Selasa, Mei 21, 2024

Presiden sukses tapi kalap, lantas mungkar?

Must read

Di ekonomi dan bisnis, optimisme kelewat batas pada I will succeed bisa kita lihat potretnya pada proyek-proyek besar yang diragukan benefitnya bagi stakeholders, bahkan mangkrak, merugikan keuangan.

Orang sukses memang bisa kalap. Utamanya saat ngotot berdasarkan takhyulnya (delusional optimism) ingin meraih keberhasilan berikutnya tanpa etika dan moral.

Mereka cenderung meremehkan pertimbangan dan keprihatinan (saran) dari orang-orang lain yang suksesnya – dan hartanya — tidak selevel dengan diri mereka. Kalau bisa bahasa Prancis, si presiden atau bos, yang merasa selalu benar, akan bilang “L’enfer, c’est les autres, ” “Hell is others” – ini kata filsuf Jean-Paul Sartre.   

Di lingkungan politik atau bisnis, setiap orang yang berhasil naik ke puncak kekuasaan atau tangga karir sangat rentan tergelincir, bisa menjadi seperti manusia yang kehilangan daya pikir. Mereka bisa terkena leadership blind spot.

Perilaku para pemegang kekuasaan (politik dan bisnis) yang tersambar leadership blind spot dan mengalami success delusions, mudah sekali terjerumus jadi bersikap otoriter. Delusi adalah keyakinan kuat seseorang (atas suatu hal) yang sesungguhnya bertentangan dengan realitas.

Keberhasilan seseorang di bidang tertentu memang tidak dapat dijadikan landasan penentuan kebenaran, apalagi untuk mengubah undang-undang.

Dalam penyelenggaraan negara itu bisa menimbulkan malapetaka. Seseorang bisa bersikap “L’Etat, c’est moi”, “Negara itu ya saya”, seperti di Prancis Abad XVI saat dibawah kekuasaan monarki absolut Louis XIV.

Pemusatan kekuasaan pada diri kepala pemerintahan cenderung melahirkan para diktator. Pada tahun-tahun awalnya bisa saja mereka dianggap masuk golongan manusia sukses. Misalnya berhasil mengubah lanskap sosial, politik, dan ekonomi seolah-olah sesuai dengan aspirasi publik.

Perkembangannya kemudian, saat kekuasaan sudah berlangsung lama, pujian bertaburan, dan banyak orang di sekelilingnya perlu cantolan hidup, terjadi kultus individu.

Frank Dikotter, teman saya waktu di Taiwan sebagai sesama mahasiswa asing yang belakangan jadi Chair Professor of Humanities di University of Hong Kong, punya gambarannya.

Frank antara lain menyebutkan, para diktator yang dikelilingi pemujaan diri hanyut memasuki dunia mereka sendiri dan delusi itu mendapatkan pengesahan dari barisan pengikut mereka. Keputusan-keputusan besar mereka kendalikan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article