Senin, Mei 20, 2024

Yahya Muhaimin, tokoh pemikir militer Indonesia

Must read

Di sisi lain ada ketidaksukaan militer terhadap perilaku politisi sipil yang tidak bertanggung-jawab, tidak efektif dan penuh korupsi. Ini menimbulkan “Peristiwa 17 Oktober 1952” yang dipimpin Jenderal Nasution. Pada akhirnya Nasution dicopot dari jabatannya. Barulah tiga tahun kemudian Nasution bersama Presiden Sukarno menentang sistem parlemen yang penuh keributan yang ditandai jatuh bangunnya kabinet.

Kita mencatat pula kesimpulan penting dari karyanya itu, bahwa “TNI lahir bukan dengan suatu rencana matang dan mantap guna menghadapi ancaman keamanan yang bakal datang. Namun TNI lahir justru karena ancaman itu sudah ada”.
Dan sejak lahirnya TNI sudah terikat urusan non-militer, terutama pada perwira-perwira yang memilki ideologi tertentu.

Walaupun Yahya Muhaimin membatasi karyanya sampai tahun 1966, di mana kekuasaan politik sudah sepenuhnya di tangan militer, namun dia masih menulis masalah militer setelah reformasi 1998.

Dalam kata pengantar dalam bukunya pada cetakan 2002 dia melihat peranan militer yang semakin menurun. Tuntutan agar Dwifungsi ABRI dihapus terjadi berbagai tempat.

Masyarakat menghendaki agar peranan politik militer dihilangkan dan menjadi militer yang profesional. Dan dia berpandangan bahwa “profesionalisme militer akan tercapai bilamana militer tidak (‘secara dominan’) memainkan peranan politik, atau memainkan secara reguler. Militer yang akan melakukan peranan politik hanya pada saat dan keadaan tertentu saja yang sangat crucial …”

Itulah beberapa catatan dari Yahya Muhaimin yang pantas kita menyebutnya sebagai tokoh pemikir militer Indonesia.

Selamat jalan guruku menuju keabadian.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article