Selasa, Mei 7, 2024

Media konvensional menjawab tantangan era digital

Must read

Oleh Ninuk Mardiana Pambudy

Ketika membicarakan mengenai bagaimana media cetak menghadapi perubahan yang diakibatkan teknologi digital, pertanyaan yang kerap diajukan kepada pelaku adalah bagaimana bertahan di era disrupsi digital, transformasi apa yang harus dilakukan untuk bertahan dan bahkan memanfaatkan teknologi ini agar menjadi lebih besar lagi. 

Serangkaian pertanyaan berikut menjelaskan persoalan yang dihadapi media konvensional atau media arus utama menghadapi revolusi industri 4.0.

Bagaimana media konvensional (cetak) bertahan di tengah revolusi digital saat ini? Medium berubah, apakah konten berubah? Apakah cara mengonsumsi informasi dan berita ikut berubah bersama dengan perubahan medium?

Apakah sudah memadai hanya dengan memindahkan konten dari cetak ke platform digital? Apakah cukup dengan upaya tetap menjaga jurnalisme yang baik dan menghasilkan konten yang baik? Bagaimana konten tersebut dapat menjangkau pembaca dan menghasilkan pendapatan yang menjadi jantung bagi media untuk mengembangkan jurnalisme berkualitas? 

Bagaimana peran media konvensional yang disandang hingga saat sebelum hadirnya media digital, yaitu sebagai penjaga pintu tunggal informasi dan pemberitaan—meminjam istilah Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Blur (2010) – di tengah begitu banyaknya sumber informasi? Bagaimana menyikapi warga yang menjadi wartawan dan bahkan editor dengan membuat blog pribadi atau menjadi melaporkan peristiwa di media dalam jaringan (online)yang disediakan oleh media sendiri? 

Salah satu contoh yang sering digunakan untuk menjelaskan keberhasilan transformasi menuju era baru adalah New York Times (NYT). Berawal dari media cetak, NYT bertransformasi ke digital sejak 2011.

Koran ini dengan sadar memilih mengembangkan media digital berbayar untuk mendapatkan pendapatan yang tetap dari pelanggan. Saat ini NYT memiliki 2,7 juta pelanggan digital dan lebih satu juta pelanggan koran. Di Amerika Serikat, media konvensional yang didistribusikan secara digital juga ada Washington Post (Wapo), dengan 1,7 juta pelanggan.

Pixabay

Namun, tidak semua media cetak berhasil bertransformasi dengan mulus seperti kedua media tersebut. Salah satu yang menjadi contoh adalah L.A. Times, koran metropolitan terbit di California. Pada tahun 2002 ketika semua media masih terbit secara cetak, NYT memiliki tiras 1.113.000 dan Wapo sebesar 746.724 eksemplar. Tiras L.A. Times berada di antara keduanya, sebesar 965.633 eksemplar. Ketika terjadi disrupsi digital dan L.A.Times berupaya melakukan transformasi ke arah digital, hasilnya belum menggembirakan meskipun banyak langkah dilakukan, termasuk investasi modal yang dibenamkan oleh pemilik barunya. Jumlah pelanggan L.A. Times dalam beberapa waktu terakhir tidak beranjak dari 170.000 kopi.

Gambaran di atas tidak asing. Ada media cetak yang sukses bertransformasi, tetapi ada yang hasilnya belum menggembirakan seperti dialami L.A. Times. Pertanyaan, apa yang membuat NYT berhasil. Kita dapat mengandaikan bahwa keduanya memiliki konten yang sama berkualitas, meskipun yang satu koran umum sementara L.A.Times lebih merupakan media berita metropolitan.

Direktur Nieman Journalism Lab Joshua Benton menyebut, perbedaan jumlah pelanggan antara NYT dan L.A. Times terletak bukan pada kualitas konten, tetapi pada cara membuat pelanggan bertahan di NYT. 

Ada upaya khusus untuk meyakinkan audiens yang sudah mendaftar di NYT tetap bertahan menjadi pelanggan. Caranya, antara lain, dengan menyapa pelanggan yang baru mendaftar sebagai pelanggan melalui surat-elektronik, menjelaskan mengapa mereka perlu berlangganan serta menjelaskan mengapa yang mereka bayarkan sertara dengan konten dan layanan yang mereka dapat.

