Rabu, Mei 1, 2024

Prajurit TNI Patriot

Must read

Oleh Ir. KPH. Adipati, Bagas Pujilaksono Widyakanigara Hamengkunegara, M. Sc., Lic. Eng., Ph.D., Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Seniman/Budayawan Yogyakarta

Di saat saya kelas 3 IPA SMA Negeri 3 Padmanaba, Yogyakarta, tahun 1984, saya bercita-cita masuk AKABRI. Sayangnya, impian itu harus kandas, karena saya memakai kacamata minus 7 kanan kiri silindris.

Jika saja, saya berhasil masuk AKABRI tahun 1984, pasti saya akan lebih TNI dari TNI. Meminjam istilah oknum Capres di debat Capres Pilpres 2019.

Di era reformasi 1998, banyak aktivis yang menghujat TNI, yang kala itu bernama ABRI, salah utamanya karena Dwifungsi ABRI. Hati saya sedih, mengapa TNI harus dihujat? TNI adalah alat negara.

Perubahan paradigma TNI sebagai alat negera, pasca reformasi, butuh waktu panjang. TNI yang ramping, dan berdaya guna, dengan dukungan alutsista moderen, adalah kondisi ideal yang harus dicapai kedepan.

TNI dari rakyat dan untuk rakyat. Mari kita lihat kembali sejarah lahir dan perkembangan TNI.

Hanya ada satu politik bagi TNI, yaitu Politik Negara.

TNI dan Polri adalah alat negara, yang bergerak di ranah yang berbeda. Polri di ranah Kamtibmas dan Penegakan Hukum, sedang TNI di ranah Pertahanan Negara.

Rakyat bukan musuh TNI. TNI dari rakyat dan untuk rakyat.

Kasus penganiayaan oknum-oknum TNI terhadap beberapa Relawan Ganjar-Mahfud di Boyolali, beberapa waktu yang lalu, adalah perbuatan sadis dan biadab, yang jelas telah mencoreng citra TNI.

Saya jadi ingat kejadian blunder yang menghina orang Boyolali di Pilpres 2019, dengan munculnya istilah Tampang Boyolali. Sebuah penghinaan yang berlebihan dan tak berdasar sama sekali.

Terhadap oknum-oknum TNI yang menganiaya beberapa Relawan Ganjar-Mahfud, saya tidak melihat jiwa patriotnya sama sekali. Mengeroyok, menghajar dan menganiaya Relawan Ganjar-Mahfud yang sedang berkampanye, bukanlah jiwa patriot, namun jiwa preman.

Saya memohon kepada Yth. KSAD, Jenderal TNI AD, Maruli Simanjuntak, untuk menindak tegas oknum-oknum prajurit TNI tersebut. Proses hukum militer, pecat dan penjarakan.

Kasus ini sangat memalukan, dan mencoreng citra TNI. Tidak boleh terulang lagi.

Saya sepakat dan mendukung para keluarga korban: tidak ada kata maaf dan proses hukum seadil-adilnya.

Penertiban kampanye di jalanan, yang mungkin dan bisa mengganngu kertertiban umum adalah kewenengan Polri bukan TNI.

Saya sepakat, kedepan arak-arakan kampanye dengan kendaraan bermotor, harus ditertibkan, termasuk larangan knalpot diblombong, karena sangat membisingkan. Ditertibkan, bukan dihajar, dan dianiaya.

Namun, yang membuat bising atau sember kebisingan di tengah masyarakat, bukan hanya dari suara knalpot yang diblombong. Ada sumber suara lain yang sangat membisingkan, namun sumber bisingnya tidak pernah dihajar dan dianiaya oleh oknum aparat TNI.

Kesan saya, saat ini, kekerasan fisik adalah sebuah solusi. Memalukan dan menjijikkan sekali. Kembali ke jaman jahiliah. Tampar, cekik, culik dan bunuh. Mengerikan sekali. Ini tontonan yang tidak sehat bagi generasi muda Indonesia.

Pendekatan persuasif dengan dialog yang humanis, adalah solusi yang sesungguhnya dan bermartabat.

Jangan lupa, kita bangsa Indonesia, punya sejarah yang sangat kelam, dan gelap gulita, dimana terjadi sebuah Tragedi Kemanusiaan, dan konyolnya Negara tidak hadir. Yaitu, tragedi 1965. Jangan pernah terulang lagi.

Saya percaya Pimpinan TNI mampu menuntaskan kasus Boyolali dengan mengedepankan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.

TNI dari rakyat dan untuk rakyat. Merdeka. Terimakasih.

Yogyakarta, 2024-01-01
BPW. Hamengkunegara

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article