Senin, November 18, 2024

Mulut bisa beracun, pikiran Sampeyan jadi penjara

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Anger and Resentment Kills You

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Anger is kind of like drinking poison and waiting for another person to die.”- Marshall Goldsmith.

Racun atau warangan bahasa resminya arsenic. Setiap hari kita di seluruh dunia praktis sering mengkonsumsi arsen, organic dan inorganic, yang terkandung dalam makanan, termasuk beras, dan pelbagai jenis seafood (di antaranya kerang, ceriping, rumput laut).

Akumulasi sampai jumlah tertentu konsumsi arsen bisa sangat toxic, membahayakan. Termasuk dapat menimbulkan kerusakan sistem syaraf seseorang. Bahkan kematian.

Tuhan Pencipta Alam Semesta menyediakan pelbagai penyeimbang, sebagian di antaranya bayam, kale, garlic, jahe, dan bawang. Sehingga ada proses detoksifikasi dalam tubuh, membuang racun-racun dari makanan yang kita konsumsi. Bagi orang-orang yang hidup normal, tidak berlebihan mengkonsumsi kesukaan mereka, racun makanan dapat dengan mudah dinetralisir.

Racun yang lebih berbahaya, karena biasanya sangat sulit dilunturkan, adalah yang keluar dari mulut manusia, berupa rentetan kata dan kalimat tak terpuji yang mungkin akibat pola pikir kusut.

Gosip politik, bergunjing tentang artis, meremehkan orang (sosok publik) sambil mengangkat diri sendiri, marah-marah terhadap keadaan yang tidak dapat kita ubah – empat perkara yang juga sering muncul di grup WhatsApp orang-orang yang berpendidikan tinggi – plus memaki anak buah, itu semua poisonous. Sangat beracun dan lebih berbahaya ketimbang arsen di makanan.

Anger is kind of like drinking poison and waiting for another person to die,” kata Marshall Goldsmith,#1 executive coach di dunia, dalam salah satu pelatihannya yang saya ikuti. Katanya, memelihara rasa kesal terhadap orang lain, mencaci-maki, dan nyatanya tidak melahirkan outcome positif, sebenarnya sangat merugikan diri sendiri. Pikiran jadi buntu.

Energi negatif semacam itu tidak perlu jadi beban tambahan dalam perjalanan hidup kita. Apa pula gunanya Anda mengangkat diri dengan cara merendahkan orang lain.

Dari surveinya terhadap 100 ribu orang di pelbagai tempat di dunia, tentang bagaimana kebanyakan orang menggunakan waktu berkomunikasi dan berinteraksi, Marshall Goldsmith menggali dua urusan. Pertama, dalam interaksi mereka, berapa banyak mereka yang mengumbar keunggulan dirinya atau mendengarkan orang bicara begitu. Kedua, berapa yang selalu menganggap orang lain dungu atau mendengarkan orang lain membicarakan hal semacam itu. Hasilnya, sekitar 65%.

Hasil survei tersebut indikasinya dapat dilihat, antara lain, pada talk show di televisi atau kanal YouTube. Di Indonesia misalnya, rating paling tinggi adalah talk show dan kanal yang isinya mengkritisi, memojokkan – kadang menyerang dengan kasar – pihak lain, lalu si penyerang menempatkan diri seolah-olah lebih pintar.

Cobalah ingat atau simak lagi sederet talk-show di televisi yang salah satunya belum lama ini dihentikan. Isinya – dari body language pembicara dan logat bicaranya – cenderung memperlihatkan perilaku congkak orang- orang yang tampil, kecuali beberapa tokoh yang memang sudah matang. Sebagian orang menganggap acara tersebut tontonan yang melelahkan. Bahkan bisa menyebabkan stunting kecerdasan, kata Goenawan Mohamad, penyair dan budayawan, co-founder Majalah TEMPO.

Tapi, itulah tayangan yang mendapatkan sambutan publik luar biasa dan mendatangkan iklan ratusan milyaran rupiah dalam periode tertentu. Jutaan orang telah menghabiskan waktu (sekitar dua jam) mereka untuk menontonnya setiap episode.

Tayangan orang-orang yang mengkritisi keadaan dengan, kadang, asal njeplak, mudah menghakimi pihak lain, sambil membusungkan dada, rupanya telah jadi “hiburan” bagi publik – bisa jadi itu kebutuhan bagi mereka yang mungkin saja betah hidup dalam penjara pikiran (prasangka) masing-masing.

Sesungguhnya, hidup Anda akan lebih enteng kalau tidak ikut kebiasaan melihat tontonan semacam itu, sungguh-sungguh menghindar dari tabiat mendengarkan orang mengangkat-angkat diri mereka sambil meremehkan pihak lain, atau memerdekakan diri dari kesukaan menggunjing tokoh publik dan selebritas. Please ingat, para tokoh publik dan selebritas tersebut tidak memikirkan Anda.

Menghentikan kebiasaan yang toxic, meracuni diri sendiri dengan prasangka, info dan omongan negatif, kelihatannya lebih sulit dibanding menyudahi kebiasaan merokok atau menenggak minuman beralkohol. Stimulan setiap hari datang bertubi-tubi, dari berita-berita di media sosial, forward-an di grup WhatsApp, termasuk paparan omongan sosok publik (tanpa validasi) yang dianggap punya nilai berita.

Ada yang mengatakan, membiarkan semburan berita media cetak, media sosial, dan televisi di ruang keluarga, sama seperti mengundang drug dealer ke rumah Anda. Karena menciptakan kecanduan.

Kebanyakan orang kurang gigih, tidak memiliki disiplin dan kontrol diri yang memadai, serta belum punya skill yang tepat, untuk menyaring banjir info tersebut. Maka tidak mengherankan jika belakangan ini banyak orang yang tampaknya pola pikirnya jadi kusut dan mulut mereka beracun – maaf, bahkan di forum-forum diskusi kalangan orang berpendidikan tinggi (sebagian besar berpendidikan S2 dan S3), perilaku mengerek diri sendiri sambil merendahkan pihak lain sangat sering dapat kita temui. Kata-kata makian pun kadang terhidang di situ. Oh, God, please help us.

Tantangan kita hari ini disamping perlu terus mengembangkan diri dan tim untuk menghadapi krisis berkepanjangan akibat pandemi, juga mesti lebih sigap dalam menavigasi diri di tengah arus stimulan (hujan info, perilaku orang-orang di sekitar kita) yang beracun, toxic, tersebut.

Bagi para eksekutif dan leaders, selain perlu Achieving Personal Mastery (#SeninCoaching 14 Desember 2020), melakukan detoksifikasi pikiran, menata kembali mindset kita, juga wajib terus mengembangkan “leadership muscles” masing-masing.

Agar lebih fleksibel, memiliki kompetensi memimpin perubahan (leading change), mampu membedakan leadership vs management, mendorong kreativitas tim, serta mampu menyikapi tantangan/krisis sebagai peluang. Satu lagi yang juga sangat penting adalah mampu mewujudkan gagasan cemerlang menjadi hasil nyata.

Semua tahapan tersebut, termasuk meningkatkan leadership muscles, dapat dilatih, sebagaimana para atlet melatih otot-otot, skills, serta memperkuat mental mereka. Memang perlu keberanian keluar dari situasi nyaman atau “ketidaknyamanan yang dapat ditolerir” sekarang, sikap rendah hati, dan disiplin follow up.

Itu tergantung Anda, bersediakah membuka diri untuk menjadi lebih baik dan siap meraih keberhasilan tahap berikutnya?

Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article