Jumat, April 26, 2024

Pandemi dan otonomi daerah

Must read

Catatan Planologi

Ada yang sangat menarik. Terkait keputusan pemerintah untuk kembali melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Selama kurun waktu 2 minggu. Terhitung sejak tanggal 11 Januari 2021, besok.

Kali ini diberlakukan serentak di seluruh pulau Jawa dan Bali.

Kebijakan tersebut menyusul peningkatan kasus positif yang terus melonjak. Kini sudah 10 ribuan kasus per hari. Angka kematiannya pun semakin tinggi.

Fenomena lonjakan ini terus berulang untuk kesekian kalinya. Selalu setelah libur panjang. Misalnya musim lebaran Idul Fitri. Ketika tanggalan merah yang satu dengan lainnya berderet. Atau berdekatan dengan akhir pekan. Sementara yang terakhir kemarin, berkaitan dengan musim libur Natal dan pergantian tahun.

Hal menarik itu juga mengenaskan. Karena menghantarkan kita untuk berhadapan dengan keadaan memaksa (darurat). Terkait tingkat ketersediaan tempat tidur rumah sakit di berbagai daerah yang semakin langka. Bahkan ada yang tak bersisa lagi. Gara-gara dibanjiri pasien yang terjangkit virus corona.

+++

Soal rawan terkait kapasitas fasilitas rumah sakit, sesungguhnya sudah berulang kali diingatkan berbagai pihak. Juga ketersediaan tenaga medis. Hal yang tak mungkin diadakan begitu saja. Berbeda dengan bangunan, alat kesehatan, dan obat-obatan yang memang lebih gampang.

Kekhawatiran itu sudah berkembang sejak awal pandemi virus corona resmi masuk ke Indonesia. Tapi waktu itu yang berlangsung justru silang pendapat. Antara mereka yang menyuarakan usul pemberlakuan karantina wilayah. Dengan penentangnya yang cenderung memilih cara pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Karantina wilayah mengedepankan pertimbangan upaya, untuk menpersempit wilayan penularan. Dengan cara menghentikan mobilitas masyarakat. Tentu dalam jangka waktu tertentu saja.

Sementara pilihan kedua, PSBB, tak seketat itu. Masyarakat tetap bisa beraktivitas dan melakukan pergerakannya. Walau dibatasi.

Tapi jika karantina wilayah diterapkan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada (UU No. 6 tahun 2018), pemerintah wajib menyediakan logistik. Agar kebutuhan hidup dasar masyarakat di sana terjamin. Bahkan termasuk makanan hewan peliharaannya.

Kewajiban demikian tak disebutkan untuk pembatasan sosial berskala besar. Walau kegiatan seperti sekolah, keagamaan, dan yang menyebabkan kerumunan lainnya, dapat dihentikan. Atau setidaknya dikurangi secara drastis.

+++

Logika sederhana mencegah penyebaran virus, seperti yang banyak dilakukan berbagai negara lain, memang dengan cara isolasi. Menghentikan segala aktitivitas. Kecuali yang bersifat vital. Lalu meminta warga tinggal di rumah.

Gagasan itu yang sempat dilontarkan DKI Jakarta. Setelah kasus pertama ditemukan di kawasan tetangganya. Depok.

Alih-alih mempertimbangkan. Saat itu yang berkembang justru perang opini dengan penentangnya. Pemerintah pusat yang memang memiliki kewenangan untuk memutuskan, pada akhirnya memilih PSBB. Dengan prosedur otorisasi yang menggunakan syarat statistik. Hal yang wajib diajukan pemerintah daerah terlebih dahulu. Jika permohonan PSBB nya ingin diselenggarakan.

Maka setelah pendebatan yang bertele-tele, DKI akhirnya disetujui sebagai daerah yang pertama kali menjalankan PSBB. Kemudian disusul daerah-daerah yang lain.

Tapi setelah akhirnya diizinkan, pemerintah DKI Jakarta pun ternyata masih perlu menunda beberapa hari lagi. Sebelum efektif memberlakukannya.

+++

Banyak kalangan yang meragukan efektivitas PSBB untuk menghadapi pandemi ini. Terutama menyangkut kemampuan masyarakat luas untuk memahami, mematuhi, hingga mendukung kebijakan itu. Sebab maksud dan tujuannya memang bukan ‘melarang’. Tapi “membatasi’. Hal yang menuntut kesadaran dan keikhlasan semua pihak melakukannya. Demi kebaikan bersama.

Persoalannya, bagaimana mungkin memikirkan kebaikan bersama, ketika kebaikan paling mendasar untuk kebutuhan diri dan keluarga sendiri saja, belum teratasi?

