Minggu, Mei 19, 2024

Bebas berekspresi bukan berarti bebas tanpa batas

Must read

Perkembangan transformasi teknologi yang pesat mendukung kebebasan berekspresi tidak terbatas di dunia nyata saja, tetapi juga merambah ke platform di mana semua masyarakat bisa melakukannya. Kebebasan berekspresi di ranah digital menjadi tema dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Jumat (23/7/2021).

Diskusi virtual ini merupakan bagian dari program nasional literasi digital yang telah dimulai sejak Mei 2021 sebagai upaya percepatan transformasi digital mencapai masyarakat yang cakap digital. Literasi digital sendiri mencakup digital culture, digital skill, digital safety, dan digital ethics.

Pada webinar kali ini, entertainer Dannys Citra tampil sebagai pemandu acara dengan menghadirkan empat narasumber utama. Mereka adalah Abdul Rohim (redaktur Langgar.co), Nuralita Armelia (Kaizen Room), Ahmad Muhlisin (redaktur Betanews.id), dan Arif Hidayat (dosen Universitas Negeri Semarang). Juga hadir musisi Mona Larisa sebagai key opinion leader dalam diskusi siang ini.

Dalam paparannya, Arif Hidayat mengatakan, kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan tindakan mencari, menerima, menyampaikan, dan mengembangkan informasi untuk pengembangan pribadi. Namun, dalam prosesnya, kebebasan berekspresi dapat mengancam ketertiban umum karena adanya informasi palsu dan informasi salah yang mengganggu unsur dalam berekspresi.

“Bagaimanapun, kebebasan berekspresi itu ada batasannya. Tidak boleh melanggar hak orang lain dan tidak boleh membahayakan kepentingan publik dan masyarakat. Artinya, dalam berpendapat dan berekspresi itu bisa diciptakan dengan bebas tetapi aman,” jelas Arif kepada ratusan peserta diskusi.

Dalam konteks bermedia digital, pengguna harus mampu menempatkan diri dengan menempatkan etika dan norma di dalamnya. Hal itu untuk mencapai etos, etis, dan ethes dalam berekspresi dan berpendapat. Yaitu dengan memahami, beradaptasi, mengerti dan berhati-hati.

“Beretika dalam mengutarakan pendapat itu harus mengenali diri, tahu kelebihan dan kekurangan diri sehingga menjadi tahu diri dan mawas diri serta mempunyai harga diri dan membentuk jati diri. Lima hal tersebut sekaligus menjadi tolok ukur ketika akan berekspresi di dunia maya,” imbuhnya.

Selain etis dalam berpendapat di media sosial, Nuralita Armelia menambahkan, berekspresi di dunia digital juga harus memperhatikan keamanan digitalnya. Ia berpendapat, mudahnya cara dalam menyampaikan ekspresi kini sudah lewat batas.

Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penyebaran hoaks yang dapat berujung pada hal-hal yang merugikan. Berdasarkan data pada tahun 2020, penyebaran berita bohong cukup banyak. Hal ini tentu memerlukan kehati-hatian pengguna ketika ia ingin menyuarakan pendapatnya dari informasi yang diterima. Salah-salah, karena tidak jeli informasi itu palsu, kita justru terlibat dalam penyebarannya.

“Apalagi, karakter digital society itu tidak menyukai aturan yang mengikat, suka mengekspresikan diri, tidak ragu download atau upload di medsos, serta suka berinteraksi. Karakteristik tersebut yang seharusnya membuat pengguna menumbuhkan kehati-hatian dalam berekspresi agar tidak mengancam keamanan digital saat berekspresi di dunia maya,” jelas Nuralita.

Hal itu bisa diminimalisir dengan meningkatkan keamanan dalam berinternet. Yakni dengan berpikir kritis, mengidentifikasi, mengobservasi dan mengevaluasi aksi yang akan kita tempuh. Cerdas menyeleksi konten dan bersama-sama mengkampanyekan literasi digital,” pungkasnya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article