Jumat, April 26, 2024

Utang terus, sampai kapan?

Must read

“Yang harus selalu diingat adalah rasio utang terhadap produk domestik bruto itu hanyalah suatu perkiraan yang sebaiknya digunakan sebagai ancar-ancar saja, jangan digunakan sebagai suatu dasar yang kuat untuk menentukan keamanan jumlah pinjaman.” – Dr.J.Soedradjad Djiwandono, Gubernur BI 1993-98

Oleh Eddy Herwanto

Usaha menghentikan penyebaran Covid-19, selain menguras sumber daya manusia dengan gugurnya ratusan tenaga kesehatan (nakes), membuat pemerintah keteteran menutup lubang fiskalnya. Masih gelap kapan pandemi Covid-19 berakhir, juga kapan pembiayaan penanganan wabah dengan utang kepada publik dan perbankan termasuk Bank Indonesia akan berhenti. Tahun 2021 berjalan disediakan Rp 744,75 triliun untuk anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) naik dari realisasi 2020 Rp 579,78 triliun.

Sayang besarnya alokasi dana itu belum sebanding dengan kecepatan penyerapannya. Sampai akhir Juli 2021 yang terpakai baru Rp 305,5 triliun (41%) dari pagu. Padahal semakin besar anggaran terserap, terutama dukungan untuk UMKM dan Koperasi serta Program Prioritas, diharapkan bisa menggerakkan ekonomi. Benar pertumbuhan ekonomi kuartal II naik jadi 7,07%; tapi pertumbuhan tinggi yang tidak besar menciptakan lapangan kerja itu terancam turun memasuki kuartal III akibat penerapan PPKM Darurat yang berdampak pada pergerakan bisnis.

Sayang jika dana mahal utang komersial – dengan sebagian besar berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) – tidak cepat dimanfaatkan. Sampai akhir Juni lalu utang pemerintah tercatat Rp 6.554,56 triliun. Bagian terbesar utang itu berasal dari penerbitan SBN — Rp 4.430,87 triliun SBN dalam negeri dan Rp 1.280,92 triliun SBN valuta asing. Juli barusan dari Bank Dunia diperoleh pinjaman tunai US$ 900 juta yang akan dipakai untuk memperkuat sistem pencegahan dan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

Utang memang harus diambil karena penerimaan pajak merosot sejak 2019. Tahun 2020 lalu penerimaan perpajakan hanya mencapai 91,5 % (Rp 1.285 triliun) dari rencana Rp 1.404 triliun. Tahun 2019 realisasi masih Rp.1.546 triliun (86,55%) dari anggaran Rp 1.786 triliun. Jika dilihat nilai nominal maka penerimaan pajak 2020 merosot hampir Rp 261 triliun di bawah 2019. Karenanya, jika ekonomi sudah bangkit, pada saatnya insentif pajak dan subsidi listrik serta internet perlu dihentikan. Maklum, jika dilanjutkan APBN tidak akan mampu memikul beban pembiayaan pemulihan ekonomi

Tahun 2021 berjalan Penerimaan Pajak dianggarkan Rp 1.444,5 triliun ditambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 298,2 triliun, dan Hibah Rp 0,9 triliun, maka seluruh Pendapatan Negara mencapai Rp 1.743,6 triliun. Sampai semester I, Pendapatan Negara tercatat Rp 886,9 triliun – Rp.680 triliun dari Penerimaan Pajak (termasuk Kepabeanan dan Cukai). Penerimaan Pajak diperkirakan akan lebih rendah dari anggaran mengingat pemerintah, antara lain, membebaskan Pajak Penjualan otomotiv dan properti hingga Dersember 2021. Kenaikan Pendapatan Negara diharapkan masuk dari kenaikan PNBP, Kepabeanan dan Cukai.

