Selasa, Mei 21, 2024

Populisme Jokowi vs Populisme Prabowo

Must read

Populisme menggeliat di daratan Eropa beberapa tahun belakangan, baik itu dalam wilayah politik praktis maupun wacana.

Di Hungaria, politisi berhaluan populis Victor Urban bersama partainya menduduki kursi kekuasaan. Demikian juga di Polandia. Bahkan di Swedia, yang dikenal sebagai surga liberal Eropa, partai berhaluan populis Sweden Democrats mengantongi 17% suara dalam pemilu tahun 2018.

Sebelumnya di Inggris, Brexit muncul sebagai pemenang dalam referendum, dan kemenangan ini tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan populis di negara ini. Di negara-negara Eropa lain, perolehan suara partai berhaluan populis meningkat, ada yang tetap menjadi oposisi atau bergabung dalam koalisi pemerintahan.

Pixabay

Menurut harian Inggris The Guardian, sekitar 1 dari 4 warga Eropa jatuh hati pada populisme. Dari Eropa, gelombang populisme menjalar ke Amerika Serikat. Donald Trump yang diramalkan banyak pengamat bakal keok lawan Hillary Clinton muncul sebagai pemenang Pilpres. Salah satu faktor penyumbang kemenangan ini adalah retorika-retorika kampanye Trump yang membangkitkan sentimen populisme.

Sebelum nyerocosnya menjadi-jadi, sebenarnya apa toh populisme itu, dulur?

Ada yang bilang populisme ini sebuah ideologi, tapi yang tidak sepakat mengatakan levelnya masih di bawah ideologi dan lebih pas disebut gerakan atau strategi politik.

Saya tidak mau terjerembab dalam polemik semantik dan konsep. Sederhananya, populisme itu sebuah pandangan atau gerakan politik yang mempertentangkan “wong cilik” dengan kelompok elite atau mapan. Populisme memihak perjuangan rakyat biasa untuk melawan ketidakadilan yang diciptakan kelompok elite. Dalam pemakaiannya, pengertian populisme bisa menjadi lentur.

Kelompok elit di sini tidak mesti penguasa politik, partai politik, pemilik modal, korporasi, tapi bisa juga serikat-serikat pekerja, organisasi-organisasi regional maupun internasional.

Makanya dulur, populisme itu bisa merasuk ke ideologi kiri (left) maupun kanan (right), dan spektrum ideologi di antara kedua kutub tersebut. Jangan curiga dulu dengan kata “kiri” karena ini tidak identik dengan partai komunis. Kiri di sini dalam arti ideologi yang mengimpikan tatanan masyarakat egaliter dan kontrol negara yang kuat atas kehidupan sosial ekonomi. Sebaliknya kanan lebih percaya pada individualisme, mekanisme pasar dan peran negara yang minim.

Di Eropa, sebab-musababnya bervariasi masing-masing negara. Namun banyak pakar sepakat “krisis pengungsi Suriah” menjadi salah satu penyebab atau pemicu menguatnya populisme.

Gerakan politik ini memang selalu lahir dari rahim “krisis”, dan krisis pengungsi memberinya momentum. Oleh penganut populisme, banjir pengungsi dipersepsikan sebagai ancaman dari luar yang akan mengganggu identitas mereka, identitas Eropa, mereka menyalahkan para elite Eropa karena mengizinkan pengungsi itu membanjiri daratan Eropa.

Selain krisis pengungsi/imigrasi, ada faktor perekonomian: mereka mempersepsikan bahwa globalisasi tidak membawa manfaat bagi rakyat kebanyakan, hanya menguntungkan korporasi global.

Populisme di Eropa menjadi nampak bergemuruh karena ia bersenyawa dengan sentimen nasionalisme dan nativisme. Karenanya, para pakar sepakat, populisme di Eropa sekarang adalah populisme sayap kanan.

Di Amerika pun kurang lebih sama. Donald Trump menggelitik sentimen populis dengan memanfaatkan isu imigrasi dan keterpurukan kelas pekerja akibat ketidakberesan tatanan ekonomi global yang ada.

Presiden Indonesia (Photo: Pixabay)

Apakah gelombang populisme juga merambah Pilpres Indonesia 2019?

Pertanyaan ini sah untuk mengemuka mengingat fenomena populisme juga menular ke Brasil dan Meksiko seperti tercermin dalam pilpres mereka baru-baru ini. Di negeri Samba, populisme kanan mewujud pada sosok Jail Bolsorano yang meniru model kampanye Trump dan menang. Sementara di Meksiko, populisme kiri mengantarkan Andrez Manuel Lopez Obrador ke kursi presiden.

Populisme Jokowi

Meski tidak segemuruh di Eropa, letupan-letupan populisme sesungguhnya juga terjadi beberapa tahun menjelang Pilpres 2019.

Sosok Jokowi sendiri boleh dibilang seorang politisi yang mencuat karena gagasan dan program-programnya yang populis. Namanya mulai dikenal secara nasional ketika menjabat walikota Solo, ia melakukan kebijakan relokasi PKL dengan pendekatan populis, “nguwongke” para PKL, tidak asal gusur dengan mengerahkan polisi pamong praja.

Sejak di Solo, ia sudah ditasbihkan sebagai pejabat yang merakyat dan egaliter, yang suka blusukan menemui rakyat biasa, memperlakukan rakyat seolah seperti sederajat. Ia nampak merasa nyaman dengan persepsi pejabat populis. Apalagi partai politik tempat ia bernaung, PDIP juga dikenal partainya wong cilik. Elan populisme tetap melekat pada Jokowi saat ia menjabat Gubernur DKI.

