Selasa, Mei 7, 2024

Hanya ada tiga jalan untuk menunda pemilu

Must read

Penyelenggara negara (eksekutif) yang masih legal di tingkat pusat tinggallah Panglima TNI dan Kapolri. Kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR. Bagaimana cara menggantinya, Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan ilegal. Dalam situasi seperti ini banyak pula kemungkinan dapat terjadi.

TNI dan POLRI sekarang ini bukan lagi ABRI zaman dulu yang berada dibawah satu komando, Panglima ABRI. TNI dan POLRI sekarang terpisah dengan tugas masing-masing, dan punya komando sendiri-sendiri yang masing-masingbbertanggung jawab secara terpisah kepada Presiden.

Jika Presidennya sendiri sudah ilegal dan tidak sah, Panglima TNI dan Kapolri bisa pula membangkang kepada perintah Presiden yang ilegal itu. Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis. Tetapi kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara.

Di daerah, gubernur, bupati dan walikota masih sah menjalankan roda pemerintahan kalau masa jabatannya belum habis, tetapi tanpa kontrol DPRD lagi. Bagaimana mau mengontrol, DPRD-nya saja sudah ilegal. Begitu juga tanpa pertanggungjawaban lagi kepada Presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Bagaimana mau bertanggung jawab kalau Presidennya sudah ilegal? Keadaan bangsa dan negara akan benar-benar carut marut akibat penundaan Pemilu.

Dalam suasana carut marut, timbullah anarki. Dalam anarki setiap orang, setiap kelompok merasa merdeka berbuat apa saja. Situasi anarki akan mendorong munculnya seorang diktator untuk menyelamatkan negara dengan tangan besi. Diktator akan mendorong konflik makin meluas. Daerah-daerah potensial bergolak. Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi. NKRI “harga mati” berada dalam pertaruhan besar.

Saya membayangkan keadaan buruk yang mungkin akan terjadi sebagaimana saya uraikan di atas, apabila Pemilu ditunda. Mungkin saya pesimis terlalu berlebihan. Tetapi membayangkan keadaan paling buruk itu, perlu bagi kita untuk mengantisipasi jangan sampai itu terjadi.

Ambillah contoh ketika kita menghadapi krisis ekonomi yang membawa dampak luas pada stabilitas politik di tahun 1997-1998. Krisis politik dan keamanan itu berakhir hanya dalam waktu beberapa menit saja.

Presiden Suharto membacakan Pidato Pernyataan Pengunduran Diri sebagai Presiden RI, dan kemudian disusul oleh pengucapan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai Presiden RI di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung. Panglima ABRI Jenderal Wiranto membacakan statement menyatakan peralihan kekuasaan itu sah, ABRI menyatakan tunduk kepada Presiden yang baru, BJ Habibie.

Krisis politik berakhir dengan damai dalam waktu tidak sampai 1 jam. Presiden Suharto yang telah berkuasa 32 tahun kehilangan konstitusionalitas dan legalitas jabatan, kedudukan dan kekuasaannya. Walaupun ada yang suka dan tidak suka kepada BJ Habibie, tetapi itu persoalan politik.

Yang paling fundamental dia memegang jabatan Presiden secara sah, legal dan legitimate. Hanya ada beberapa guru besar hukum seperti Prof. Dr Dimyati Hartono dari UNDIP, Prof. A. Muis dari UNHAS dan Prof. Dr. I Gde Atmadja dari UNUD yang menolak, tetapi pendapatnya saya sanggah melalui polemik.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article