Senin, Mei 6, 2024

Visi aktualisasi Pancasila

Must read

Mengapa hal itu terjadi? Karena kita tidak bisa belajar dari sisi-sisi baik masa lalu. Bahwa masa lalu itu sesungguhnya tak pernah sepenuhnya terang dan tak pernah sepenuhnya gelap. Kita harus bisa mempertahankan yang terang dan menyingkirkan yang gelap.

Akan tetapi, dalam bayangan arus besar bangsa Indonesia, masa lalu itu senantiasa membersitkan ingatan pedih yang tak bisa dilampau, dengan risiko mengulanginya.

Sebuah bangsa yang tidak bisa melihat sisi-sisi terang dari masa lalu tidak memiliki jangkar untuk menambatkan visi masa depan. Memang benar, tak ada seorang pun yang bisa mengantisipasi segala sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Akan tetapi, memprediksi kemungkinan yang terjadi di masa depan lebih baik daripada tidak mempersiapkannya sama sekali. Untuk itu, pengetahuan tentang masa lalu dapat membantu memahami masa depan.

Tanpa menyadari masa lalu, perjalanan ke depan ibarat memasuki lorong sunyi kekelaman. Amnesia merupakan kemalangan ketidaktahuan dalam kesunyian.

Akan tetapi pengalaman masa lalu dan kemungkinan mengekstrapolasikannya ke masa depan adalah suatu penziarahan kompleksitas tak bertepi. Maka, kepemimpinan, sebagaimana diingatkan oleh Sun Tzu, harus mampu melihat simplisitas dalam kompleksitas. Dari kompleksitas pengalaman masa lalu, pemimpin harus bisa menemukan prinsip-prinsip utamanya, yang dengan itu, perjalanan ke masa depan memilik tambatan; kompas untuk mengarungi kegelapan.

Dalam kaitan ini, Sun Tzu memberi contoh: dari sekian banyak kemungkinan melodi musik, secara prinsip bermula dari lima not (pentatonik); dari sekian banyak kemungkinan mosaik warna, secara prinsip bisa dikembalikan ke lima warna dasar; dari sekian banyak kemungkinan citarasa, secara prinsip bisa ditarik ke lima rasa dasar. Lima adalah dasar simplisitas dari kompleksitas pengalaman. Lima prinsip itu bisa menjadi check list untuk mengantisipasi masa depan.

Prinsip-prinsip tidak bisa dipungut sembarangan, melainkan harus disuling dari pengalaman hidup bersama di masa lalu. Itu sebabnya, mengapa prinsip dan tata kelola negara tidak bisa sekadar dikopi paste dari pengalaman bangsa lain.

Pada musim semi tahun 1990, sekitar dua lusin ahli konstitusi, hukum dan hakim dari dunia Barat berkumpul di Praha dalam rangka membantu pembuatan draft konstitusi baru bagi negara-negara Eropa Timur dengan memasukan nilai-nilai dan tata kelola yang berlaku di dunia Barat.

Akan tetapi, tanpa pemahaman terhadap kompleksitas struktur sosial dan pengalaman belajar sosial dari masyarakat yang bersangkutan, instalasi tata kelola baru itu terbukti tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Berdasarkan pengalaman tersebut Clayton M. Christenson (2019) menyimpulkan bahwa “Institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan. Maka dari itu, membangun institusi yang kuat tidaklah sesederhana “mengekspor” apa yang bisa berjalan di suatu tempat ke tempat lain.”

Dengan kata lain, menemukan prinsip sebagai tambatan visi ke depan, harus merupakan intisari dari budaya masyarakat. Budaya dalam pengertian ini, sebagaimana didefiniskan oleh profesor MIT, Edgar Schein (1988), adalah: “Cara bekerja sama menuju tujuan bersama yang telah terbukti berhasil dan diikuti secara berulang oleh masyarakat, yang membuat banyak orang bahkan tidak terpikir untuk mencoba cara lain.”

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article