Minggu, April 28, 2024

Janji Gubernur: dengan 5.000 bisa ke mana saja

Must read

Oleh Eddy Herwanto

Hampir dua tahun, Anies Baswedan menjabat gubernur DKI Jakarta. Dua belas janji disuarakan Anis dan Sandiago Uno (sebagai calon wakil gubernur) memikat warga agar memilih keduanya untuk memimpin Jakarta. Salah satu janji yang diharapkan adalah dengan Rp5.000 bisa keliling Jakarta. “Kami akan membuatnya Rp 5.000 dari mana ke mana saja, realistis. Ini janji saya,” katanya dalam suatu kampanye 24 Desember 2016.

Anies prihatin karena pengeluaran biaya transportasi warga Jakarta mencapai 30% dari penghasilan mereka. Ia berjanji akan menerapkan tarip angkutan flat (satu harga) untuk semua mode transportasi (yang dikelola pemprov DKI Jakarta) – kecuali untuk angkutan Moda Raya Terpadu (MRT) dan KRL. Tarip flat itu akan berjalan karena moda angkutan bis TransJakarta, angkot anggota Jaklingko, dan LRT (Light Rail Transportation) sudah (dan akan) terintegrasi. 

Unit tap in di atas dashboard Jaklingko

Menurut Gubernur Anies Baswedan, saat ini angkutan umum baru bisa menjangkau 68 persen warga. Warga juga enggan menjangkau angkutan umum itu karena jarak antara rumah ke halte rata-rata berkisar 1 km. Gubernur Anies ingin, secara bertahap, jarak antara rumah ke halte angkutan umum menjadi lebih dekat, yakni sekitar 500 m, “dengan memperluas jangkauan angkutan umum hingga 95 persen”.

Manis dalam janji, namun pahit dalam realisasi. Perluasan masih berupa angin surga. Yang baru dilakukan adalah menggantikan kendaraan tua Metro Mini dengan bis besar MetroTrans untuk mengisi rute lama – Ragunan-Blok M lewat Kemang misalnya. Mayoritas armada Jaklingko masih memakai armada lama, tanpa AC. Baru pada 17 Juli 2019, TransJakarta meluncurkan 8 (delapan) Jaklingko dengan AC untuk rute Tanah Abang-Kota.

Hampir dua tahun berlalu, janji Gubernur Anies dengan Rp.5.000 dari mana bisa ke mana saja, rasanya masih jauh panggang dari api. Warga masih harus beberapa kali pindah antarmoda angkutan umum sehingga ongkos transportasi mereka tetap lebih dari Rp.5.000 sekali perjalanan. Armada Jaklingko tidak semuanya menjadi feeder MRT, bis TransJakarta, atau KRL. Pindah dari Jaklingko ke MetroTrans atau bis TransJakarta harus bayar lagi.

Pintu Stasiun MRT Lebak Bulus

Warga tetap diminta bersabar. Janjinya dengan tarip flat Rp5.000 itu, pengeluaran warga untuk transportasi diharapkan bisa ditekan hingga 15%. Janji memang sering menggiurkan para pemilik suara, tapi tidak mudah direalisasikan di lapangan. Sebut saja untuk mencapai stasiun MRT di Lebak Bulus/Fatmawati, warga minimal harus menggunakan tiga moda: angkot umum, angkot Jaklingko disambung dengan bis MetroTrans/TransJakarta. Dua kali tap in dengan kartu debit, pengeluaran sudah Rp7.000 untuk menjangkau stasiun MRT (Rp3.500 tap in Jaklingko dan Rp3.500 gosok mesin EDC MetroTrans/Damri).

Namun pengeluaran akan bertambah, jika untuk menjangkau Jaklingko atau MetroTrans/ Jakarta, warga menggunakan angkot nonJaklingko atau motor ojek online. Jadi hingga memasuki semester kedua tahun 2019, pengeluaran transportasi warga Jakarta tetap belum bisa dihemat. Apalagi usaha mengintegrasikan pelbagai moda angkutan umum di Jakarta terlihat berjalan lamban. Jaklingko sebagai feeder untuk bis TransJakarta atau MRT/ LRT/ KRL belum menjangkau semua rute pemukiman warga.  

