#SeninCoaching: #Lead for Good: Be Human, please
Oleh Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Raja Harun Al Rasyiid suatu hari menerima kedatangan seorang ulama – namanya luput dicatat di buku tamu kerajaan, sehingga di dalam riwayat tidak terekam jelas siapa. Penyembunyian identitas ini barangkali juga karena ada titah untuk menjaga nama baik ulama atau ustadz tersebut, mengingat dialog di dalam ruang kerja raja telah membuat Pak Ustadz berpikir ulang tentang dirinya.
Dengan pikiran sudah terbingkai oleh cerita perilaku para raja (sebelumnya) yang kelihatan seperti seenaknya, diluar pemahaman umum, dan ia pun tidak melakukan cek fakta, Pak Ustadz berkata, “Ya Amirul Mukminin, saya ingin menasihati Anda dan kata-kata nasihat yang akan saya sampaikan ini keras, tolong jangan dimasukin hati.” Ia merasa itu cara yang tepat menyampaikan kritik kepada raja.
Sebelum Pak Ustadz menyampaikan nasihatnya, Harun Al Rasyiid, bagian dari Kekhalifahan Abbasiyah, pengikut Imam Malik, memberikan respon seperti ini: ”Wahai Ustadz, sebaiknya Sampeyan diam. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus orang lebih baik dari Sampeyan, yaitu Nabi Musa, untuk memberikan nasihat kepada manusia yang lebih buruk dari saya, yaitu Fir’aun. Itu saja Nabi Musa diminta Allah untuk beretika, menggunakan kata-kata yang santun.”
Intinya, Harun Al Rasyiid ingin menegaskan agar Pak Ustadz belajar lagi, mengaji lebih dalam, sebelum mengeluarkan pendapat.
Siapa pun – apakah itu ulama, ustadz, cendekiawan, rohaniwan, pakar, golongan yang disebut pengamat, atau lainnya – yang merasa lebih baik dari pihak lain, sepatutnya melakukan koreksi diri dan selalu cek ulang kenyataan terkait setiap informasi yang diterima, sebelum itu jadi bahan penyampaian pikiran dan sikap. Gambaran yang tampak fisik pun masih selalu harus diragukan, cek lebih dalam lagi, apakah semua itu mewakili kenyataan.
Bukankah manusia mudah terkecoh oleh bias pribadi dan hiruk-pikuk persepsi?
Terkait Harun Al Rasyiid (berkuasa 786 sampai 809), sejarah mengenalnya sebagai kalifah yang prestasinya layak dibanggakan. Di antaranya, berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, di masa kekuasaannya pertama kali rumah sakit diperkenalkan di dunia Arab, warga negara bebas bepergian kemana saja tanpa rasa cemas, dan hukum ditegakkan dengan bijak.
Jika sebaliknya yang terjadi, sederet fakta membuktikan suatu pemerintahan terbukti berkinerja buruk, beban hidup masyarakat bertambah, dan publik kecewa? Itu urusannya jadi beda.
Namun, fakta sudah terbukti dirasakan akibatnya oleh publik atau cerita yang beredar masih sekadar prasangka, tetap saja ada yang perlu memperoleh perhatian khusus, yaitu pilihan kata-kata dan perangkaian kalimat seperti apa yang diandalkan seseorang untuk melabuhkan pikiran-pikirannya (untuk memberikan penilaian) terhadap pihak lain. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan mereka.
Manusia memiliki kecerdasan berlapis-lapis, sebagian ahli – utamamya Profesor Howard Gardner, Harvard University, dalam Frames of Mind – menyebutkan ada delapan macam kecerdasan. Kemampuan berbahasa dengan baik, bijak memilih kata dan meramu kalimat, serta mengungkapkannya dengan tertib, semua itu disebut “smart word”, hanya salah satu saja dari delapan kecerdasan tersebut.