Gambaran di atas memperlihatkan kompleksnya proses transformasi media konvensional (cetak) dalam menjawab tantangan datangnya era digital. Konten yang berkualitas dan mempertahankan nilai-nilai dasar jurnalisme adalah suatu hal yang harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan, mendapatkan  pelanggan baru persoalan tersendiri, dan membuat mereka terus berlangganan menjadi tantangan yang lain lagi. 

Benton membagikan pengalamannya, tantangannya bukan hanya membuat jurnalisme yang hebat, tetapi juga memastikan karya jurnalisme hebat itu juga diketahui oleh mereka yang menikmati nilai-nilai yang didapatkan dari laporan jurnalistik tersebut.

Media juga harus mampu mengenali apa yang paling disukai individu pembaca dari jurnalisme ditawarkan dan memastikan laporan dengan kualitas terjaga selalu seperti dijanjikan selalu hadir menyapa audiens. Untuk ini data pelanggan menjadi penting, seperti usia, jender, pekerjaan, pendapatan, tempat tinggal, hingga hobi.

“… Kecenderungan yang perlu dicermati adalah ada sedikit kenaikan jumlah pembaca berita dalam jaringan (daring) yang bersedia membayar dengan berlangganan, keanggotaan, atau donasi.”

Hal tersebut bukan hal baru. Yang membedakan adalah disrupsi digital membuat berita dan informasi tersedia dalam jumlah sangat banyak dan gratis, menghasilkan noise. Bagaimana menjadikan media konvensional sebagai voice yang patut didengar di dalam platform baru digital adalah tantangan saat ini. 

Menemukan peluang

Tantangan dalam transformasi digital secara umum dapat dibagi dua: tantangan dari luar dan dari dalam ruang Redaksi.

Tantangan dari luar secara umum adalah menurunnya pendapatan perusahaan media di tengah melimpah ruahnya informasi yang didapat secara gratis.

Laporan Reuters Institute Digital News Report 2019 dalam survei di hampir 40 negara menyimpulkan, di hampir semua negara yang disurvei perusahaan media semakin condong untuk mengembangkan konten berbayar dalam bentuk langganan, keanggotaan, atau bentuk lain di mana pembaca menyumbang dana. Indonesia tidak termasuk di dalam negara yang disurvei.

Tantangan lain adalah turunnya kepercayaan warga terhadap media digital. Laporan Edelman Trust Barometer (2019) yang melakukan survei di sejumlah negara, termasuk Indonesia, memperlihatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan media adalah yang paling rendah, meskipun sedikit membaik dari tahun 2018, dibandingkan dengan tingkat kepercayaan terhadap lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha. 

Kecenderungan yang perlu dicermati adalah ada sedikit kenaikan jumlah pembaca berita dalam jaringan (daring) yang bersedia membayar dengan berlangganan, keanggotaan, atau donasi.

Pengalaman di 40 negara yang disurvei oleh Reuters Institute, di negara-negara yang jumlah audiensnya berbayar umumnya pelanggan hanya berlangganan satu saja media daring dan pelanggan ini berkelanjutan.

Salah satu alasan mengapa pertumbuhan pelanggan baru tidak tinggi dan sebagian besar pelanggan hanya berlangganan satu media daring adalah terjadi keadaan yang disebut “kelelahan berlangganan” (subscription fatigue). Situasi ini adalah pelanggan yang merasa frustrasi karena diminta untuk membayar bermacam layanan secara terpisah-pisah. Survei memperlihatkan, mereka yang berlangganan hanya satu media daring tidak ditentukan oleh tingkat pendidikan dan atau penghasilannya, sehingga terjadi situasi “the winner takes all”.

Hal lain yang juga perlu dicermati adalah menurut survei Reuters Institu, sebagian besar orang (62 persen) setuju bahwa media berita membuat mereka selalu terpapar dengan keadaan terkini dan membuat mereka memahami peristiwa yang terjadi (51 persen). Artinya, sebagian besar responden sependapat bahwa media menjalani perannya sebagai penyampai berita.