Nah saat Pendapatan Negara merosot, kewajiban justru naik. Sebut saja bunga yang harus dibayar atas penerbitan SBN dan kredit multilateral 2021 ini Rp 373,3 triliun – lebih dari separuh jumlah anggaran PEN 2021. Sungguh sangat besar. Naik hampir 19% dibandingkan realisasi pembayaran bunga utang 2020 yang Rp 314,1 triliun. Tahun 2022 mendatang pembayaran bunga atas utang itu diperkirakan bisa mencapai Rp 417,4 triliun. Bagian terbesar pembayaran bunga itu berasal dari utang lama (2020:Rp 275,9 triliun, 2021: Rp 323,7 triliun, 2022: Rp 372,1 triliun. Sementara bunga atas utang baru 2020: Rp 38,2 triliun, 2021: Rp 49,6 triliun, dan 2022: Rp 45,3 triliun (Kontan.co.id 20 Mei 2021/08.42)

Kata pemerintah bunga SBN perlu tinggi, terutama, untuk menahan agar investor asing tidak keluar dari SBN (capital outflow) yang dipegangnya. Kuartal pertama tahun 2021, bunga SBN naik mencapai sekitar 8% di saat Bank Indonesia sedang berusaha menurunkan suku bunga acuan agar perbankan secara berangsur mulai menurunkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Bunga SBN konon terpaksa naik mengikuti trend kenaikan suku bunga Obligasi Kementrian Keuangan Amerika (US Treasurry Bills). Portfolio asing di SBN naik turun berada di kisaran 25% s/d 38% — turun jika US Treasury Bills rate naik, dan sebaliknya – cukup significant memengaruhi imbal hasil.

Agar investor asing tidak keluar dan masuk ke US T Bills, Kementrian Keuangan menarik utang lebih awal (front loading) dengan bunga tinggi di awal tahun fiskal. Tahun 2021 ini, Federal Reserve Bank (Fed.) ternyata sebaliknya malah melanjutkan kebijakan pelonggaran dengan mengucurkan lebih banyak dolar untuk membiayai pemulihan ekonomi Amerika. Apa boleh buat, jika tak ingin membayar bunga lebih tinggi, pemerintah harus menerbitkan SBN baru dengan bunga rendah untuk refinancing SBN terdahulu yang tinggi imbal hasilnya.

Agresif, dan rada berbahaya karena secara langung utang baru akan meningkatkan stok utang berjalan. Berbahaya jika kita menggunakan ukuran kewajiban membayar utang itu dengan hasil ekspor (debt service ratio) standar yang digunakan IMF pada rasio sehat 25% – 35%. Tapi pemerintah dan DPR beranggapan, batas atas aman — seperti ditetapkan dalam UU Keuangan Negara No.17 Tahun 2003 – utang berjalan versus Produk Domestik Bruto (PDB) maksimal bisa 60% (mengacu pada Maatstricht Treaty 1999). Artinya, jika PDB kita 100 maka utang berjalan yang diperbolehkan adalah 60.

Menurut Kementrian Keuangan sampai (nanti) Juni 2021 rasio utang terhadap PDB masih 41,45%. Sedangkan untuk 2022, rasio rasio utang dengan PDB diperkirakan akan naik jadi 44,238%. Kenaikan utang itu dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19 yang masih berkepanjangan. “Rasio utang akan terus dikendalikan pada kisaran 43,76% sampai 44,28% dari PDB,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna di DPR, Kamis 20 Mei 2021 (Kontan.co.id 21 Mei 2021/05.00)

Aman? Menurut Dr. J.Soedradjad Djiwandono (Gubernur BI 1993-98), konstruksi membandingkan stok utang dengan PDB dianggapnya kurang tepat. Dalam konsep ekonomi, katanya, dibedakan antara konsep stock dan flow. Stock adalah variabel yang mengukur akumulasi suatu variabel ekonomi dari suatu titik waktu ke titik waktu yang lain; sedang flow mengukur besarnya variabel tersebut per unit waktu.

Stok biasanya mencantumkan waktu saat diambil pengukuran, biasanya akhir suatu periode; sementara flow ditunjukkan dengan ukuran tiap waktu yang dipilih. ”Untuk manajemen utang yang penting adalah flow, alirannya, bukan stok,” tulis.Soedradjad Djiwandono di Koran Kompas 7 Oktober 2020. “Karena itu rasio pinjaman terhadap PDB sebenarnya adalah rasio antara besaran stock dan flow, kurang tepat dipakai.”

