Jumat, April 26, 2024

Mengenang AE Priyono

Must read

Jalan intelektual yang makin sunyi

Denny JA

“Bro, ini jalan semakin sunyi. Juga mungkin orang semakin tak peduli. Lihatlah. Ruang publik kita semakin dangkal.”

“Walau sunyi, tapi bagi saya ini jalan yang penting. Tak apa sebisanya, sekecil apapun, saya ingin terus memperkaya ruang publik. Saya akan mengulas rutin dan mempublikasi berbagai buku yang mencerahkan soal spiritualitas.”

Percakapan ini yang pertama saya ingat ketika mendapat kepastian berita wafatnya AE Priyono. Hari ini Minggu 12 April, sejak jam 10.00 pagi saya tak menyentuh handphone. Saya sangat fokus melanjutkan menonton serial Great Moments in World War II di Netflix.

Ketika saya buka handphone, ada tiga miss called dari putri AE Priyono, sejak jam 11.21 hingga 11-28. Setelah saya teks ulang, muncul kabar duka itu: “Om, Abah wafat. Mohon doa. Maafkan kesalahannya”

Berita sakit AE Priyono agak dramatik. Di awal diberitakan ia menjadi pasien dalam pantauan akibat virus Corona. Ia sempat ditolak beberapa rumah sakit dengan alasan rumah sakitnya penuh. Atas bantuan teman, tengah malam akhirnya AE Priyono masuk ke RS Polri.

Tulisan mengenai AE Priyono terkena virus Corona beredar luas. Mungkin ia intelektual- aktivis pertama yang kami kenal secara pribadi yang terkena penyakit ini.

Esok hari putrinya, Nina mengabarkan Abah (AE Priyono) belum tentu kena coronavirus. Ia akan dites swab dulu. Tapi fasilitas swab sedang tak ada.

Dengan susah payah, akhirnya didapatkan tes swab itu. Namun tak tahu kapan hasilnya. Ujar Nina, hasilnya masih lama. Putrinya sempat bertanya apakah ada alternatif labolatorium lain yang bisa digunakan agar dapat hasil yang cepat.

Berapa hari kemudian, baik Nina atau Risky suaminya mengabarkan berita gembira. “Abah tidak kena Corona, Om. Hasilnya negatif. Tapi abah masih kritis karena penyakit lain.”

Saya bertanya kepada Nina tahu dari mana hasil Abah negatif. Jawab Nina, “Tadi Om, orang labnya telepon.” Saya katakan ke Nina agar ia meminta hasil swab itu tertulis.

Hampir setiap hari Nina atau suaminya mengabarkan perkembangan abahnya. Sempat pula mereka memberitakan AE Priyono akan pulang ke rumah, berobat jalan. “Alhamdulilah Abah sudah sadar dan lebih bugar, Om.”

Yang terjadi kemudian, AE Priyono wafat. Usman Hamid sahabat lama AE Priyono memastikan penyakit yang mengantarkan almarhum adalah Pneumonia.

Awal November 2020 itu AE Priyono acap menghubungi saya ingin berjumpa. Memang sudah lama sekali kami tak berjumpa fisik.

Pertama kali saya intens bersahabat dengan AE Priyono di ujung tahun 1980-an. Saat itu AE dikenal sebagai penulis, intelektual dan editor yang handal. Ia bekerja di LP3ES. Ketika itu LP3ES menjadi LSM besar yang harum di kalangan aktivis dan intelektual.

Hubungan saya lebih intens lagi dengannya ketika kami pergi bersama ke luar negeri. Bersama Boni (Nur Imam Subono), Herdi SRS, kami mewakili Indonesia dalam pertemuan internasional di Filipina.

Setelah itu saya dan AE berjumpa fisik on and off saja. Walau komunikasi lewat virtual cukup sering.

Di awal November 2020, kembali saya jumpa AE setelah tahunan tak jumpa. Hari itu saya menemukan sahabat yang agak berbeda. Ia bercerita tentang penyakit yang ia derita. Tapi lebih banyak, ia bercerita tentang zaman yang sudah berubah.

Kini kita hidup di dunia yang ironis, ujar AE. Memang ini era revolusi informasi. Tersedia banyak sekali bacaan bagus yang gratis. Tapi akibatnya, lanjut AE, sebagai penulis, editor dan intelektual, harga ekonomi kita menurun.

AE mengisahkan teman-teman yang sangat cerdas dan aktif di era mahasiswa tahun 1980-an dulu. Mereka dulu memilih jalan sebagai penulis, intelektual, aktivis LSM.

Kini di masa tua, ujar AE, banyak yang keok, bro! Ini zaman susah bagi kita, keluh AE dengan ekspresi sedih.

Tak ada lagi area komersial bagi mereka. Kasihan bro. AE menyebut beberapa nama. Ia yang dulu kita kenal gagah dan cerdas, namun kukuh menjadi aktivis full time, hidup mereka kini merana. Beli obat saja susah, ujar AE.

Di hari itu juga, AE Priyono menyampaikan gagasannya. Ujarnya, “Bro saya ingin menghabiskan sisa hidup saya tetap di jalan intelektual.”

“Saya sudah membuat komunitas Esoterika-Islamika dalam Facebook. Saya ingin komunitas ini membesar menjadi alternatif kehidupan agama kita yang semakin sekretarian dan legalistik.”

Lanjutnya, “Tapi bro, siapa yang bersedia membiayai program ini.” AE pun membuat hitung- hitungan kasar dana yang ia butuhkan.

Tak banyak yang saya respon. Saya hanya menatap matanya. Itu mata yang masih menyala. Ialah mata yang masih mencari kedalaman. Mata yang tahan hidup dalam sunyi.

Saya langsung menyalami tangannya. “Ok bro. Jalan saja. Kita kerjakan hal yang mungkin tak lagi ada nilai ekonominya. Tapi bagus untuk pencerahan.”

AE senang sekali. Ia peluk saya hangat sekali. Bahkan ia meminta waiter di resto itu mengabadikan momen kami. Ialah momen di mana Ia akan bergerak lebih pasti soal pilihan hidupnya.

AE pun melanjutkan programnya. Di Facebook itu, saya sempat membaca ia menuliskan secara khusus pertemuan kami sore itu. Foto kami di resto itu, ketika bersepakat, ia sertakan di sana.

Pertemuan saya yang terakhir dengan AE kebetulan saja. Ia sedang makan siang bersama istri, anak dan mantunya. Di sana saya mengenal putrinya Nina, dan menantunya Risky.

Sayapun baru sadar jika itu ternyata pertemuan fisik dengan AE itu yang terakhir.

Namun saya merasa tak pernah berpisah dengan AE. Karena saya selalu bersamanya, menyetujui gagasannya: memperkaya ruang publik dengan gagasan yang mencerahkan.

Saya meyakini tak berpisah dengan AE. Sepenuhnya saya menyetujui jalan pilihannya, jalan intelektual. Walau itu jalan yang semakin sunyi.

Selamat jalan AE, sahabatku. Selamat jalan, pejuang!

April 2020

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article