Senin, Mei 20, 2024

Politik makanan massal dan penyeragaman selera Nusantara

Must read

  • Makanan, dalam pengertian sebagai kuliner, tidak sekadar berkaitan dengan nutrisi. Ia adalah juga sebuah kebudayaan yang terkait dengan identitas. Ada banyak hal yang membentuk identitas, salah satunya adalah dari ekonomi politik.
  • Keharusan negara untuk menyediakan makanan dengan nutrisi yang baik untuk seluruh warganya menciptakan produksi makanan massal.
  • Perbandingan antara Thailand dan Indonesia memperlihatkan kontras yang tajam dalam politik ekonomi makanan massal.
  • Thailand lewat nasionalisme kenegaraannya menciptakan makanan massal untuk rakyat kebanyakan. Sementara itu, Indonesia menciptakan makanan massal lewat kroni-isme dan perkoncoan di kalangan para elitenya.
  • Mengapa Indonesia memilih terigu sebagai basis makanan massal? Apa kepentingan kekuasaan di baliknya?

Oleh Antonius Made Tony Supriatma

Saya menulis satu bab tentang makanan yang terbit dalam jurnal “Prisma” edisi pertama tahun ini. Edisi ini khusus mendiskusikan topik yang tidak banyak disentuh namun semakin populer: Gastronomi.

Saya mulai dengan membandingkan antara politik makanan di Indonesia dan Thailand. Perbandingannya kira-kira begini. Pada tahun 1932 terjadi kudeta militer di Thailand. Salah satu anggota junta yang melakukan kudeta itu adalah seseorang bernama Plaek Phibunsongkhram.

Cerita kudeta itu tidak menjadi pusat. Tapi yang penting adalah Plaek Phibunsongkhram. Dia menjadi Perdana Menteri pada tahun 1938. Dibawah pemerintahannya dia menjalankan kebijakan nasionalisasi. Tidak saja terhadap perusahan asing tetapi juga menasionalkan apa saja tentang Thailand. Termasuk merubah nama dari Siam menjadi Thailand.

Phibun mengintroduski makanan yang kemudian dikenal dengan nama Pad Thai. Dia klaim makanan berbahan utama mi beras ini sebagai khas Thailand. Sekalipun sesungguhnya itu adalah variasi dari Kwetiauw yang berasal dari negeri Tiongkok.

Namun makanan ini cepat populer. Dia menjadi makanan cepat saji pertama dan sangat populer di Thailand, dan kemudian ke seluruh dunia.

Twist-nya adalah bahwa mi untuk Pad Thai ini adalah produk olahan beras. Dia berasal dari beras patah, menir, dll. yang kemudian diolah menjadi mi. Bahan bermutu rendah ini dikonversi secara kreatif menjadi Pad Thai. Beras yang baik tentu saja untuk ekspor.

Phibun melakukan banyak sekali Thailand-isasi. Dia mematikan banyak kebudayaan lokal. Tidak heran, dia tidak populer dan dibenci. Namun kebijakan nasionalisnya membuat Thailand mampu menjadi negeri sendiri dan memainkan peranan di wilayah yang penuh pergolakan itu.

Sekitar 30 tahun kemudian, di negara tetangga Thailand, juga terjadi kudeta. Antara 500 ribu hingga sejuta orang mati sesudah kudeta itu. Tentara berkuasa.

Lahirlah penguasa yang bernama Suharto. Dia adalah Phibun Indonesia. Sama seperti Phibun, Suharto pun ingin negaranya menjadi maju dan modern. Dia menggunakan para teknorat untuk merancang pembangunan ekonomi.

Namun tidak seperti Phibun, Suharto tidak tertarik dengan membuat makanan massal yang bersumber dari produk yang dihasilkan dari dalam negeri. Dia tertarik pada “rente.”

Dia mengaku sangat ingin negerinya melakukan swasembada beras. Namun, dia tahu persis itu tidak akan bisa dilakukan. Tanah negerinya tidak sesubur Thailand. Hasil padi per hektar negerinya jauh lebih rendah dari Thailand. Tapi toh, untuk kepentingan citra, dia menggenjot produksi beras.

Di sisi lain, dia mempersiapkan skenario makanan pengganti. Dan makanan pengganti itu sangat mudah didapat dan ketika itu Amerika Serikat memberikan fasilitas ekspor untuk gandumnya ke Indonesia.

