Sikap intoleran mulai marak dan mengganggu kehidupan berbangsa. Sikap intoleran ditandai dengan munculnya propaganda, radikalisme dan intoleransi di dunia digital. Selain itu, konten seperti hoaks atau berita bohong dan ujaran kebencian kini kian mewarnai dunia maya.
Kreator Konten PadasukaTV, Yusuf Mars mengatakan, secara psikologis bibit kebencian akan mendekatkan pada perilaku intoleran. Dan ketika intoleran menguasai, maka pemahaman radikal akan terus meningkat dan kondisi seperti itulah yang diharapkan oleh kelompok radikal dan teroris di Indonesia.
”Disadari atau tidak, perilaku intoleran bisa memicu konflik di tengah masyarakat dan memecah kerukunan antarumat beragama,” katanya dalam webinar literasi digital bertema ”Media Sosial untuk Mengembangkan Paradigma Moderasi Beragama” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (15/9/2021).
Yusuf mengungkapkan, pada dasarnya masyarakat Indonesia berkarakter ramah dan santun. Namun ketika di media sosial, mereka cenderung bersikap mudah marah, egois, caci maki, intoleran, radikalisme, terorisme, hingga ekstremisme. Kegaduhan di media sosial ini ada kaitannya dengan kebebasan berpendapat pemilik akun media sosial.
Adapun penyebab dari intoleran di media sosial ada beberapa hal. Di antaranya emosi yang labil, krisis identitas, literasi yang rendah dan wawasan yang sempit. Di samping itu, arus informasi yang datang dapat mempengaruhi pola pikir dalam diri seseorang. Salah satu tantangan masyarakat masa kini adalah kemampuannya untuk mencerna informasi yang masuk dari lingkungan yang ada di sekitarnya. ”Hoaks menjadi sangat berbahaya di era digital,” tegasnya.
Untuk itu, lanjut Yusuf, saat ini perlu adanya moderasi agama, yakni konsepsi yang dapat membangun sikap toleran dan rukun guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. ”Moderasi beragama adalah cara pandang atau sikap dan praktik beragama yang mengamalkan esensi ajaran-ajaran agama yang hakikatnya mengandung nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama,” tuturnya.
Menurut Yusuf, moderasi beragama ini penting karena belakangan ada beberapa fenomena yang berkembang. Pertama, cara pandang atau sikap dan praktik keberagamaan yang justru mengingkari nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslahatan bersama yang mewujudkan kedamaian itu.
Kemudian juga cara beragama yang eksklusif. Padahal beragama itu inklusif. ”Ini adalah kecenderungan mengingkari nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian,” ujarnya.
Narasumber lain dalam webinar ini, Pengasuh Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta, Kiai M. Jadul Maula mengatakan, tanpa kemampuan yang benar dan bertanggung jawab, teknologi bisa menjadi faktor perusak agama, bangsa, dan karakter manusianya.
Menurut Jadul, masyarakat sebagai pengguna digital harus mempunyai digital skills, yakni kemampuan menggunakan perangkat hardware dan software. ”Tidak hanya kemampuan teknis terkait dengan perangkat teknologinya, digital skills juga mensyaratkan penguasaan terhadap konten, pengetahuan, motivasi diri dan konteks, pengetahuan, motivasi diri dan konteks sosial dari dunianya,” ucapnya.
Adapun moderasi itu sendiri, lanjut Jadul Maula, merupakan perlawanan sikap ekstrem dalam beragama. ”Cara beragama mesti diajarkan sebagai ilmu dan akhlak yang juga berakar di dalam budaya bangsa yang memandu warga untuk berpikir dan bertindak. Sehingga, mampu mewujudkan tujuan kerahmatan, kemaslahatan bersama sebagai individu, masyarakat dan bangsa,” paparnya.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Dannys Citra itu, juga menghadirkan narasumber Samsul Arifin (dosen dan pengembang website, UTIPD IAIN Pekalongan), Febri Ambar Penuntun (pengelola sistem dan jaringan UTIPD IAIN Pekalongan), dan konsultan marketing Obin Robin selaku key opinion leader. (*)