“… pencitraan atau bukan, nampaknya akan tetap menjadi salah satu daya tarik orang untuk memilih lelaki asal Solo ini.”

Kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 pun sebenarnya juga tak lepas daya tarik populismenya, selain faktor-faktor lain tentunya. Pemilih “wong cilik” menganggap mereka mudah mengidentifikasikan diri dengan Jokowi, sementara kelas menengah ke atas, taruhlah kelompok liberal-sekuler-pluralis, mempersepsikan Jokowi sebagai politisi yang berasal dari luar lingkaran elit kekuasaan lama. Mereka berharap ia akan mendobrak struktur elit lama yang masih bercokol, baik di wilayah politik maupun ekonomi.

Selama menjadi Presiden, ia masih senang blusukan, menemui rakyat biasa di sawah atau di pasar (tentu saja ia juga menemui para pengusaha dan konglomerat di istana). Ia melancarkan program-program populis seperti stabilisasi harga-harga kebutuhan pokok, layanan kesehatan murah (meneruskan), bagi-bagi sertifikat tanah, dan kenaikan dana bantuan desa.

Populisme Jokowi tidak gemuruh, tidak lantang menunjuk musuh-musuh yang harus dilawan, tidak beroperasi dengan menciptakan ketakutan-ketakutan dan juga tidak lahir dari sebuah krisis yang masif. Ia juga tidak bersinergi dengan nasionalisme dan nativisme seperti di Eropa dan AS. Ia bukan populisme kanan tapi saya juga tidak akan mengatakan kiri. Lebih baik sebut saja populisme Jokowi.

Populisme Jokowi dalam Pilpres 2014, suka atau tidak suka, pencitraan atau bukan, nampaknya akan tetap menjadi salah satu daya tarik orang untuk memilih lelaki asal Solo ini.

Populisme Prabowo

Mungkin agak terasa kontradiktif untuk menyandingkam Prabowo dengan kata populisme karena silsilah keluarga dan politiknya.

Ia lahir dari keluarga elit politik dan ekonomi, kemudian pernah lama menjadi bagian dari elit penguasa Orde Baru. Namun populisme sesungguhnya tidak mengenal asal usul sosial, kelas, bibit, bebet dan bobot. Banyak politisi atau tokoh populis berasal dari kalangan menengah-atas atau elit politik.

Dalam konteks Pilpres 2019, sama dengan Jokowi, Prabowo juga memainkan populisme, disamping strategi politik yang lain untuk memikat pemilih.

Ketika berbicara tentang sumber daya alam, Prabowo gemar menyuntikkan sentimen populisme. Di beberapa kesempatan pidato misalnya, ia mengatakan kekayaan sumber daya alam Indonesia hanya dinikmati “segelintir” orang, bukan oleh “rakyat.” Atau, kekayaan alam itu telah dikuasai asing.

Laiknya politisi populis, ia membangun narasi krisis di era pemerintahan Jokowi, dan mengamini cerita fiksi dalam sebuah novel bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030.

Ia pun menghadirkan solusi dengan slogan “Make Indonesia Great Again” yang kemudian dianggap meniru slogan kampanye Donald Trump dalam Pilpres AS 2105 “Make America Great Again.”

Pakar Indonesia asal Australia Edward Aspinall pernah menyebut populisme Prabowo sebagai populisme oligarki yang cenderung otoritarian. Jenis populisme ini adalah populisme kanan. Tapi saya memilih menyebut populisme Prabowo saja dulur.

Dimensi lain yang juga menarik dalam Pilpres 2019 adalah mencuatnya aspirasi populisme Islam yang bergandengan dengan Prabowo. Argumen utamanya adalah umat Islam yang mayoritas terpinggirkan secara ekonomi akibat penguasaan ekonomi oleh sekelompok minoritas (warga keturunan yang juga kebetulan non Muslim).

Populisme berdasar identitas agama seperti ini bukan hal yang baru sebenarnya. Dan, barangkali akan menjadi fenomena menarik untuk melihat bagaimana hasil sinerginya dengan populisme Prabowo yang berwatak nasionalis. (Kalau ingin tahu kebih jauh tentang populisme Islam sampeyan baca saja buku karya sosiolog top Indonesia yang ngajar di Australia, Vedi R. Hadiz “Islamic Populism in Indonesia and the Midle East).

Populisme Prabowo sesungguhnya punya potensi dahsjat untuk memenangkan Pilpres 2019. Faktor-faktor subyektif yang berkembang di Indonesia beberapa tahun belakangan memberi peluang munculnya sosok populis semacam Prabowo.

Ini terlihat dari hasil survei PEW Research beberapa tahun lalu yang menunjukkan bahwa mayoritas warga Indonesia menyetujui hadirnya sosok pemimpin yang kuat dan juga sepakat untuk dipimpin oleh militer.

Kalau Prabowo cerdik mengkapitulasi kondisi subyektif itu dengan retorika-retorika lebih garang seperti Jail Bolsorano, mungkin ia bisa meniru kemenangannya di Indonesia.

Masalahnya kondisi-kondisi obyektif dulur. Berbeda dengan di Brasil, perekonomian Indonesia saat ini masih ok, tidak mengalami “krisis” masif seperti Brasil.

Pilpres masih sekitar tiga bulan lagi, dan dinamika kedua populisme tersebut tentunya masih akan berubah.

Arlington, 25 Januari 2019

Supriyono

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article