Senin, Mei 20, 2024

Seolah-olah hidup, seolah-olah bisnis…..

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: What can I contribute?

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

This worldly life is like a shadow. If you try to catch it, you will never be able to do so. If you turn your back towards it, it has no choice but to follow you.”—Ibn Qayyim Al-Jawziyya.

Ucapan Ibnu Qayyim tersebut di kalangan Muslim sering diartikan seperti ini: mengejar urusan dunia melulu, paling pol cuma dapat yang diupayakan – bahkan bisa kurang. Sedangkan bagi yang mampu meningkatkan fokus pada kepentingan akhirat, sukses dunia akan mengikuti seperti bayangan menempel kemana kita bergerak — dan, atas izin Sang Pencipta, bisa pula memperoleh kemuliaan hidup baru pasca kematian.

Sejak Plato, kemudian para pendeta, rohaniwan, guru spiritual, dan kalangan ulama umumnya mengajarkan, dunia yang kita jalani sebatas usia kita sesungguhnya hanya ilusi, tidak mewakili sepenuhnya eksistensi umat manusia. Seluruh aktivitas di Bumi sekarang ini hanya sekelebat bayangan; bukan kenyataan sebenarnya.

Sebenarnya narasi ini lebih dari sebatas tentang keyakinan orang per orang, tapi juga merupakan kebutuhan esksistensial setiap organisasi – bisnis, nonprofit, juga institusi publik.

Mengutamakan kepentingan-kepentingan jangka panjang melampai ruang dan waktu, seperti mengupayakan kemajuan teknologi untuk meningkatkan harkat umat manusia, mengembangkan penelitian yang dapat diaplikasikan untuk kepentingan publik, dst.nya, telah menghasilkan perusahaan-perusahaan berumur puluhan tahun. Bahkan ada yang 100 tahun lebih, sampai sekarang masih eksis. Melebihi usia para pendirinya.

Cerita semacam ini antara lain bisa kita simak di Built to Last, Successful Habits of Visionary Companies (Jim Collins dan Jerry I. Porras, 1994).

Di Abad 21, ketika disruption sudah menjadi realitas sehari-hari, hanya organisasi dengan mindset yang fit, memiliki kesadaran eksistensial kuat, dan berani bertransformasi, mengembangkan nilai-nilai yang memuliakan manusia – seperti menjamin psychological safety bagi karyawan, membangun hubungan indah, terbuka, dan dinamis dengan para pelanggan dan stakeholder lainnya, menghargai kreativitas tim — yang berhasil terus tumbuh. Mereka bahkan tumbuh berkali-lipat dibanding industri sejenis.

Ini yang dilakukan para start up dan perusahaan-perusahaan lama yang melakukan culture adjustment menumbuhkan start up mindset para team leader di lini-lini bisnis mereka. Banyak pula literatur tentang ini, contohnya Exponential Organizations, Why new organizations are ten times better, faster, and cheaper than yours …. (Salim Ismail, Michael S. Malone, Yuri van Geest, 2014).

Hasil riset pelbagai institusi, seperti McKinsey & Company, belakangan ini juga membuktikan keberhasilan organisasi-organisasi dengan kualifikasi tersebut di atas, memiliki life purpose mulia dan mengembangkan nilai-nilai keabadian, kepentingan akhirat (memuliakan manusia), yang juga mampu mengatasi pandemi.

Umumnya mereka bersungguh-sungguh mengembangkan existential flexibility, telah dengan cermat melakukan interpretasi ulang posisi manusia dalam bisnis dan kehidupan.

Itu merupakan proses pendakian, bahkan bisa tidak nyaman utamanya bagi para bos yang masih terjebak mindset Revolusi Industri — antara lain terbiasa memperlakukan tim sebagai “sapi perahan”, cara berkomonikasi satu arah, etc. Mereka membangun pijakan di atas buih. Golongan ini biasanya senang memuja ilusi, “mengejar bayangan”, lantas menepiskan hal-hal esensial.

Kenyataannya, para eksekutif yang perilaku kepemimpinan mereka masih dihantui ruh Revolusi Industri itu menuju kepunahan, satu demi satu tidak bertahan lama di posisi mereka.

