Senin, Mei 20, 2024

Bisakah kita tanpa front?

Must read

Tanpa kemarahan membabi-buta, tanpa senjata, tanpa kekerasan, mereka akan merasa nil, non-existent.

Dari sejak generasi pertama keturunan Nabi Adam – entah berapa ribu tahun silam — sampai hari ini, sebagian manusia ternyata masih menggantungkan eksistensi mereka pada front tersebut. Ibarat Qabil, sebagaimana diriwayatkan, yang hatinya tertutup, mementingkan diri sendiri lantas membangun front, memposisikan Habil, saudaranya, sebagai ancaman dan harus dibunuh. Golongan ini — menurut kalangan alim ulama, pendeta, cendekiawan – cenderung mengabaikan potensi-potensi lain yang dikaruniakan Tuhan bagi umat manusia.

Kematian 130-an orang di acara olah raga memang tragedi. Pemujaan berlebihan pada front dan mempertahankannya secara membuta sesungguhnya merupakan  tragedi kemanusiaan yang lebih gawat lagi.

Front, sebagai kata kerja: to command them to assume a forward-facing position, menyikapi pihak lain sebagai (kehadiran intimidatif) yang harus dihadapi, dapat kita persepsikan sebagai satu bentuk krisis ruhani yang mendalam. Front cenderung membelenggu.

Memuja front dan menempatkannya sebagai panduan utama dalam pengambilan keputusan, membuat pikiran kerdil dan seperti menyangkal kehendak Pencipta Alam Semesta, yang membolehkan manusia mengerahkan daya pikir dan keindahan rasa seoptimal mungkin.

Pengkerdilan pikiran itu terwujud dalam pelbagai bentuk ekspresi, dengan kadar yang berbeda.

Dapat dilihat antara lain pada perilaku, pilihan kata dan kalimat, cara berkomunikasi di wilayah-wilayah pengelolaan interaksi dengan counterpart, cara perusahaan menyikapi pelanggan, kepemimpinan di organisasi, perilaku bos dalam interaksi sehari-hari dengan tim, dalam kehidupan keluarga, dan di antara anggota masyarakat.

Di wilayah-wilayah tersebut kita sering mendapati penghamburan resources, konflik secara tertutup atau terbuka, akibat masing-masing pihak yang berinteraksi membangun front.

Cara perusahaan menyikapi pelanggan, misalnya. Sampai hari ini, ketika teknologi komunikasi sudah demikian canggih dan pelbagai aplikasi untuk meningkatkan kualitas engagement dengan pelanggan tersedia, masih saja ada perusahaan-perusahaan yang mentalitasnya seperti para kolonialis: pelanggan adalah wilayah terbuka yang harus ditaklukkan. Akibatnya, interaksi yang terjadi — jika pelanggan tidak sampai jadi korban — sangat transaksional, jangka pendek.

Perusahaan semacam ini umumnya kesulitan meningkatkan penjualan produk atau jasa mereka.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article