Selasa, Mei 7, 2024

Sehat mental untuk Kartini masa kini

Must read

Indonesia masih dinilai dari ketercapaiannya untuk membangun rumah tangga dan melahirkan turunan. Ini pun menjadi beban ganda yang harus diampu perempuan, merintis karir dan mengurus rumah. Apakah ini yang dicita-citakan oleh Kartini untuk perempuan Indonesia? 

Penyimpangan Sosial Positif 

Dimulai dari pertanyaan sederhana yang kerap dilontarkan pada sebagian besar perempuan yang belum berumah tangga: “Kapan menikah?” yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa pernyataan atau pertanyaan lanjutan seperti: “Kamu sih sekolahnya ketinggian, jadi para laki-laki takut sama kamu!” “Jangan kerja terus, tuh lihat si A yang seumuranmu sudah gendong anak” “Kasian lho ortumu kalau kamu ga nikah-nikah!” dan masih banyak lagi.

Kalimat-kalimat ini merupakan cerminan tuntutan sosial budaya pada kaum perempuan, bahwa karir dan pendidikan yang tinggi belum sempurna tanpa adanya rumah tangga. Studi sosiologi menggolongkan perempuan yang bekerja, maupun yang memiliki posisi karir yang strategis sebagai penyimpangan sosial positif.

Dianggap sebagai penyimpangan karena perilaku tersebut dianggap menyimpang dari aturan, nilai, maupun norma yang berlaku dalam masyarakat, namun masih memiliki dampak positif terhadap diri sendiri maupun tatanan masyarakat (Hisyam & Hamid, 2015; Wardani, 2018). 

Meskipun sudah banyak perempuan Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi, memiliki jejang karir yang bagus, dan memiliki posisi strategis dalam karirnya, perjuangan mereka tidak hanya untuk mencapai hal-hal tersebut, namun juga perjuangan melawan ekspektasi masyarakat dan stigma yang ada. Pernahkah terpikir apa imbasnya ke kesehatan mental mereka? 

Perempuan Penggagas HatiPlong 

HatiPlong merupakan layanan kesehatan mental online yang didirikan oleh dua perempuan Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negri. Farah Djalal merupakan co-founder HatiPlong yang mengenyam pendidikan Psikologi hingga S3 di Leuven, Belgia, sedangkan Jeannette Setiawan menempuh pendidikan sebagai Psikolog pernikahan dan keluarga di California, USA.

Usaha yang didirikan oleh kedua perempuan ini untuk menyediakan layanan konsultasi psikologis terbaik, juga diawali oleh usaha melawan stigma yang ada mengenai peran mereka sebagai perempuan.

Memiliki pendidikan yang tinggi bagi Farah, juga disertai konsekuensi dari lingkungan sekitar mengenai pilihannya untuk mengerjar gelar Doktor. Tidak sedikit ucapan-ucapan yang ditujukan untuk mengingatkan Farah akan peran perempuan, ‘Jangan sekolah ketinggian, nanti laki-laki takut’, merupakan salah satu kalimat yang sering dilontarkan padanya.

Menurut Farah, jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, terus menerus dihadapi oleh tuntutan sosial yang tidak sesuai dengan nilai dirinya, maka dapat berimbas pada kesehatan mental mereka.

“Saya tahu apa yang saya mau, makanya saya rencanakan hidup saya untuk mencapai itu (sekolah hingga S3). Namun saya juga tahu, bahwa it comes with a price!” ujar Farah.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article