#Leadership Growth: Humility is a Leadership Currency
Kolom Mohamad Cholid
“One of the most important things about leadership is that you have to have the kind of humility that will allow you to be coached.” – Jim Yong Kim, 12th President of the World Bank, one of Marshall Goldsmith’s clients.
Bulan purnama menampakkan daya pikatnya di antara gelap perbukitan dan lembah, 300-an km on the way ke Istanbul. Peluit kereta Turkish Railway memekik keras menjelang masuk terowongan menembus gunung. Para penumpang umumnya tertidur lelap. Kecuali beberapa lelaki di gerbong bar/restoran.
Gerbong makan lantainya berkarpet kehijauan, dindingnya coklat mahogany, mencitrakan kemewahan yang hangat. Ada bar yang tertata dengan baik dan seorang bartender (sekaligus barista) berseragam berjaga di balik meja bar.
Empat orang lelaki Turki duduk bercengkerama sembari menikmati minuman beralkohol di salah satu meja restoran kereta itu. Robert McCall, black American, mengenakan kacamata baca, memakai peci putih, baju koko putih dan jas warna gelap, sembari membawa buku bacaan datang mendekati bar untuk minta air panas. Bar sudah tutup, kata petugas – yang lantas diterjemahkan oleh salah satu dari empat pria di meja makan. Tampaknya pria tersebut punya pengaruh.
Atas permintaannya, petugas bar menyediakan satu poci air panas dan satu gelas kosong untuk Robert McCall – mantan agen CIA yang jadi vigilante (penegak hukum pertikelir, di luar birokrasi resmi, didukung komunitas).
“Baru pertama ke Turki?”, tanya pria Turki yang tadi meminta bartender menyediakan air untuk Robert McCall, lantas dia duduk di bar.
“Dulu pernah, dalam kehidupan yang berbeda,” jawab McCall ringkas.
“Sekarang ke Turki dalam rangka apa?” tanya si pria Turki lagi. “Di Turki you bisa mendapatkan apa saja kalau mau.”
“Bagaimana kalau saya mencari seorang lelaki yang menculik anak gadisnya sendiri demi menyakiti hati bekas istrinya di Amerika?” kata McCall.
“Itu sebaiknya tidak dilakukan, karena berbahaya buat kamu,” kata si pria Turki. Ia lantas menyingkir ke pojok ruangan sambil memberi kode kepada tiga temannya yang masih di meja makan, agar menyerang McCall. Sebagai mantan anggota militer dan special agent yang sangat terlatih, McCall dengan beberapa jurus berhasil melumpuhkan serangan tiga lelaki kekar tersebut.
McCall mendatangi lelaki yang tadi ke kursi pojok ruangan dan mengatakan: “Di dunia ini ada dua macam rasa sakit. Pain that hurts. Pain that alters.”
McCall meminta agar dia menyerahkan secara baik-baik anak gadisnya ke mantan istrinya di Amerika. Rupanya lelaki itu bersikeras menuruti kemauannya, egonya – maka ia oleh McCall dianggap layak “disudahi”. Singkat cerita, anak gadis si pria berhasil dibawa McCall kembali ke ibunya, melalui sebuah firma hukum di Boston, Massachusetts, AS.
Dari cerita awal filem The Equalizer 2 (2018) tersebut, kata- kata Robert McCall (Denzel Washington) “pain that hurts” dan “pain that alters” menarik disimak.
Ini mengingatkan nasihat kalangan orang bijak, yang menyebutkan, “Dalam perjalanan hidup manusia ada dua macam rasa sakit atau ketidaknyamanan. Satu, pain atau tidak nyaman karena harus disiplin melakukan hal-hal baik dan benar — yang sering terasa counterintuitive — demi peningkatan kompetensi. Satu lagi, rasa pedih karena penyesalan di kemudian hari.”
Para eksekutif, line manager, atau yang merasa dirinya layak jadi leader, sampai hari ini masih saja ada yang belum disiplin dan kurang serius meningkatkan kompetensi diri, lantas di belakang hari menyesal – expecting the better past.
