Jumat, Mei 17, 2024

Mau sukses memimpin? Basuhlah tangan ibumu

Must read

Kolom Mohamad Cholid

Practicing Certified Executive and Leadership Coach 

Dengan prestasi akademis nyaris selalu excellent sejak sekolah menengah pertama sampai pasca sarjana, Jon A dengan gemilang lulus setiap tahap tes yang harus dihadapinya untuk menempati posisi manajer di sebuah perusahaan besar. Tahap terakhir tes adalah wawancara dengan direktur perusahaan tersebut.

Pada hari interview tahap akhir keesokan harinya, Mr. Director bertanya, “Saudara Jon, Anda memiliki prestasi akademis istimewa. Apakah selama menempuh pendidikan pernah memperoleh beasiswa?”

Jawab Jon, “Belum pernah.”

“Berarti ayahmu yang membiayai sekolah sampai lulus, ya?” tanya Mr. Director.

“Bukan juga,” jawab Jon. “Bapak saya meninggal ketika saya berusia satu tahun. Sekolah saya dibiayai Ibu.”

Sedikit takjub, Mr. Director bertanya lebih jauh, “Ibumu kerja apa?”

“Tukang cuci baju,” kata Jon dengan enteng.

Mr. Director terdiam sejenak. Lantas dia minta Jon memperlihatkan tangannya. “Tanganmu mulus, apakah tidak pernah membantu ibumu kerja?”

“Ibu melarang saya ikut kerja. Beliau minta saya fokus belajar, banyak baca buku, dan sekolah serta kuliah dengan baik. Ibu juga bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat tanpa keterlibatan saya,” jelas Jon.

“Begini Jon,” kata Mr. Director, “Nanti saat kamu pulang ke rumah basuhlah tangan ibumu, besok datang lagi ketemu saya.”

Merasa yakin ada indikasi bakal diterima bekerja, Jon sampai di rumah malam itu langsung meminta ibunya menyodorkan tangan untuk dia basuh. Ibunya dengan sedikit heran, dan senang tentunya, ikut saja apa kata Jon, anak tunggalnya itu.

Saat itulah Jon melihat realitas yang selama ini tidak dia perdulikan. Sambil membasuh tangan ibunya dengan pelan, Jon melihat dan merasakan barutan-barutan dan keriput tangan ibunya yang telah dua puluh tahun lebih bekerja mencuci pakaian, tanpa pernah mengeluh sekalipun. Saat ada bekas luka yang belum pulih benar terkena basuhan, badan ibunya sedikit bergetar menahan sakit.

Jon merasa batinnya diguncang. Air matanya mengalir tak terbendung. Ia menangis.

Malam itu Jon membantu ibunya menyelesaikan cucian yang sebagian masih teronggok di dekat sumber air. Dan malam itu juga ibu dan anak saling bertukar cerita sampai larut.

“… dengan membantu ibu menyelesaikan pekerjaan, saya bisa merasakan betapa sulit meraih sesuatu kalau dilakukan sendiri, tanpa bekerja sama.”

Keesokannya, sesuai kesepakatan, Jon ketemu lagi dengan Mr. Director dan menceritakan apa saja yang dia alami di rumahnya, sambil menahan air mata yang mau menetes. Mr. Director langsung bertanya: “Apa yang kamu pelajari dari kejadian di rumah bersama ibumu dan bagaimana perasaanmu?”

Ada tiga hal, kata Jon. Pertama, “Bisa menghargai upaya-upaya yang dilakukan ibu untuk menebus keberhasilan saya meraih gelar akademis seperti sekarang. Tanpa kerja keras ibu, mustahil saya sampai lulus pasca sarjana. Kedua, dengan membantu ibu menyelesaikan pekerjaan, saya bisa merasakan betapa sulit meraih sesuatu kalau dilakukan sendiri, tanpa bekerja sama. Ketiga, bisa menghargai pentingnya nilai-nilai yang dapat memperkuat ikatan keluarga.”

“Itulah kualitas manajer yang saya perlukan dalam tim saya,” kata Mr. Director. “Dapat menghargai upaya dan jerih payah orang lain, lalu memberikan bantuan. Serta tidak menempatkan uang sebagai tujuan utama hidupnya. You are hired.”

Jon A kemudian membuktikan diri berhasil membangun tim dengan semangat saling membantu dan memberikan dukungan di antara anggotanya. Tim Jon memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan organisasi.  

Cerita itu saya kutip dari Darren Hardy, mentor para eksekutif senior dan pengusaha, utamanya di AS, untuk meraih sukses ke level berikutnya.

Gambar oleh Arek Socha dari Pixabay 

Kalau cerita itu terjadi di Amerika, tentunya itu di masa ketika mesin cuci belum merata tersebar di masyarakat. Seandainya di Yogya, misalnya, bisa terjadi pada masa sampai 1980-an. Saat itu kalau kita para perantau yang bersekolah di Yogya bilang mau mencuci baju, berarti menyerahkan baju kotor seminggu ke tukang cuci yang mengerjakannya dengan tangan. Londre kiloan (dengan mesin cuci) waktu itu sama sekali belum nge-trend.

Hari ini, ketika kita bicara “basuhlah tangan Ibumu”, maka lebih merupakan kiasan, agar kita ingat siapa saja orang-orang yang membantu kita meraih keberhasilan di level sekarang.

Dalam kapasitas Anda sebagai manajer, pemimpin organisasi, kewajiban Anda adalah menyadari siapa saja yang memungkinkan tugas-tugas tim selesai tepat waktu, sesuai anggaran, dan semua orang bekerja dengan bersikap “doing what we know how to do exceptionally well.” Itu manajer.

Kalau Anda mengaku sebagai leader, maka sepantasnya mampu pula menetapkan arah organisasi, memberikan inspirasi, dan “memobilisasi orang-orang untuk meraih hasil yang mengagumkan”, kata John P. Kotter. Karena leadership adalah “it has to do with changing people and their organization so they can leap into a different and better future, no matter the threats or barriers or shifting circumstances.” (John P. Kotter, XLR8 – Accelerate).

Mana mungkin Anda bisa memimpin tim mengatasi segala jenis rintangan dan meraih hasil gemilang kalau Anda tidak membantu mereka dan di antara anggota tidak bisa saling menopang?

Untuk menghadapi tantangan hari ini, ketika kompetisi makin ketat dan perubahan berlangsung berkesinambungan, diperlukan kompetensi manajerial yang handal dan leadership sekaligus. Perlu pula kerendahan hati Anda agar mau “membasuh tangan-tangan mereka” yang berkontribusi dan meringankan beban tim, sebagai role model agar sesama anggota tim juga saling menopang; bukan saling menghakimi.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article