#SeninCoaching
#Leadership Growth: Bureaucracy has become an addictive game
Oleh Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Bureaucracy is not a cosmological constant. Nowhere is it written in the stars that our organizations must be clumsy, stifling, and callous.” – Gary Hamel.
Istilah bureaucratie diperkenalkan oleh Jean-Claude Marie Vincent, salah seorang Menteri di Prancis, pada awal Abad 18. Tentu Marie Vincent tidak bermaksud memberikan pujian. Kata yang bisa diterjemahkan sebagai “the rule of desk” tersebut untuk menggambarkan aparatur pemerintahan Prancis yang demikian besar telah menjadi ancaman bagi semangat enterprise.
Satu abad kemudian, 1837, filsof Inggris John Stuart Mill mepertegas dengan menyebutkan, birokrasi sebagai a vast tyrannical network.
Dalam batas tertentu, birokrasi memang telah sempat jadi pilihan terbaik ketika masa sebelumnya interaksi dalam bermasyarakat hiruk-pikuk tanpa penataan yang jelas, tata kelola jawatan pemerintahan dan organisasi usaha sangat tergantung pada titah bos besar yang sering plin-plan, karyawan tidak terurus dengan layak.
Birokrasi, dengan hirarki dan tata kelola yang dilaksanakan dengan presisi, didukung disiplin, kepatuhan, kemudian dianggap menyelamatkan keadaan. Produktivitas meningkat. Kata Max Weber, sosiolog dan political economist Jerman, birokrasi telah menghasilkan tingkat efisiensi tinggi.
Kendati di kemudian hari para pengambil keputusan jadi kehilangan kemanusiaannya, organisasi-organisasi yang dikelola sangat birokratis telah memungkinkan satu milyar manusia di dunia ini memiliki mobil, empat milyar orang punya hand phone, perdagangan antar bangsa dapat ditopang sistem keuangan internasional yang handal, perjalanan antar negara dimudahkan oleh pilihan maskapai dan jalur penerbangan masing-masing – kecuali ketika terjadi pandemi sekarang.
Sebagaimana kemajuan di bidang-bidang lain – seperti sistem persenjataan, antibiotik, pertanian berskala besar, dan media sosial – birokrasi harus ditebus mahal. Birokrasi memang telah melipatgandakan daya beli kita, tapi telah mengkerdilkan jiwa kita, kata Gary Hamel, yang bersama Michele Zanini telah melakukan sejumlah penelitian dan menghasilkan buku Humanocracy (Harvard Business Review Press, 2020).
Jiwa-jiwa yang teruk, tidak dapat berkembang sebagaimana layaknya manusia akibat terbelenggu birokrasi, bukan kekeliruan para atasan mereka. Ini bisa jadi benar.
Menurut perspektif Gary Hamel dan Michele Zanini, semua itu akibat management regime yang memberikan penguatan kepada beberapa orang dengan mengorbankan banyak orang lainnya, memilah manusia untuk melakukan peran kecil, dan menganggap mereka sekadar sebagai sumber daya. Kualitas manusia diukur berdasarkan patokan standar, bukan pada keistimewaannya sebagai manusia.
Hari-hari ini, utamanya ketika kita menghadapi krisis akibat pandemi, semua bidang kegiatan mesti ditata ulang agar lebih tahan uji, ajakan Gary Hamel patut kita camkan – kalau bisa kita kerjakan.
“We must rid ourselves of bureaucratic mindsets and rethink our core assumptions about ‘leadership’ and ‘change management’,“ katanya. Oleh The Wall Street Journal, Gary Hamel dinilai sebagai the world’s most influential business thinker. Ia salah seorang fellow the Strategic Management Society dan the World Economic Forum.
Birokrasi bikinan manusia. Ketika kemudian merugikan, kita dapat dan perlu menggantinya.
Kenyataan yang kita temukan sehari-hari di kebanyakan organisasi bisnis, nonprofit, apalagi di institusi pemerintahan, birokrasi sudah jadi seperti candu. Menimbulkan ketergantungan, mengikat. Kadang di sejumlah organisasi, ada saja manusia yang demikian patuh pada birokrasi sampai mengingkari hati nurani dan perintah Tuhan. Mereka bahkan seperti telah menggadaikan agama atau keyakinan mereka dengan jabatan, sebagai berhala baru. Bagaimana persepsi Anda?
Kondisi semacam itu ternyata terjadi di banyak tempat di dunia. Kenaikan jabatan atau posisi mereka dapatkan lebih karena pintar “bermanuver” di dalam organisasi, bukan karena mencapai self-mastery dan prestasi yang dinilai obyektif.
Survei yang dilakukan Gary Hamel untuk Harvard Business Review terhadap 10 ribu eksekutif mengungkapkan, 76% dari mereka cenderung mengerahkan energi hidup mereka untuk upaya naik jenjang posisi.
Perspektif Gary Hamel dan Michele Zanini, serta sederet fakta hasil survei terkait birokrasi dan perilaku kalangan eksekutif yang mengizinkan diri mereka terjerat kenikmatan semu, mestinya mengusik sanubari kita.
Setelah tahu bahwa birokrasi itu bisa jadi candu, belenggu jiwa, masak kita tega pada diri sendiri tetap berkubang di dalamnya tanpa tahu kapan mesti melakukan perubahan?
