Selasa, Mei 7, 2024

Uang dan Keserakahan

Must read

Hal lain. Risiko tinggi jelas pada pelaku ojol bukan di Nadiem, yang hingga hari ini masih rutin digaji negara. Risiko reputasi, kesehatan, keselamatan, waktu… Mereka bekerja tanpa ikatan ketenagakerjaan sesuai UU karena berstatus mitra. Mereka juga menanggung beban membayar angsuran kendaraan, membayar polis asuransi, bunga leasing, suku cadang. Di mana mereka membeli semua itu?

Di perusahaan otomotif yang juga menjadi pemegang saham GoTo. Dari mana mereka mencetak untung? Dari exit melalui pasar modal atau aksi korporasi lain dan pengembangan bisnis seperti bank digital. Rantai bisnis semacam ini yang disukai Jokowi padahal jika melihat di China saja, keadaan sudah berubah. Didi Chuxing justru dibatasi.

Di Indonesia, BUMN Telkomsel malah suntik Rp 6,4 triliun ke GoTo. Di mana di dalam GoTo saat ini, Boy Thohir sudah menggenggam 1 miliaran lembar saham yang ia beli di harga Rp 1. Jika harga IPO Rp 1.000, berarti Boy Thohir bertambah kekayaannya Rp1 triliun.

Itulah mengapa sorotan terhadap Kaesang sangat beralasan. Ia salah satu pintu masuk pelestarian model bisnis itu melalui GK Hebat. Tak selalu hukum formal bisa menjerat apalagi bapaknya masih berkuasa, tapi nuansa ‘nepotisme dan kroniisme’ sangat mudah diendus.

Di situlah celah melakukan lobi untuk urusan-urusan lain yang artinya pelanggengan terhadap monopoli sumberdaya ekonomi dan politik negara.

Cerita di atas ringkasnya adalah soal kemiskinan struktural yang, menurut Selo Soemardjan, adalah kemiskinan yang dialami oleh suatu golongan masyarakat karena suatu struktur sosial masyarakat yang tidak bisa ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Itulah yang membuat mobilisasi vertikal tidak terjadi (miskin tetap miskin) dan ketergantungan yang miskin terhadap yang kaya (bahkan seminar-seminar crazy rich masih laku didatangi orang). Di Amerika Serikat juga begini tapi kita tidak peduli. Yang jelas amanat Konstitusi adalah keadilan sosial, terserah amanat konstitusi AS apa.

Bahasa sosial-politiknya adalah oligarki, yang sekarang ini mulai familiar di masyarakat. Itulah yang terjadi dan akan terus terjadi seiring meningkatnya kebutuhan pendanaan politik jelang 2024.

Terus bagaimana? Apa solusinya? Begitu orang sering bertanya.

Para penikmat kekuasaan jangan ceramah munafik seperti sekarang saja itu sudah lumayan. Bayangkan perasaan masyarakat melihat sulitnya hidup sembari memandang muka Anda di ATM dan bungkus snack.

Otak dan hati presiden bergerak 0,1 derajat saja ke arah pembelaan terhadap mayoritas yang tidak berpunya, itu lumayan juga.

Negara perlu menyederhanakan proses redistribusi keadilan dengan menutup peluang sekecil apapun segelintir orang ambil untung dari keadaan. PCR gratis ya gratis saja, tak perlu ada pejabat yang ikutan bikin PT.

Pelatihan kerja ya pelatihan dan pemagangan saja di BLK tanpa perlu kasih Rp 5,6 triliun ke platform swasta. Kembangkan start-up ya kembangkan saja lewat infrastruktur yang ada tanpa perlu kasih Rp 6,4 triliun ke GoTo. Yang salah harus dibawa ke jalur hukum, tak perlu pakai kesepakatan di luar pengadilan seperti kasus Rekind dengan perusahaan Boy Thohir, PAU.

Simpel sebenarnya tapi uang dan keserakahan membuatnya jadi terlihat runyam!

Saya tidak tahu apakah kepemimpinan mendatang bisa menjungkirbalikkan semua keadaan itu.

Semoga saja.

Salam,

Eddy kristianto

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article