliver Twist disebut sebagai “bacaan semua umur”. Apa pun sebutannya, bacaan anak-anak yang baik adalah yang dapat dinikmati anak usia 7 – 70 tahun. Andrea membuktikan bahwa karya yang bagus tidak harus bermula dari ide besar, melainkan: bagaimana menuliskannya. Buku Laskar Pelangi meneguhkan bahwa “kutukan 3.000” sudah berakhir.

Laskar Pelangi membangkitkan kembali dunia penulisan ceritera anak-anak, dan sampai batas tertentu bisa menyatakan diri: seperti inilah seharusnya ceritera anak-anak ditulis. Negeri Lima Menara (Ahmad Fuadi) juga bisa dicatat, meski tampaknya lebih pas menyebutnya sebagai bacaan ABG (anak baru gede) dan remaja. Terobosan grup Mizan yang menerbitkan Kecil-kecil Punya Karya (KKPK) patut diacungi jempol. Ternyata, banyak anak-anak yang berbakat menulis dan dengan sendirinya mereka juga adalah pembaca aktif, yang disadari atau tidak akan terpapar virus n-ACH.

Indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa dan tak ternilai. Setiap suku bangsa, dari Sabang sampai Merauke memiliki dongeng, cerita rakyat, pantun, lagu/nyanyian, pepatah dan peribahasanya sendiri. Banyak di antaranya yang mengandung virus n-Ach. Paparan virus ini dapat bertahan lama dalam diri seseorang. Masalahnya, selalu ada kondisi dan situasi dengan muatan virus lain yang dapat membuat seseorang lupa akan jati dirinya.

Kondisi sekarang jauh dari, atau tidak seperti, yang kita harapkan. Salah satunya karena kurangnya bacaan dengan kandungan virus n-Ach, dan kalau pun ada mungkin kita terlalu sibuk untuk membacanya.

*) Surasono I Soebari adalah penulis cerita anak-anak. Aktif menggagas gerakan mengingatkan orang dewasa untuk memasukkan unsur kepentingan anak dalam konsiderans, sebelum mengambil keputusan.

**) Naskah ini pernah dimuat di Majalah Sastra “Horison”.

 

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article