Gubernur Anies Baswedan semoga menyadari lambatnya implementasi perbaikan angkutan umum. Moda angkutan umum dan jumlah armada bertambah, pemukiman warga makin luas, tapi rute angkutan umum tidak berubah. Aneh, rute selalu menuju ke pasar dari pemukiman warga (dari pemukiman di Jagakarsa/Ciganjur ke Pasar Minggu) sudah 25 tahun; bukan ke titik betemunya antarmoda (antara bis TransJakarta dengan stasiun MRT/KRL misalnya)

Mengesalkan, karena situasi itu menyebabkan warga harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk pindah moda angkutan umum di tengah kesemrawutan lalu lintas, terminal bis, atau pasar.  Gubernur Anies memang sudah menyadari sejak tahun 1990, trayek angkutan umum tidak mengalami perubahan. Semestinya para pejabat dinas yang mengurusi trayek angkutan umum lebih banyak ke lapangan melihat dinamika kebutuhan transportasi warga.

Transaksi nontunai (EDC) di bis MetroTrans/Damri

Pengaturan rute baru, atau reroute karenanya diperlukan; tidak cukup dengan menambah armada. Targetnya pada akhir 2019 sejumlah 1.441 angkot yang dimiliki 10 operator akan bergabung di bawah bendera Jaklingko, sedang untuk TransJakarta sudah 3.425 bis yang menjangkau hingga daerah periferi Tangerang Selatan, Depok, dan Cibubur (Bekasi). Namun sampai April baru 815 angkot yang bergabung. Kini setiap hari armada Jaklingko sudah bisa melayani antara 60.000 – 65.000 penumpang. 

Sementara itu sampai Februari silam, TransJakarta tiap hari sudah mengoperasikan 1.300 bis yang melayani 13 koridor, 113 rute, dan 5 rute untuk integrasi dengan angkot Jaklingko. Prestasi pertama diraih TransJakarta saat pada 28 Februari 2019 bisa mengangkut 501.389 penumpang.

Jika rute lebih baik, dan lebih luas, maka subsidi Pemprov DKI untuk transportasi pada 2019 yang Rp3,2 triliun, insya Allah, akan terserap dan efektif pemakaiannya. Karena armada belum cukup dan rute masih berantakan, subsidi Rp3,2 triliun yang disediakan pada 2018, hanya terserap Rp2,8 triliun.Sayang. Di samping pengaturan rute, unit untuk mendebet rekening (tap in) penumpang di dashboard armada Jaklingko juga perlu lebih handal.

Maklum gara gara sering restart kartu debit milik penumpang sering gagal didebet, maka hilang pula kesempatan PT TransJakarta memperoleh penerimaan. Agak aneh jika penumpang Jaklingko akan pindah ke bis MetroTrans atau TransJakarta, mereka tetap harus mengeluarkan uang kembali (nontunai). Begitu juga sebaliknya. 

Singkat cerita, belum ada kartu debit multi trip untuk multi moda yang memudahkan warga berpindah moda tanpa berkali-kali merogoh dompet. Jalan ke arah integrasi ke angkutan antarmoda, dengan KRL misalnya, bahkan masih akan lebih panjang, dan menyangkut birokrasi yang ruwet. TransJakarta dan MRT dikelola Pemprov DKI, KRL dikelola PT KAI (pemerintah pusat). Masing-masing jalan sendiri.  

Muncul kesan progam Pemprov DKI Jakarta kurang terintegrasi dengan program Pemerintah Pusat. Untuk mengurangi biaya transportasi dan mengatasi kemacetan, Pusat menyelenggarakan moda transportasi berbasis rel (KRL) bersubsidi, dan membangun apartemen di sejumlah stasiun: Tanjung Barat, Pondok Cina, dan Pondok Betung (Tangerang Selatan) dalam konsep Transit Oriented Development (TOD). Sedang Pemprov DKI dengan armada  TransJakarta, membangun apartemen DP 0 rupiah.

Untuk KRL dan kereta api jarak jauh, Pusat menyediakan subsidi dalam bentuk Public Service Obligation (PSO). Untuk seluruh kereta KAI pada 2019 disediakan PSO Rp2,37 triliun, sedang untuk PSO KRL Rp1,3 triliun. Dana PSO KRL sebesar itu diharapkan mencukupi untuk mensubsidi 1,2 juta penumpang/hari pada 2019. Dengan PSO sebesar ini, pengeluaran mayoritas pengguna KRL dari luar Jakarta bisa lebih dihemat.

Jika program Pemprov DKI dan Pusat di bidang transportasi untuk warga diintegrasikan dan disinkronisasi, maka hidup warga untuk menjangkau pelbagai tujuan akan lebih mudah dan nyaman. Tantangan Gubernur Anies mewujudkan janji kampanyenya: dengan Rp 5.000 dari mana bisa ke mana saja di Jakarta. 

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article