Mereka yang merasa media menjalani dua peran tersebut juga percaya pada berita yang disajikan media berita daring. Meski demikian, kepercayaan itu tidak serta merta berkaitan dengan kesediaan membayar. 

Situasi ini menunjukkan, untuk mendapatkan pelanggan bukan hanya memerlukan konten yang baik, tetapi juga kemampuan membuat konten tersebut sampai kepada pelanggan, menawarkan paket berlangganan yang menarik, membuat mudah untuk berlangganan dan memperpanjang berlangganan secara otomatis, serta mempertahankan pembaca yang sudah berlangganan untuk terus berlangganan. Hal ini membawa pada menjawab tantangan dari dalam organisasi media sendiri.

Tantangan terbesar dalam era digital bukanlah pada teknologi, tetapi pada mengubah pola pikir, pola kerja, dan sikap seluruh karyawan—bukan hanya wartawan—terhadap datangnya era digital. Proses transformasi dari kebiasaan bekerja secara media cetak menuju digital menuntut perubahan sikap dan pola kerja, keterampilan menggunakan teknologi baru, serta berhadapan secara langsung dengan pembaca/audiens.

Yang paling terasa berbeda adalah tuntutan untuk terjadinya perubahan pola pikir dan pola kerja. Media cetak memiliki hanya satu kali tenggat waktu karena dalam 24 jam rata-rata hanya terbit satu kali, sementara media digital bekerja 24 jam sehari 7 hari seminggu dan tidak mengenal hari libur. Bagi mereka yang terbiasa bekerja dengan media cetak, perubahan ini sangat berarti. Tidak semua bersedia mengubah perilaku ini.

Perubahan yang terasa berbeda juga adalah ke arah mana perubahan akan menuju. Media konvensional cetak seperti Harian Kompas memiliki reputasi sebagai media yang bekerja dengan kedalaman, melihat dari berbagai sisi, memverifikasi semua informasi yang didapat secara hati-hati, memberi makna pada peristiwa. Hal ini dapat dilakukan karena media cetak memiliki kemewahan waktu bekerja yang panjang. 

Ketika platform berubah menjadi digital, bagaimana media cetak konvensional akan bekerja? Merek yang kuat harus dipertahankan dan karena itu sampai saat ini Kompas memilih menyediakan konten berkualitas, berkedalaman, dan karena memilih menjadi media berbayar untuk layanan daringnya. Layanan media daring menjadi kepanjangan dari media cetak dalam proses transformasi yang dibayangkan akan sepenuhnya menjadi digital di masa depan. Karena itu, langganan koran cetak dipaketkan dengan langganan media digital dengan tetap membuka peluang berlangganan hanya media digital kompas.id.

Karena merek Kompas yang begitu kuat, maka media digital dibangun tetap dengan mengikuti gaya media cetaknya, yaitu menjaga kedalaman dan kelengkapan berita serta memberi makna pada peristiwa daripada memburu kecepatan. Pilihan ini juga didasarkan pada budaya Harian Kompas yang sudah mengakar kuat pada wartawan dan tim pendukung pemberitaan yang diwariskan oleh pendiri Kompas, Jakob Oetama dan almarhum PK Ojong. 

Transformasi penuh koran cetak ke arah digital dilakukan sejak pertengahan tahun 2017 dan sampai hari ini Kompas memiliki 500.000an pengguna terdaftar. Sebetulnya sejak tahun 1995 Harian Kompas telah mengembangkan media digital yang kemudian berevolusi menjadi Kompas.com

Di tengah berbagai tantangan perubahan akibat disrupsi digital, terdapat peluang yang terbuka lebar. Masyarakat ternyata tetap membutuhkan media konvensional untuk menapis berbagai informasi yang tersebar bebas, termasuk informasi bohong (hoax) yang belakangan banyak muncul sebagai akibat dari gegar budaya teknologi digital.

Peluang tersebut hanya dapat direbut bila media konvensional dapat menyediakan berita yang relevan dan dibutuhkan pembaca, menjadi media yang dapat menjaga kepercayaan, seperti ditunjukkan hasil Reuters Institute Digital Reporting 2019 dan 2019 Edelman Trust Barometer. 