Ya, 4/5 masyarakat kita berpenghasilan pas-pasan. Hanya mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Hal yang terlihat dari distribusi jumlah rekening bank berdasarkan nilai saldo rata-rata. Atau distribusi konsumsi rumah tangga per bulannya.

Catatan: lihat linimasa fb Jilal Mardhani, ‘Pool Test, Gotong-royong Assessment Anti Covid-19’ (7 May 2020); lalu ‘Cashflow’ #1 (13 Jul 2020) hingga ‘Cashflow #4’ (29 Jul 2020)

Maka membatasi pergerakan aktivitas sehari-hari akan bertautan langsung dengan nafkah di rumah tangga masing-masing. Mereka tak memiliki kemewahan tabungan bahkan untuk bertahan hidup sebulan. Seandainya pun menggantungkan kepada fasilitas pinjaman — yang umumnya mencekik leher — kemampuan ‘kolateral’-nya pun tak cukup memadai.

+++

Pandemi ini sejak mula sudah mengisyaratkan pentingnya ‘otonomi daerah’. Dalam konteks kepiawaian sekaligus kemampuan masing-masing mengatasinya. Hal yang mustahil dapat dilaksanakan tanpa kemampuan finansial.

Sementara kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang kita anut (UU No 33 Tahun 2004), belum mencerminkannya sama sekali.

Maka sebetulnya, sebesar apapun keinginan daerah untuk ‘berdiri di atas kakinya sendiri’ dalam menyelesaikan urusan penularan virus corona itu, tak mungkin dapat berjalan tanpa dukungan pembiayaan sepenuhnya dari pusat.

+++

Seandainya sejak mula, pemerintah pusat berkenan mendukung kebijakan karantina wilayah yang diajukan Jakarta, sebetulnya pengendalian pandemi ini sangat mungkin kita lakukan. Sebab, tentunya dapat dipersempit pada bagian wilayah di mana kasus-kasus awal terungkap. Sambil memusatkan upaya pelacakan kontak yang terjadi dengan mereka.

Lalu mengembangkan protokol ketat pada seluruh pintu masuk daerah-daerah lain. Agar mampu menghindar dari kemungkinan penularan di sana.

‘Kecelakaan’ dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan untuk menghadapi pandemi di masa paling awalnya itu, kini harus dibayar amat mahal.

Pertama, karena di tengah kondisi perekonomian yang sesungguhnya hampir tak tertolong. Meski salah satu pertimbangan utama yang secara implisit terbaca dari putusan kebijakan PSBB (bukan karantina wilayah), adalah demi menyelamatkan ekonomi.

Kedua, penularan virus corona tersebut sudah terlanjut menyebar luas. Bahkan ‘merata’ di seluruh Indonesia yang sejatinya ‘tak merata’ dalam ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghadapinya. Mulai dari rumah sakit, alat kesehatan, hingga tenaga medis.

Ketiga, masyarakat yang sesungguhnya tak memiliki ‘kemewahan’ untuk memahami maksud dan tujuan kebijakan PSBB, terlanjur jenuh dan menganggap pandemi ini sebagai hal yang ‘biasa-biasa’ saja. Bukan sesuatu yang ‘luar biasa’ dan dapat mengancam keberlangsungan hidup bangsa kita.

+++

Alih-alih memaklumi kekeliruan — atau setidaknya kekurangan — dalam menyempurnakan semangat otonomi daerah yang menjadi cita-cita utama Gerakan Reformasi 1998 lalu. Pemerintah pusat malah lebih sibuk mengupayakan proses legislasi yang memperkukuh semangat pemusatan kekuasaan terhadap mereka.

Tercermin nyata dari omnibus law Cipta Kerja yang telah disahkan sebagai UU No. 11 tahun 2020.

Hal yang sangat memprihatinkan, kegagalan penerapan PSBB kemarin — dibuktikan dari perluasan penyebaran dan laju pertambahan kasus maupun angka kematian yang dari waktu ke waktu semakin pesat — tak kunjung menyebabkan kita jera.

Malah besok, dari pusat kekuasaan Jakarta, telah ditetapkan PSBB di seluruh Jawa dan Bali. Meski menggunakan istilah berbeda. Yakni Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.

Saya khawatir, kekeliruan ini harus dibayar dengan sangat mahal. Apalagi jika upaya vaksinasi ternyata tak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Kecurigaan yang sesungguhnya sangat mendasar. Mengingat preseden vaksinasi yang sudah ada sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Mardhani, Jilal — 10 Januari 2021

Catatan:

  1. Tulisan ini disajikan dari perspektif ilmu Planologi. Sama sekali tak dimaksudkan ‘tentang’ maupun ‘untuk’ konsumsi politik maupun kepentingan kekusaannya.
  2. Fokus utamanya adalah Otonomi Daerah dan Sentralisasi Kekuasaan Pemerintah Pusat.
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article