Rabu, Mei 22, 2024

Akankah terjadi majelis kesia-siaan?

Must read

Lebih dari manipulasi pemilu, perilaku para petualang politik itu susungguhnya telah menurunkan derajat umat manusia dipaksa menjalani hidup seperti di abad-abad silam.

Ketika pembayar pajak tidak punya peluang memilih siapa kepala negara mereka, karena sudah ada raja, kaisar, tsar, atau para tiran – di Abad XX misalmya, ada Stalin, Hitler, Mao, dstnya. Rakyat diintimidasi atau dihukum jika berkehendak beda dengan penguasa.

Di barisan yang melawan perilaku buruk itu, nyaris semua yang tampil dalam percaturan intelektual di podcast atau talk-show, pewawancara atau nara sumbernya, adalah para pakar dan praktisi di bidang masing-masing dengan reputasi teruji. Seperti Abraham Samad, Najwa Sihab, Bambang Widjojanto, Prof. Ikrar Nusa Bakti, Eep Saefullah Fatah, Effendi Gazali, dst.nya.

Dalam persepsi publik mereka itu leaders di profesi masing-masing. Mereka, bersama para pendukung demokrasi di kampus-kampus dan kalangan yang sepaham lainnya, diasumsikan dapat dipercaya bisa melihat dengan jernih di tengah kecamuk kehidupan berbangsa saat ini, a constant eye in the storm – dari Lifestorming, buku Alan Weiss dan Marshall Goldsmith (2017).

Atau, bahasa lokalnya, mereka itu para “penjaga kewarasan” (pinjam istilah Bambang Widjojanto) di tengah kegilaan percumbuan intens kekuasaan dan uang, politisi dan konglomerat, oligarki dan dinasti, manipulasi dan hedonisme.

Namun, keramaian omongan yang berdasarkan fakta dan bukti-bukti tersebut dikhawatirkan akan berputar sekadar sebagai diskursus publik.

Rentetan pertukaran kecerdasan yang disertai niat baik pentingnya menjaga kewarasan dan membangun demokrasi yang sehat tersebut akankah dibiarkan jadi majelis kesia-siaan? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), salah satu arti majelis adalah pertemuan (kumpulan) orang banyak; rapat; kerapatan; sidang. Inertia juga bisa mencegat orang-orang pintar dan berbudi baik.

Dua kemungkinan yang menyebabkan dinamika pertukaran niat baik dan kecerdasan tersebut berpotensi jadi majelis kesia-siaan.

Pertama, pihak-pihak yang terbukti melanggar keadaban dan merusak demokrasi tidak peduli, ndableg. Atau para politisi dadakan tersebut belum mampu mencerna apa itu etika, moralitas dalam politik, adab berbangsa – mind-set mereka dagang yang manipulatif, tingkat pendidikan formalnya malah ada yang dipertanyakan, dan masuk arena politik dengan niat, indikasinya, hanya untuk meraih jabatan publik dan kekuasaan yang menyertainya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article