Bagaimana menemukan berita yang relevan dan dibutuhkan pembaca menjadi tantangan sendiri. Secara umum terdapat kecenderungan umum pada media untuk menyajikan berita yang sesuai dengan profil anggota organisasi media bersangkutan. Hal ini akan menghasilkan bias yang akan berakibat pada terbatasnya layanan informasi. Tentu saja setiap media memiliki segmen pembaca/ audiensnya sendiri, tetapi bila ingin menjangkau pembaca lebih luas maka segmen itu perlu diperluas dengan menerapkan kriteria lebih luas. Segmen pembaca perempuan, misalnya, memiliki kebutuhan tersendiri dan umumnya kurang terwakili di dalam pemberitaan media konvensional arus utama.

Pada akhirnya, konten tetaplah raja. Media konvensional harus mampu menyajikan berita yang “tidak muncul” di media lain. Itu artinya sementara tetap menjaga nilai-nilai dasar jurnalisme, pada saat yang sama juga harus bersedia berubah. 

Press releaseatau berita yang didapat dari jumpa pers tidak relevan untuk media konvensional karena sudah lebih dulu diambil oleh media daring. Karena itu, berita tersebut harus diolah lebih jauh untuk memberi makna dan umumnya wartawan media konvensional memiliki kemampuan itu karena budaya kerja yang terbentuk bertahun-tahun untuk memperkaya berita yang didapat agar layak saji esok harinya.

Wartawan dituntut memiliki lebih lagi ketajaman mengendus apa yang menjadi kebutuhan pembaca dan memenuhinya dengan mencari sendiri di lapangan. Mungkin saja apa yang dicari sedang tidak menjadi pembicaraan umum di dalam keriuhan noise, tetapi kejelian wartawan dapat menemukan apa yang menjadi kebutuhan atau keingintahuan banyak orang tetapi tidak tersuarakan karena memang tidak bersuara di media sosial atau medium digital atau tenggelam di dalam noise.

Fakta lain yang tidak dapat diabaikan adalah bagaimana informasi yang telah didapat dan diolah sampai kepada pembaca dan pembaca kemudian bersedia berlangganan secara berkelanjutan. Kerja sama dengan bagian bisnis boleh jadi akan semakin penting, yaitu untuk mendapatkan dan mengetahui data pembaca, mulai dari usia, jender, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, hingga hobinya. Data ini akan membantu memahami pembaca dan dengan demikian dapat menyajikan informasi yang lebih relevan, termasuk cara menyampaikannya, dengan lebih baik. 

Fakta lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana media dapat menghasilkan sumber-sumber pendapatan baru tanpa mengorban nilai-nilai dasar jurnalisme. Bagaiman dengan native ad? Bagaimana dengan penyelenggaraan event berbayar yang kemudian diliput medianya sendiri? Bagaimana dengan kerja sama pemberitaan/media partner?

Membaca Blur oleh Kovach dan Rosenstiel (2010) tetap relevan hari ini. Keduanya meyakini, media arus utama tetap akan bertahan di tengah kencangnya perubahan akibat revolusi teknologi digital. Keduanya menyarankan untuk mengambil posisi menggabungkan antara jurnalisme lama dan jurnalisme baru. “Fungsi pers sebagai penjaga pintu tidak menghilang sepenuhnya, melainkan cuma mengecil dimensinya tentang apa yang mesti disediakan pers….” (hal. 180).

Media konvensional tetap perlu menjaga standar dan nilai tertentu dari visi tradisional jurnalisme, yaitu independensi, verifikasi, kesetiaan utama pada kepentingan masyarakat/warga daripada kepentingan politik atau korporasi, berkerja obyektif dan transparan dalam menimbang kejadian daripada memaksakan hasil spesifik atau solusi kebijakan. 

Jurnalisme pada era baru saat ini justru harus lebih teguh menjaga nilai-nilai tersebut meskipun cara menyampaikannya berbeda karena medium yang digunakan berbeda.

Disampaikan oleh Ninuk Mardiana Pambudy, Pemimpin Redaksi Harian KOMPAS, dalam Konferensi Regional dan Konferensi Nasional Aliansi Jurnalis Indonesia, Jakarta, 6 Agustus 2019

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article