Rawpixel.com

Sejumlah indikator lain juga bisa dipakai untuk menentukan batas aman utang pemerintah. Menurut BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Keuangan Pemerintah Pusat 2020 rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara naik sejak 2013, hingga pada 2020 mencapai 19,6%, padahal batas aman versi IMF adalah 4,6% – 6,8%.

Dengan ukuran lain juga terlampaui. Tingginya sejumlah indikator itu menggambarkan laju penarikan utang tidak setinggi Pendapatan Negara untuk mencicil utang pokok dan membayar bunganya.”Apabila pengelolaan utang dan penerimaan negara tetap menggunakan kebijakan saat ini, maka kesinambungan fiskal berisiko terganggu di masa mendatang,” tulis BPK memperingatkan (Kontan.co.id 14 Juni 2021/09.35)

Awal Agutus lalu, BPS mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku (ADHB) kuartal II mencapai 2021 Rp 4.175,8 triliun — tumbuh ditopang kenaikan Investasi dan Perdagangan Luar Negeri (harga batu bara dan minyak kelapa sawit naik tinggi). Sedang pada kuartal I sebelumnya Rp 3.970,5 triliun. Dengan demikian PDB pada semester I tercatat Rp.8.146,3 triliun. Jika posisi utang berjalan tetap Rp 6.554,56 triliun (sampai Juni 2021), maka rasio utang terhadap PDB pada Juni sudah mencapai 80% lebih.

Tanpa mengangsur utang pokok, jika mengacu pada UU Keuangan Negara No.17 Tahun 2003, maka dengan utang setinggi itu lampu merah sesungguhnya sudah menyala. Peringatan Dr.J.Soedradjad Djiwandono (Gubernur BI 1993-98) rasanya sangat relevan diperhatikan. Apalagi masuk pada kuartal ketiga, Perdagangan Luar Negeri dan Investasi belum tentu akan menjadi penopang utama PDB. Konsumsi masyarakat juga diperkirakan masih tertahan mengingat akibat PPKM sangat terasa menahan belanja masyarakat – terutama dari menengah atas.

Bisa dipahami tidak mudah memang mengelola fiskal di saat penyebaran Covid-19 belum bisa dihentikan terutama untuk menangani kesehatan masyarakat. Tahun 2021 saja, anggaran untuk vaksinasi mencapai Rp 73 triliun; tahun 2020 sebelumnya hanya Rp 65 triliun. Naik cukup tajam, bahkan saat APBN 2021 baru berjalan dua kuartal, anggaran vaksinasi itu kembali ditambah – terutama setelah terjadi ledakan penularan dan kematian setelah libur Idul Fitri 21 Mi 2021 akibat menyebarnya virus Delta.

Benar beban pembiayaan itu, selain dipikul APBN (fiskal), juga bisa dipikul para kreditur seperti BI (burden sharing) dan perbankan serta individu (SBN retail) kepada Kementrian Keuangan. Tahun 2020 lalu, BI membeli SBN Rp 473,42 triliun – tahun berjalan (per 19 Juli 2021) BI membeli Rp 124,13 triliun lagi. Kemudian perbankan tahun lalu membeli SBN lebih dari Rp.1.700 triliun — hampir Rp 316 triliun diantaranya dari BRI. Utang baru itu rasanya “hanya digunakan”, sebagian besar untuk mencicil utang lama. Lihat saja tang pokok jatuh tempo 2020 yang Rp 433,4 triliun plus bunga Rp 314,1 triliun. Kondisinya sudah mirip gali lubang tutup lubang.

Dalam situasi tertekan itu, BI dan Perbankan – juga masyarakat sebagai kreditur retail SBN – tetap jadi andalan sebagai kreditur domestik kepada Kementrian Keuangan untuk membiayai defisit fiskal. Utang mungkin akan terus bertambah, namun bisa sedikit dikurangi. Yakni dengan kesadaran warga membayar pajak, dan warga taat menjalankan prokes hingga pandemi Covid-19 bisa dijinakkan dengan biaya rendah; lubang itu bisa diperkecil, dan negara bisa membiayai pemulihan ekonomi bukan dari utang melulu.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article