Eksistensi kita sebagai umat manusia, ciptaan Tuhan terbaik dibandingkan mahluk-mahluk lain, bukankah selayaknya kita jalani dan hayati dengan lebih accountable?
Sudah ada organisasi-organisasi bisnis yang berhasil meminimalkan birokrasi dan sukses jauh melebihi organisasi lain yang terkungkung birokrasi. Misalnya Buurtzorg, pemasok jasa pelayanan kesehatan ke rumah-rumah, di Belanda.
Moto mereka “Humanity above bureaucracy” dijalankan secara konsisten. Sebelas ribu perawat dan empat ribu domestic helper yang bergabung di Buurtzorg dikelompokkan menjadi 1200 self-managing team.
Masing-masing tim bertindak sebagai unit bisnis, bertanggungjawab untuk suatu wilayah pelayanan, menyewa kantor sendiri, dan mendapatkan klien. Kalau di organisasi lain, unit semacam itu umumnya dipimpin oleh area manager.
Di Buurtzorg setiap karyawan dilatih dalam pengambilan keputusan, mendengarkan secara aktif, resolusi konflik, dan peer to peer coaching. Semua tim terhubung lewat platform sosial Welink, untuk saling berbagi. Setiap tantangan yang mereka hadapi, diselesaikan di tingkat lokal, bukan menunggu perintah solusi dari pusat.
Perusahaan lain yang tegas memangkas birokrasi demi efektivitas kerja organisasi adalah Haier, pembuat perkakas rumah tangga (lemari es, AC, pendingin anggur, dll) yang berkantor pusat di Qingdao, China, dan telah memiliki pabrik di pelbagai negara, antara AS, Indonesia, Filipina. CEO Haier Zhang Ruimin pada 2005 menghilangkan lapisan manajer menengah dan mereorganisasi 80 ribu karyawannya membentuk 2000 unit bisnis yang otonom.
Masing-masing unit memiliki laporan Laba & Rugi sendiri. Gaji dan bonus karyawan ditentukan oleh prestasi mereka. Dengan konsep zero distance, para customers dapat berinteraksi lebih baik dengan unit penghasil produk. Ide-ide untuk membuat produk baru mesti memperoleh pesetujuan dari tim, pemasok, dan bahkan pelanggan. Pemilik gagasan yang disepakati berperan jadi pemimpin unit.
Inovasi Haier menyederhanakan birokrasi dan meningkatkan efektivitas proses bisnis merupakan prestasi yang diakui dunia internasional. Sebelum Gary Hamel menjadikannya salah satu contoh dalam Humanocracy (2020), Salim Ismail sudah menuliskannya di Exponential Organizations (2014), cerita dan analisis organisasi-organisasi yang mampu tumbuh 10 kali lebih baik, lebih cepat, di bidang masing-masing.
Sebelumnya, Boston Consulting Group dan Majalah Fast Company menyebut Haier sebagai perusahaan paling inovatif di dunia.
Di level penyelenggaraan negara, China juga bisa jadi contoh. Dalam satu kunjungan ke Universitas Leiden sekian tahun silam, saya memperoleh materi hasil kajian para sinolog Asian Studies di sana, yang mengungkapkan bahwa keberhasilan reformasi ekonomi di China karena diiringi dengan reformasi birokrasi.
Pada kesempatan berbeda, saat ke Beijing jauh sebelum pandemi, saya ketemu dengan seorang CEO sebuah perusahaan farmasi besar, Mr. Lee. Produk bahan baku obat mereka sudah ekspor ke sejumlah negara, termasuk Jerman. Dalam benak saya Mr.Lee mestinya mewakili BUMN China.
Ternyata keliru. Kata Mr. Lee, “Ini perusahaan milik Partai Komunis China, bukan milik negara.”
Partai Komunis China (PKC) punya sederet bisnis besar, seperti perilaku para kapitalis. Konon agar para kader tidak ngoyo harus jadi pejabat publik dan mencari peluang dari proyek-proyek yang dibiayai APBN, lalu memelintir anggaran di sana-sini untuk kegiatan politik dan masuk kantung pribadi. Zhang Ruimin, CEO Haier, adalah tokoh partai dan anggota Komite Sentral PKC.
Birokrasi PKC dan birokrasi pemerintahan berjalan seiring, pebisnis swasta juga punya keleluasaan berkembang. Ini sebagian dari hasil reformasi birokrasi — dengan catatan di sana-sini.
Sekarang tergantung pada Anda, utamanya para pengelola organisasi, apakah masih mau membiarkan diri sendiri dan tim tetap terbelenggu oleh birokrasi yang merugikan semua pihak — bahkan termasuk nilai diri kita sebagai manusia — atau berani merdeka dari kungkungan tersebut?
Leadership dan change management yang efektif dapat dikembangkan, dilatih. Apalagi jika Anda mengikuti program pengembangan kepemimpinan yang real time on the job, melibatkan para stakeholder. Berdasarkan metode yang proven, diandalkan oleh organisasi-organisasi multinasional untuk meningkatkan kinerja para eksekutif mereka.
Mohamad Cholid adalah
- Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- (linkedin.com/in/mohamad-cholid)
- (sccoaching.com/coach/mcholid)