Jadilah, lewat kroninya yang paling dekat Liem Sioe Liong, dia membangun pabrik penggilingan gandum. Itulah Bogasari. Tangan Suharto tidak langsung disana. Tapi ada saudara tirinya. Ada tangan bisnis institusi militer juga.

Bogasari menjadi besar dan mematikan saingan-saingannya. Karena besar dia tidak boleh hanya berhenti sebagai penggiling gandum dan pengarung terigu saja. Mulailah berdiri IndoFood yang terkenal dengan Indomie, sebuah merek dagang yang menguasai 80% perdagangan mi instan di Indonesia.

Dan, mi menggantikan nasi. Atau kadang dimakan sebagai “lauk” bersama nasi. Hingga saat ini, Indonesia tidak dapat hidup tanpa Indomie.

Hanya Indomie yang menyatukan Indonesia. Dia dengan mudah bisa didapati mulai dari hotel berbintang hingga ke hutan-hutan pedalaman (kalau pun hutan itu masih ada).

Tidak itu saja. Perusahan mi instan tidak hanya mengubah pola makan kita. Mereka juga membentuk “rasa” makanan kita. Mereka menciptakan beraneka ragam rasa yang mereka klaim “milik” kita.

Siapa bisa menyangkal enaknya rasa “kari ayam” dari Indomie, milsanya? Kari ini sama sekali tidak pernah ada. Dia tidak sama dengan kare ayam yang saya kenal yang diolah dari bumbu segar. Namun toh, bagaimana pun harus diakui, ia enak. Saya pernah melihat orang makan Papeda dengan kuah dari Indomie rasa kari ayam. Kuah Indomie ini untuk makan Papeda!

Indonesia pun menjadi pengkonsumsi gandum yang rakus. 10 juta ton diimpor per tahun. Biji-bijian ini tidak sebutir pun diproduksi di Indonesia. Tidak sebutir!

Hanya dalam waktu kurang dari satu generasi, Indonesia sudah memeluk gandum menjadi salah satu makanan pokoknya. Sekali pun ada ratusan sumber pangan alternatif, tetap Indoesia tidak bisa mengurangi kecanduannya pada gandum. Bahkan dari tahun ke tahun permintaan akan gandum meningkat.

Apakah ini masalah? Untuk saya iya. Di masa damai, kita mungkin bisa membeli. Tapi bagaimana jika ketergantungan ini kemudian mematikan kemampuan kita untuk mengkonsumsi apa yang kita miliki dan bisa kita produksi sendiri?

Apakah kita bisa bertahan pada masa krisis atau yang terburuk pada masa perang?

Jarang orang melihat pangan sebagai masalah strategis. Sebagai masalah pertahanan negara. Siapa peduli? Orang lebih peduli menyumbang untuk beli kapal selam bukan? Padahal, urusan pangan akan membuat lambungmu tenggelam.

Dalam hal pangan, kita memilih ketergantungan. Ini jalan pintas yang gampang, yang lahir dari pikiran pembuat kebijakan yang malas, yang lahir dari kepentingan jangka pendek mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Photo by Claudio Schwarz | @purzlbaum on Unsplash

Lihatlah mafia-mafia pangan yang ada di setiap tikungan mulai dari beras, bumbu-bumbuan (bawang merah, bawang putih, cabe yang diimpor senantiasa dan selalu ada kasus korupsi atau suapnya), daging, buah-buahan, dan sebagainya.

Sulit sekali para mafia ini dicabut hingga ke akar-akarnya karena merekalah yang menghidupi para politisi kita. Dan dengan uang mereka, para politisi ini berkampanye, memoles citra supaya kita pilih.

Dan kita pilih mereka lagi dan lagi. Kalau tidak dia, maka bininya, kalau tidak bininya maka anak atau mantunya. Begitulah proses politik kita.

Saya tak hendak beriklan untuk tulisan saya sendiri. Kalau Anda ingin membaca dan mengetahui kelanjutannya, silahkan datang ke perpustakaan di universitas terdekat. Saya kira mereka berlangangganan Prisma (setiap perpustakaan universitas yang baik, seyogyanya berlangganan karena Prisma majalah yang menyehatkan).

Link tulisan: PRISMA

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article