Sebaliknya, sungguh akan lebih fun jika kita berani menukik menggali menemukan kenyataan di lapisan hidup lebih dalam, di balik ilusi dan pelbagai symptom yang tampak sehari-hari. Ini lazim diajarkan di pelbagai institusi re-edukasi untuk para eksekutif, untuk melatih mereka mengarahkan energi mengurus hal-hal yang fundamental, demi kepentingan-kepentingan jangka panjang.

Tapi sampai hari ini masih ada saja kalangan para pengambil keputusan di organisasi lebih terpaku pada symptom yang muncul setiap menghadapi tantangan perubahan. Mereka mungkin belum punya keberanian emosional melihat kenyataan di balik symptom.

Indikasinya, mereka selalu heboh, seolah-olah bekerja keras — ngurus usaha sampai mengenyampingkan kepentingan keluarga, bahkan untuk berinteraksi dengan Tuhan mereka, mereka tunda-tunda pula. Kecenderungan ini sering jadi penyebab seseorang kehilangan fokus, result pun kurang siginifikan. Seolah-olah hidup, seolah-olah menjalankan bisnis….

Bisa jadi akibat mereka selama ini mudah silau melihat ilusi dunia, dalam pergaulan bisa disebut “minder tapi sombong”, menutup diri terhadap saran dan pertimbangan untuk menemukan perspektif alternatif. Belum sanggup membangun nilai dan budaya organisasi yang dapat dijadikan pegangan menempuh pelbagai peluang di balik cakrawala.   

Kutipan dari Ibn Qayyim sebagai pembuka tulisan ini, tentang kesia-siaan kalau sekadar mengejar bayangan dunia, sesungguhnya relevan dengan satu dari lima pertanyaan mendasar Management Guru Peter Drucker: “What is our mission?” Pertanyaan lain sebagai asesmen yang tetap relevan bagi organisasi yang dikelola oleh bahkan generasi millennial atau Generation Y adalah: Who is our customer?; What does the customer value?;  What are our results?; What is our plan? (Five Most Important Questions, Enduring Wisdom for Today’s Leaders, 2015).

Siapa di antara Sampeyan tidak ingin membangun organisasi bertahan lama sampai anak-cucu, profitable dan sustainable? Atau, kalau Anda direksi BUMN dan terbiasa dipindah-pindah oleh pemegang saham, apakah tidak ingin organisasi yang Anda sempat pimpin dan tinggalkan bisa tetap thriving atau makin maju? Legacy apa yang ingin Anda wariskan?

Legacy tersebut bisa menjadi “kemegahan makam” seseorang. Berupa kontribusi berkesinambungan jauh melampaui batas umur fisik, melewati masa jabatan, yang dianugerahkan kepada kita.

Itu pilihan hidup yang diyakini dapat memuliakan. Dengan cara itu pula, kita juga bisa tidak mudah silau atas provokasi pihak-pihak yang masih menerjemahkan “kemegahan makam” dengan bangunan fisik gagah.

Sebagaimana kita lihat, ada orang-orang (utamanya dari generasi kolonial dan keluarganya, biasanya kombinasi pengusaha dan politisi) membangun kuburan mereka seperti istana mini, atau mirip balairung megah, biasanya di bukit-bukit yang mereka kuasai.

Seolah-olah di kuburan, sebagai mayat, mereka masih bisa menikmati bangunan mewah di atasnya –  mohon maaf, memang mengharukan, karena mereka seperti membawa ilusi dunia sampai ke liang kubur. Sumbangsih mereka untuk masyarakat tentunya ada, walaupun mungkin di sana-sini nyerempet wilayah abu-abu, wallahu ‘alam bish-shawabi.  

Sementara itu, tokoh-tokoh dengan legacy hebat, yang hasil rintisan, pemikiran, dan usahanya sampai hari ini masih memberikan manfaat bagi umat manusia, kebanyakan dimakamkan sederhana, di kuburan umum. Contoh paling mudah diingat, karena karya mereka kita kenali, adalah David Packard (co-founder HP) dan Steve Jobs (Apple).

Kalau boleh mengutip Peter Drucker (The Effective Executive), pertanyaan mendasar sebagai teguran kita adalah, bukan “How can I achieve?” tapi “What can I contribute?”.

Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) &Head Coach at Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
  • Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.

Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.

Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528

Please send WhatsApp to Ibu Nella for consultation opportunity: + 62 852 8053 8449

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article