Minggu, Mei 5, 2024

Familikrasi

Must read

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad

Familikrasi, sebagaimana oligarki, mengandung cacat dasar, bahkan lebih gerowong.

Sementara pangkal oligarki adalah kekayaan—yang tak jarang diperoleh dengan jerih payah—pangkal familikrasi satu hal yang didapat tanpa upaya: hubungan biologis.

Demokrasi dimulai sebagai skandal.

Demokrasi dimulai ketika seseorang—atau satu golongan—yang dianggap tak patut mendadak atau berangsur-angsur muncul, bersuara, dan berkuasa dalam sebuah tatanan sosial yang semula digambarkan sebagai bangunan dengan martabat yang mantap.

Pada mulanya adalah ketentuan “patut” dan “tak patut”.

Entah sejak zaman kapan syarat-syarat tertentu dilembagakan agar seseorang dianggap layak memegang kekuasaan.

Mungkin sejak Plato di Yunani di tarikh sebelum Masehi: ia menyusun axiomata atau kualifikasi buat memerintah—semacam bobot, bibit, bèbèt dalam tradisi Jawa ketika menilai seseorang untuk diterima atau tidak.

Syarat-syarat Plato tak aneh buat seorang pemikir politik yang anti-demokrasi: untuk memimpin, kata Plato, seseorang harus punya bibit yang benar—lahir di waktu tertentu dan di kalangan tertentu. Dan, tentu saja, harus ada bobot dan bèbèt—punya wibawa dan kekuatan dalam hubungannya dengan orang lain.

Syarat lain yang mahapenting, bagi Plato: kekuasaan harus merupakan kekuasaan seseorang yang “tahu” di atas orang yang “tak tahu”.

Dalam gambarannya tentang Negeri Kallipolis, kota yang sempurna, sang raja adalah sekaligus filosof.

Tapi ada kualifikasi lain yang diakui Plato: pemimpin bisa lahir dari “pilihan Tuhan” yang tak bisa diduga. Sama dengan hasil lotere.

Jika kita ikuti thesis ketiga Rancière, (dan saya mengikuti Onze thèses sur la politique), itulah justru ciri demokrasi.

Dalam demokrasi, tak satu pun pihak yang punya titre, status istimewa yang apriori berhak menentukan pilihan.

Dalam demokrasi, hasil pilihan sepenuhnya ibarat undian, le tirage au sort. Tiap undian berlangsung dalam kesetaraan. Si Badu yang bukan ningrat, bukan anak pejabat, bukan pakar, bukan apa-apa, bisa saja muncul—seperti dapat lotere—dan memimpin.

Dan itulah “skandal”. Dalam cerita wayang itu digambarkan dalam lakon Petruk Jadi Ratu.

Tapi, sementara dalam dunia wayang Petruk-si jelata-abdi-dan-badut dijadikan bahan cemooh, dalam pandangan Rancière Petruk menandai guncangnya bangunan politik yang semula digambarkan sebagai arena istimewa.

Petruk adalah kekurangajaran yang menandai bahwa tak ada situs yang istimewa, juga kekuasaan.

Di Indonesia hari ini, tatkala demokrasi sudah jadi oligarki—dewan perwakilan diisi orang-orang yang diarahkan para juragan politik yang menguasai partai sebagai kandang ternak milik pribadi—kita perlu Petruk.

Kita perlu skandal, terutama ketika tampak kecenderungan yang pelan-pelan berkembang dari oligarki ke arah yang saya sebut “familikrasi”.

Familikrasi adalah penguasaan ruang politik oleh elite yang terbentuk dari hubungan keluarga—kita segera tahu itu.

Familikrasi dibangun dalam pemilihan kepala daerah 2020 kemarin: sekitar 30 calon yang dimajukan untuk dipilih adalah istri, anak, atau menantu elite sebelumnya.

Tentu saja ini legal, tapi yang “legal” tak identik dengan yang arif—sikap yang peka akan batas.

Familikrasi, sebagaimana oligarki, mengandung cacat dasar, bahkan lebih gerowong.

Sementara pangkal oligarki adalah kekayaan—yang tak jarang diperoleh dengan jerih payah—pangkal familikrasi satu hal yang didapat tanpa upaya: hubungan biologis.

Oligarki masih mungkin dihasilkan satu lapisan yang tangguh; familikrasi tidak.

Lapisan elite yang baru bisa disamakan dengan benalu: organisme yang hidup hanya karena melekat ke tubuh organisme lain.

Cepat atau lambat ia membentuk regenerasi yang lembek dan tertutup.

Tak ada kompetisi yang sengit.

Tak ada elemen baru dari luar.

Familikrasi adalah narsisme politik: aku pandang diriku paling bagus, maka perlu diteruskan dan digandakan.

Tak perlu alternatif.

Yang membayangi adalah rasa waswas bahwa yang “baru“—dan itu yang beda—akan memotong, atau menyimpangkan, yang dianggap “sudah-bagus” dan bisa dikendalikan.

Ada rasa cemas kekuasaan akan terlepas.

Familikrasi berangkat dari kehendak akan kesinambungan—tak menyadari bahwa dalam sejarah politik, kesinambungan adalah pseudo-kesinambungan.

Dinasti tak pernah bisa mereproduksi dirinya. Tiap reproduksi, tiap pengulangan, mengandung perbedaan. Sultan Agung dari Mataram dilanjutkan putranya, Amangkurat, tapi sang penerus bukan penerus. Ia merusak warisannya. Mataram tak pernah bangkit lagi dengan kejayaan baru.

Jika kriteria utama untuk seleksi kepemimpinan adalah “trah”, dilupakan bahwa trah tak mudah berubah untuk “survival of the fittest”.

Sejarah bukanlah cerita wayang.

Sejarah tak diisi cuma lima pandawa dan 100 kurawa, dengan cakil, denawa, dan punakawan yang “lu-lagi-lu-lagi”, tak berubah—bahkan dalam cara berkelahi dan dalam kalah dan menang.

Berbeda dengan wayang, sejarah dibangun dengan skandal: tiap kali tempat kekuasaan dianggap kosong, belum di-booked, bisa diisi siapa saja, juga oleh para petruk.

Atau lebih tepat, sejarah menunjukkan kekuasaan tak pernah punya tempat yang pas. Ia senantiasa contingent, serba-mungkin, dan terbentuk oleh beda dan konflik dalam dirinya yang berubah.

Familikrasi lahir dari nafsu yang buta menghadapi itu.

Catatan Pinggir – TEMPO

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article