Selasa, April 30, 2024

Kekuasaan

Must read

Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Teman saya bekerja di sebuah perusahaan raksasa. Perusahaan yang sangat maju berkat kecerdasan, kerja keras, dan naluri wirausaha yang kuat dari pendirinya yang sampai sekarang masih memegang kontrol kepemimpinan.

Tentunya ada banyak profesional dalam timnya. Namun, dominasi sang pemimpin membuat semua orang akan menunggu arahan dulu darinya sebelum mengambil keputusan. Jauh di hati kecilnya, pimpinan merasa bahwa tanpa dirinya semua tidak akan berjalan lancar. Sekalipun ia menggadang-gadang regenerasi, hampir semua keputusan penting masih berada di bawah kendalinya.

Tidak segan-segan ia memveto keputusan yang dirasanya “bodoh” tanpa bertanya pada anak buahnya. Tanpa disadari, tumbuh aturan tidak tertulis dalam perusahaan tersebut bahwa apa pun yang dikatakan dan diputuskan oleh sang pemimpin akan menjadi kebijakan yang dipegang oleh organisasi. Meskipun demikian, tidak jarang pemimpin melanggar keputusan yang dibuatnya sendiri demi kepentingannya sendiri.

Pendatang baru yang masuk pada budaya kerja seperti ini pun belajar bahwa ia juga harus taat pada sistem kekuasaan terpusat ini bila mau bertahan lama. Pemimpin menikmati posisinya karena satu kendali memang lebih mudah daripada bila kendali disebar. Apalagi karena ia tidak pernah menerima umpan balik yang negatif.

Orang-orang di sekeliling pemimpin ini bertumbuh menjadi orang yang tidak kritis. Mereka yang berani menyuarakan pendapatnya, berargumen dengan pemimpin, perlahan-lahan akan tersingkir karena dianggap mengancam otoritasnya. Mereka yang bertahan adalah mereka yang mampu menjaga komentarnya agar tidak menyinggung ego pemimpi.

Atau, justru menikmati posisinya dengan mengamini semua ucapan pemimpin sambil mengangkat-angkat egonya, memuji tindakan dan keputusannya sekalipun kurang etis.

Begitu banyak keistimewaan dan pelayanan yang diberikan kepada pimpinan dengan tujuan agar ia bisa berfokus memikirkan perbaikan hidup mereka yang berada di bawah pimpinannya. Padahal, misalnya, bagaimana seorang pemimpin bisa memahami berbagai permasalahan keruwetan transportasi publik bila perjalanannya selalu lancar bebas hambatan dengan pengawalan?

Bagaimana ia bisa mengerti bahwa kelambanan para karyawan membalas pesannya karena harus mengurus detail pekerjaan sekaligus kebutuhan rumah tangganya sendiri ketika seluruh kebutuhannya sudah disiapkan dan disediakan oleh para asisten pribadi, asisten rumah tangga dan sopir? Semakin lama pemimpin duduk di kursi kekuasaan, semakin menipis cadangan empati yang dimilikinya.

Kalaupun ia dulu pernah mengalami saat-saat susah, ingatan itu hanya tersisa sebagai kenangan kabur yang muncul dalam momen-momen ketika ia harus berpidato untuk menunjukkan pada khalayak bagaimana perjuangannya from zero to hero.

Namun, ketika usia terus bertambah dan fisik pun mulai terasa makin lemah, pemimpin menyadari bahwa ia tidak akan ada selamanya berada di organisasi. Bagaimana organisasi bisa bertumbuh bila hanya ada orang-orang yang bersikap yes man? Siapa yang akan menyadarkannya bahwa organisasi sedang tidak baik-baik saja?

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article