Rabu, Mei 22, 2024

Madat kekuasaan dan tragedi dinasti

Must read

Pengalamannya di pemerintahan sangat sedikit, dalam berpolitik terbukti lemah, jadi pemimpin lebih banyak dilanda kebingungan, percaya pada tahyul. Pada masa pemerintahannya Rusia sering dilanda pergolakan sosial. Para menteri kurang mempercayai Nicholas, yang tindakan-tindakannya dianggap memicu konflik dengan Jepang. Kekalahan dalam Perang Rusia – Jepang (1904 – 1905) memperburuk keadaan. Sementara itu gerakan perlawanan di dalam negeri bertambah kuat, menjadi revolusi. Ia kemudian dimakzulkan.

Pada akhirnya Nicholas II sadar, kekuasaannya ternyata tinggal sebatas istana, tempatnya selama ini berlindung dari realitas. Situasinya mirip seperti Pu Yi, yang di ujung kekaisarannya baru menyadari kekuasaannya hanya seluas Kota Terlarang, di buku turis disebut Forbidden City, kawasan istana para kaisar.

Para pemegang tahta berdasarkan dinasti tersebut, Pu Yi dan Nicholas II, kemudian bernasib mirip: diusir dari istana kekaisaran mereka. Bahkan Nicholas II dan keluarganya diriwayatkan semua ditembak mati oleh kaum Bolshevik.   

Mereka telah jadi liability bagi bangsa yang menginginkan kemerdekaan, lepas dari tekanan dan penyimpangan akal sehat, bebas dari dampak penjungkirbalikan hukum tata negara oleh keluarga pemegang kekuasaan.      

Untuk menambah perspektif melihat situasi sekarang, selain perlu menyimak kembali akhir kekaisaran Dinasti Qing dan kehancuran Nicholas II sebagai Tsar Rusia terakhir, baik juga membaca How to Be A Dictator, The Cult of Personality in the Twentieth Century (2019), buku Frank Dikotter, Chair Professor of Humanities di University of Hong Kong dan Senior Fellow Hoover Institution. 

How to Be A Dictator ditulis berdasarkan riset mendalam tentang Mussolini, Hitler, Stalin, Mao Zedong, Kim Il-sung, Duvalier, Ceausescu, dan Mengistu.

Kita boleh berbeda pendapat atau bisa setuju dengan Frank Dikotter yang dalam kata penutup bukunya antara lain menuliskan, lebih dari satu dasawarsa ini demokrasi telah dilemahkan di banyak tempat di dunia, sementara tingkat kebebasan mundur ke balik layar demokrasi parlementer yang demikian terkungkung. Sudah terkooptasi oleh kepentingan nafsu sesaat.

Tabiat pemerintahan otoriter di mana-mana mirip, maunya mengendalikan proses pengambilan keputusan di eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Walaupun tidak terucapkan, perilaku politik masing-masing seperti mendeklarasikan “L’Etat, c’est moi” — “saya adalah negara”.

Mereka terus nambah kekuatan untuk melindungi kekuasaan yang sudah mereka peroleh – plus menjaga kepentingan bisnis keluarga dan para kroni. Mereka terjebak dalam kefanaan yang menggiurkan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article