Selasa, Mei 21, 2024

Anda sukses tapi insecure?

Must read

Saat orang sukses macam ini merasa terancam, tersinggung, atau merasa posisinya tidak aman, mereka cenderung merendahkan orang lain untuk memperkuat sense of superiority diri mereka.

Anda merasakan realitas itu di kantor atau organisasi? Ah, atau Anda bos yang berperilaku kurang lebih sama dengan Kapten HMS Defiant?

Orang-orang sukses penting menyadari bahwa pencapaian-pencapaiannya tidak sepatutnya jadi pembenaran untuk berperilaku destruktif. “True leadership involves lifting others up, not putting them down,” kata Marshall Goldsmith, #1 executive coach di dunia, dengan pengalaman lebih dari tiga dasawarsa.

Perilaku kepemimpinan yang cenderung destruktif dapat diinterpretasikan sebagai ciri utama orang yang berhenti tumbuh, selalu insecure. Atau jiwanya membeku, kehilangan kemerdekaan. Tidak mampu menentukan pilihan-pilihan dalam merespon setiap perubahan keadaan.

Apa pun faktanya, respon mereka sama nadanya, yaitu ngotot mengandalkan ego, jabatan, dan kebanggaan diri merasa sukses. Banyak bisnis kandas akibat perilaku ini. Di dunia politik, perilaku kepemimpinan seperti ini dampaknya lebih buruk — jiwa-jiwa tergadai untuk kepentingan sesaat.

Survei McKinsey tiga tahun lalu mendapati kenyataan, perilaku kepemimpinan berdampak signifikan terhadap kinerja organisasi. Sebuah perusahaan asuransi berhasil hemat US$ 20 juta dalam sembilan bulan — plus pengambilan keputusan dan kolaborasi lebih efektif — setelah para eksekutif bersedia memperbaiki perilaku mereka.

Sebaliknya, 33% transformasi gagal akibat perilaku leadership team tidak mendukung perubahan menjadi lebih baik.

Perlu kelenturan mental agar seseorang mampu memilih respon yang tepat atas setiap kondisi. Pilihan ini membuka peluang tumbuh dan merdeka.

man holding incandescent bulb

Viktor Frankl, psikiater yang survive dari kamp penyiksaan Nazi dan menulis Man’s Search for Meaning, menuturkan bagaimana manusia sepatutnya memilih respon untuk hidup lebih bermakna, hidup yang menumbuhkan potensi kita sebagai manusia terpenuhi.

Between stimulus and response there is a space,” tuturnya. “In that space is our power to choose our response. In our response lies our growth and our freedom.”

Dr. Susan David, psikolog Harvard Medical School, mengembangkan emotional agility – bukunya Emotional Agility best seller dan TED Talk-nya populer. Cerita di awal tulisan dikutip dari bukunya.  “Ini tentang loosening up, calming down, and living with more intention,” katanya. Bagaimana menentukan respon terhadap (setiap signal) yang menyentuh sistem kewaspadaan emosional Anda.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article