Sabtu, April 27, 2024

Sisi lain Pak JO

Must read

Oleh Eddy Herwanto

3 hari sebelum majalah berita mingguan Editor dibredel, saya menemui Pak Jakob Oetama, pemimpin umum koran Kompas di kantornya. Tujuannya satu: mengkonfirmasi kemarahan Presiden Soeharto, juga Mensesneg Moerdiono, atas pemberitaan kapal perang eks Jerman Timur di Editor yang ditulis cukup mahal. Di kalangan terbatas ring satu sudah beredar kabar, Pak Harto (kepada Menteri Penerangan Harmoko) disebut menyatakan “wis cutel bae” artinya, sudah cukup, ditutup saja.

Konfirmasi kepada Pak Jakob Oetama (selanjutnya JO) diperlukan karena kedudukannya sebagai ketua pelaksana harian Dewan Pers cukup strategis – jabatan ketua (secara ex officio) dipegang menteri penerangan. Lazimnya sebelum menjatuhkan sanksi dengan mengacu kepada UU No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pers, menteri akan mendengarkan suara atau mengundang rapat Dewan Pers.

Nyawa organisasi perusahaan pers pada akhirnya kemudian ditentukan oleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diberikan pemerintah setelah regulasi itu direvisi dengan UU No.21 tahun 1982. SIT (Surat Izin Terbit) karenanya tidak lagi dianggap mencukupi. Jika dianggap melanggar (kepentingan rezim Orde Baru qq Suharto), SIUPP bisa dicabut. Namun jarang ada penerbitan pers yang dianggap melanggar rambu Orba dipidana atau dipenjarakan pengurusnya seperti diatur dalam Pasal 17 UU No.21 tahun 1982 itu.

AIRSPACE REVIEW

Jadi posisi Pak JO strategis. Tapi, seperti pada setiap tulisannya di ‘Tajuk Rencana’ Kompas, tidak ada kalimat eksplesit muncul setiap saya mencoba memperoleh komfirmasi dalam pertemuan itu. Ia seperti priyayi Jogja yang suka ewuh pekewuh. Ia seperti menimbang akibat dari setiap perkataannya kepada tamunya yang berusaha memperoleh berita atas kelanjutan usaha penerbitannya. Dia paham untuk membangun organisasi pers yang sehat dibutuhkan banyak cucuran air mata dan keringat.

Pak JO mungkin sudah tahu: Menteri Penerangan Harmoko tanpa perlu mengundang rapat Dewan Pers sudah membuat keputusan untuk mencabut SIUPP majalah berita mingguan Editor, juga Tempo dan tabloid Detik. Bukankah Pak Harto sudah bilang “cutel”? Tanggal 21 Juni 1994 ketiganya benar dihabisi.

Itulah pertemuan terakhir dengan Pak JO, Indonesian’ Press Baron (kata Rosihan Anwar), yang wafat pada 9 September 2020 – beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke 89. Kesan saya dari beberapa kali bertemu, Pak JO seorang senior yang rendah hati, dan mau mendengar pandangan dan pendapat dari wartawan ingusan. Tapi tidak berarti sebagai seorang patriach Kompas, Pak JO terhindar dari problem organisasi internal.

Beberapa tahun sebelum pertemuan Juni 1994 itu, sekretaris Pak JO menelepon, dan memberitahu keinginan Pak JO untuk mengundang makan siang di Restoran Bengawan Solo, Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Kebetulan, saya juga akan mengucapkan terima kasih atas surat rekomendasinya kepada Departemen Penerangan agar saya bisa diterima sebagai pemimpin umum Editor seperti disyaratkan UU No.21 tahun 1982.

Apa kabar mas? Tanya Pak JO muncul dari lobi, rambutnya gondrong dengan helai-helai hitam putih, senyumnya tetap khas Jawa. Kami membuka percakapan dengan kerisauan cukup dalam karena hampir setiap pekan setelah majalah terbit, saya dipanggil ke Markas Besar ABRI di Jalan Medan Merdeka Barat. Kadang ke Cilangkap. Seorang kolonel menginterogasi yang jika kalah argumentasi mengenai pemberitaan, ngototnya seperti kopral.

Pak JO menasihati agar kita selalu berusaha di tengah, dan pandai menjaga jarak yang sama, equidistance (antara pemerintah dan kelompok kritis). Di sela sela menyantap soto ayam, Pak JO meminta pandangan saya mengenai siapa wartawan Kompas (senior) yang dianggap pas menduduki jabatan sebagai pemimpin redaksi Kompas. Kata Pak JO, secara berangsur dia akan mengurangi ‘campur tangannya’ di ruang redaksi. Dia ingin ada kader yang bisa menggantikan perannya.

Pak JO tidak mengatakan ia lelah menghadapi tekanan penguasa Orba, dan harus bermuka manis dalam setiap diundang jamuan makan siang atau makan malam. Dia tidak ingin menghindar. Awal tahun 1990-an itu, beredar gosip Pak Harto melalui salah satu anaknya atau menteri kesayangannya akan mengambil sebagian atau bahkan mayoritas saham Kompas untuk menjinakkan pemberitaannya. Tidak ingin mengganggu fokus obrolan, gosip di ruang terbatas itu tidak saya konfirmasi.

Pak JO lalu menyebut seorang wartawan senior yang ikut membangun Kompas sejak berkantor di sebuah lorong gedung di Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta Kota. Ia dekat dengan kalangan istana, dan setahu saya lobinya ke markas ABRI juga bagus. Tapi dia berjarak dengan kelompok kritis. Dia suka menyelenggarakan pesta. Dia memang flamboyan. Karena suka outward looking, kakinya di redaksi kurang menancap dalam.

Pak JO mengangguk angguk. Ia lalu menyebut dua nama lagi. Setiap kali saya mengurai pandangan, dia mendengarkannya dengan baik-baik, sesekali mengangguk. Lama lama saya merasa kikuk karena nama-nama yang disebut Pak Jakob adalah wartawan Kompas yang saya kenal. Beda usia saya dengan Pak Jakob 22 tahun. Saat beliau mulai membangun Kompas, saya baru lulus SMA. Bukankah pada usia 60-an tahun, Pak JO punya penilaian lebih lengkap para wartawannya, bukan saya yang melihat dari jauh, dan tidak intens?

Kepada beliau saya memohon maaf, jika pandangan saya kurang berkenan karena pengalaman mengelola majalah ibaratnya baru seumur jagung. Beberapa waktu kemudian nama-nama wartawan yang pernah kami diskusikan tidak diangkat sebagai pemimpin redaksi. Ia memilih wartawan berlatar belakang yang tidak dekat dengan istana juga tidak dekat dengan Cilangkap. Teman ini juga dianggap tidak memiliki potensi konflik di dalam organisasi.

Regenerasi dilakukan tentu dengan harapan Kompas bisa terus melampaui usia 75 tahun dan memasuki banyak bidang usaha, selain penerbitan pers. Pak JO bukan saja wartawan andal, tapi juga terbukti seorang wirausahawan tangguh. Selamat beristirahat Pak JO.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article