Mereka khilaf dua hal fundamental. Pertama, dalam perkembangan sekarang, ketika pertumbuhan organisasi memerlukan tenaga-tenaga yang lebih berkompeten dan profesional, mereka yang tidak disiplin meningkatkan kompetensi mudah digantikan orang lain. Kedua, masa lalu tidak bisa diubah.
Para eksekutif yang dilanda inertia, belum mampu mengalahkan excuses-nya, egonya, belum disiplin meningkatkan kompetensi, gejalanya dapat kita lihat antara lain: dia suka menghindari kenyataan, menyalahkan pihak lain (kondisi alam, organisasi, situasi makro dll) sebagai alibi ketika unit yang dipimpinnya atau institusi yang dikelolanya, kurang berprestasi. Padahal alibi sama sekali tidak mengubah fakta.
Saat Board of Director mempertanyakan kondisi usaha, para eksekutif yang belum sungguh-sungguh melakukan peningkatan diri itu cenderung menyampaikan “jawaban berbasis template”, diwarnai oleh info-info atau kejadian yang didramatisir media massa/media sosial – misalnya, angin puyuh (padahal sudah lama terjadinya) atau “pasar memang lagi lesu”, dan semacamnya.
Dalam banyak kasus, kalau kita cukup rendah hati untuk menelisik lebih dalam, persoalan sesungguhnya ada di depan mata atau di dalam unit bisnis masing-masing.
Bisa berupa proses kerja yang masih jauh dari efektif, pemimpin belum rendah hati membangun kolaborasi efektif dengan tim, sementara tim belum saling mendukung, mereka semua belum mengoptimalkan aset yang tersedia, etc. Buktinya, dalam periode yang sama, perusahaan-perusahaan lain (di industri sejenis) bisa hidup sehat, bahkan ada yang berkembang.
Perilaku kepemimpinan yang cenderung mengandalkan “solusi berbasis template” dalam mengatasi atau menjawab tantangan keadaan merupakan gejala yang meluas di banyak negara, dari line manager sampai ke CEO, dan bahkan setingkat kepala pemerintahan.
Apa yang sesungguhnya telah menjebabkan orang-orang cerdas — yang prestasinya dulu berhasil mengantarkan mereka ke posisi sekarang — tersebut, seperti terbelenggu, jadi kurang kreatif? Kurang berani keluar dari zona nyaman?
Berdasarkan pengalaman interaksi dengan puluhan ribu eksekutif di pelbagai organisasi di banyak negara selama lebih dari 25 tahun, Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) menemukan sejumlah indikasi penghambat para eksekutif sulit berkembang.
“… kalangan praktisi bisnis sampai kepala pemerintahan yang berhasil memimpin institusi masing-masing secara excellent, umumnya selalu waspada terhadap jebakan solusi berbasis template”.
Di antaranya, mereka terjebak dalam classic delusions (khayalan-khayalan klasik), seperti: “Saya punya wisdom mengevaluasi perilaku saya sendiri”; “Saya punya keberanian untuk secara regular memonitir perilaku saya”; “Saya tidak perlu bantuan atau struktur untuk menjadi seseorang yang saya inginkan (jadi eksekutif lebih efektif)”. Di sini kelihatan ada perilaku merasa diri sudah jagoan.
Sebaliknya, kalangan praktisi bisnis, pemimpin organisasi, presiden lembaga multilateral, sampai kepala pemerintahan yang berhasil memimpin institusi masing-masing secara excellent, bahkan extraordinary, menghasilkan kinerja hebat, umumnya selalu waspada terhadap jebakan “solusi berbasis template”.
Mereka bisa meraih prestasi tersebut karena disiplin dan bersikap rendah hati terus belajar meningkatkan kompetensi. Bersedia mengolah prespektif-prespektif baru untuk bekerja lebih efektif. Berkolaborasi secara tulus dengan tim.
Rasanya benar kata Jim Yong Kim, Presiden ke-12 the World Bank: “One of the most important things about leadership is that you have to have the kind of humility that will allow you to be coached.” Ia konsisten dan disiplin mengetrapkan pendekatan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching dalam pengembangan kepemimpinannya.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman